Politik Membenci

  • Bagikan


Samsu Alam

Samsul Alam (Akademisi, Mantan Anggota KPU Palopo)

MENJELANG perhelatan pemilu kebencian dalam politik tidak hanya disebarluaskan, tetapi dipelintir sedemikian rupa. Deklarasi Dukungan palsu kepada Anies Baswedan untuk menjadi presiden yang dilaksanakan pada Senin (6/6/2022), oleh sejumlah orang yang mengatasnamakan FPI Reborn di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat.

Tidak lama berselang dukungan dari yang mengatas namakan Majelis Sang Presiden juga mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024, mereka mengklaim diri sebagai para mantan anggota ormas Islam seperti HTI dan FPI hingga mantan narapidana terorisme (napiter).Mereka melakukan deklarasi bertajuk 'Sang Presiden Kami Anies Baswedan' di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (8/6).

Dua deklarasi dukungan diatas jika menggunakan tinjauan Cherian George dalam bukunya Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy (2016) sebagai aksi pelintiran kebencian (hate spin) melalui Deklarasi palsu. Menurutnya, pelintiran kebencian memerlukan dua sisi: sisi hasutan dan sisi keterhasutan.

Agar bisa menghasut, pemelintir perlu isu. Namanya hasutan, isu yang diangkat mesti perkara yang tidak jelas atau bila perlu berbohong. Dalam konteks ini, dukungan palsu adalah isu paling tepat untuk menghasut.

Dalam kasus deklarasi dukungan diatas, identitas FPI, HTI, dan Napiter dieksploitasi untuk mengarahkan kebencian terhadap Anies Baswedan, menciptakan opini bahwa Anies Baswedan adalah bagian dari atau setidak-tidaknya mendukung ide-ide dari kelompok tersebut yang selama ini ditempatkan secara ekstrim Vis a Vis dengan negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Selain dukungan atau deklarasi palsu, isu politik identitas juga terus menerus dialamatkan kepada Anies Baswedan, pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu selalu dijadikan acuan untuk menyudutkan Anies Baswedan sebagai figur yang mengeksploitasi politik Identitas.

Setidaknya dua pembelaan untuk Anies Baswedan kaitannya dengan Politik Identitas, pertama, jauh sebelum kasus Al Maidah 51 kecenderungan masyarakat Jakarta ingin punya pemimpin baru, temuan survei PolMark mengafirmasi kecenderungan tersebut, sejak Februari 2016 dan Juli 2016 hanya 40 persen yang menginginkan Ahok jadi Gubernur, meskipun tingkat kepuasan terhadap kinerjanya 72 koma sekian persen. Salah satu sebab utamanya karena Ahok dianggap tidak bisa jadi teladan yang baik, ia bermasalah dalam hal komunikasi. (tirto.id. diakses 24 Juni 2022).

Yang kedua, dalam posisi Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta mestinya kebijakannya yang diaudit, adakah yang mengandung sentimen yang berbasis suku, agama, dan antar golongan (SARA) didalamnya atau bersifat diskriminatif atas dasar SARA.

Sebaliknya, Anies mendapatkan apresiasi dari berbagai kelompok keagamaan, salah satunya dari ketua umum Gereja Pantekosta Indonesia (GPDI) pendeta Johny Weol. (Media Indonesia, diakses 24 Juni 2022).

Menurutnya selama Anies menjabat gereja di Jakarta mendapat bantuan operasional tempat ibadah atau yang disebut BOTI. Masyarakat pada umumnya pun dapat menilai kepemimpinan Anies Baswedan selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Politik identitas bukanlah merupakan solusi politik umat Islam tapi ia bagian dari ekpresi politik dari pelbagai resistensi terhadap transformasi ekonomi dan politik yang menyejarah dalam semua jejak orde kekuasaan di Indonesia.

Tocqueville menyebutnya sebagai “hasrat akan kesetaraan” (passion for equality) politik Identitas sebagai ekspresi kritik atas ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem yang ada. Ummat termarjinalkan dan tersisih dari deru nafas pembangunan dan pada sisi yang lain mereka yang menguasai sumberdaya ekonomi relative dari satu entitas sosial yang homogen.

Sejarah ummat islam yang unik baik dalam skala domestik maupun global tidak memiliki rekam yang hitam dan kelam melakukan persekusi maupun pembantaian masssal atas perbedaan atau kebencian terhadap agama yang lain.

Sebaliknya, kita mudah menjumpai komunitas-komunitas muslim menderita “politik identitas” karena keyakinan agama yang dianutnya, komunitas muslim Uighur di China, Di Myanmar, Di India, dan di berbagai belahan dunia lainnya.

Tantangan Yang Objektif

Pluralitas identitas merupakan kenyataan yang tak bisa disangkal. Dalam keadaan yang plural tersebut, identitas antar satu dengan yang lain berada pada posisi setara dan bersaing merebut pengaruh di ruang publik. Secara teologis ummat islam sangat menyadari pluralitas tersebut: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…( Al-Hujurat 13).

Kesadaran pluralitas adalah bagian integral dari kesadaran keberagamaan ummat islam, ia bagian dari nafas ibadah, karena itu tuduhan-tuduhan negative seperti intoleransi sangatlah tidak mendasar yang disebarkan melalui berbagai pemberiataan yang telah dibingkai (framing) dengan membelokkan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan.

Para peneliti dari Australia yang menulis buku Media Framing of the Muslim World, yaitu Halim Rane, Jacqui Ewart, dan John Martinkus, menyatakan mayoritas media (barat) melakukan framing terhadap dunia Islam dengan narasi kekerasan, fanatisme, ekstremisme, dan memusuhi peradaban barat.

Ini selalu disematkan dalam hampir setiap pemberitaan serta menegasikan kekayaan multikultural, etnis, dan pengalaman berislam dari umat Islam di negara-negara lain.

Melakukan framing secara parsial dapat menimbulkan bias dan kerancuan dalam interpretasi suatu peristiwa.

Kecanggihan framing sekarang ini diperkuat oleh hadirnya pendengung atau buzzer yang aktif menyerang tokoh-tokoh politik bukan saja yang dianggap berseberangan dengan pemerintah tetapi juga tokoh-tokoh politik yang berpotensi menjadi calon presiden yang memiliki peluang yang cukup besar memenangkan pemilihan presiden pada pemilu 2024 nantinya.

Sosok Anies Baswedan salah satu tokoh yang menjadi target besar para buzzer untuk dihancurkan, para buzzer membuat politik harian kita menjadi medan antagonisme politik yang menajam.

Mereka inilah sejatinya menggunakan politik identitas untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Seolah kebal hukum, para buzzer leluasa menyebar kebencian, fitnah dan hoaks diruang publik. Politik harian kita sulit ditransformasikan menjadi pluralisme agonistik, karena itu jika para elit kita resah dengan polarisasi politik yang menajam ditengah masyarakat maka salah satu yang perlu ditertibkan adalah para buzzer.

Penegakan hukum yang adil dan imparsial perlu ditegakkan
Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dalam the global Disinformation Order, 2018 Global Inventory Of Organizer Social Media Manipulation mengungkapkan bahwa buzzer dimanfaatkan oleh politikus, partai-partai politik, dan kontraktor swasta untuk menyebarkan propaganda yang pro pemerintah, menyerang lawan politik serta menyebarkan informasi untuk memecah belah publik. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa buzzer Indonesia menerima bayaran 1-50 juta untuk menggiring isu.

Kehadiran buzzer membuat demokrasi kita menjadi buruk karena mereka menyebar konten hoax, ujaran kebencian, kampanye hitam, bahkan fitnah.

Padahal sejatinya demokrasi adalah ruang mengartikulasikan berbagai pandangan yang positif dimana Negara menjadi tempat penyemaian pandangan tersebut yang ditransformasikan kedalam kebijakan Negara.

Dengan demikian, kontestasi pandangan bukanlah untuk saling menghancurkan. Dalam konteks ini, demokrasi menekankan pentingnya melihat panggung kekuasaan sebagai sesuatu yang kosong yang memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berkontesasi dan memengaruhi kekuasaan. (***)

  • Bagikan