Matinya Perempuan

  • Bagikan

PENULIS: MUHAMMAD JAYA (PEMUDA ASAL LUWU)

MANUSIA merupakan ras mamalia yang unik. Dari zaman ke zaman mengalami perkembangan mulai zaman kuno hingga saat ini. Dahulu manusia untuk mempertahankan spesiesnya memiliki kesulitan di alam liar, bertahan hidup dengan cara berburu pada belantara liar dengan hewan buas. Tak jarang, mereka sesama manusia saling membunuh antara satu dengan yang lain dalam mempertahankan diri, apakah itu kelompok atau wilayah kekuasaannya sebab manusia adalah spesies yang senang berkelompok. Kemudian, memasuki tahap baru dimana manusia dalam bertahan hidup tak lagi berburu melainkan bercocok tanam seiring corak berfikirnya. Dari hal tersebutlah, manusia mulai mengenal peradaban lalu memasuki tatanan dunia baru.

Perkembangan kehidupan dari zaman ke zaman manusia melalui proses yang panjang sebagai spesies yang memiliki kecerdikan yang luar biasa hingga menjadikannya makhluk tersebut memiliki kemajuan yang pesat. Sampai saat ini, peradaban manusia tak dapat dipertanyakan lagi melalui penemuan- penemuan sainsnya. Dari industrialnya juga kemajuan teknologinya, sekalipun masa kelam kehidupan di masa lalu terdapat banyak tragedi umat manusia yang pahit.

Namun ada spesies yang menarik yakni sosok manusia bernama perempuan. Jika  menelisik jauh kebelakang, andil perempuan tak dapat deremehkan. Mereka pun dapat berburu dan menghasilkan generasi dari masa ke masa. Maka, mulai dari zaman bercocok tanam perempuan menjadi pelindung bagi anak-anaknya disaat pria berburu hingga memasuki abad ke-19 dan 20an, sepak terjang perempuan menunjukkan tajinya dengan banyak terlibat menyuarakan gender, setara dengan pria. Bahkan, tak jarang perempuan di era modern ini banyak mengumandangkan hak- hak perempuan yang tak lagi dilihat sebagai the second human.

Telah banyak hal yang dilakukan perempuan hingga mengalami kemajuan pada setiap  lini, mulai keikutsertaannya dalam membangun solidaritas perempuan, membela hak-hak perempuan, menyuarakan kesetaraan gender tak menjadikan perempuan sebagai spesies kedua, memperjuangkan hak demokrasi dan banyak lagi. Itu terbukti bagaimana  HAM selaku perempuan diperjuangkan di tengah publik. Membentuk forum perempuan bahkan perempuan memperjuangkan hari perempuan se-dunia yang kemudian dipatenkan oleh PBB. Tentu, berbeda di kala zaman dahulu perempuan selalu dijadikan sebagai manusia kelas kedua yang tak dapat berbuat banyak di kancah publik, dimana proses kerjanya hanya seputaran mengurus rumah dan perabotan saja. Tak memiliki kesetaraan dengan pria dalam rana publik, menyuarakan pendapat tengah publik.

Hal tersebut terbantahkan pada dewasa perempuan modern saat ini. Sebut saja Theresa Serber Malkiel seorang sosialis tokoh besar di kalangan perempuan lahir 1874-1949 berkebangsaan Ukraina. Namun, tahun 1891 pindah ke Amerika. Dari beliaulah sosok perempuan hebat yang berani menyuarakan kesetaraan gender dan masuk pada kancah publik. Dia juga adalah aktivis buruh dan aktivis hak milih demokrasi. Artinya keterlibatannya dalam memperjuangkan demokrasi perempuan atau keterlibatannya dalam demokrasi itu besar, dia juga penulis novel.

Dari sepakterjangnya dan keberaniannya dalam menyuarakan hak perempuan maka Theresa Serber Malkiel masuk pada ranah politik tergabung pada partai sosialis. Dari sanalah dan aktivitasnya hingga hari perempuan nasional menjadi pencetus pertama dalam memperingati hari perempuan se-dunia yang dipatenkan oleh PBB.

Tentu kita dapat melihat bahwa perempuan yang memiliki sisi lembut, penyayang, sisi keibuan, juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap daerah, bangsa bahkan dunia yang tak hanya pria saja yang dapat melakukannya. Itu terbukti oleh Theresa Serber Malkiel yang mengecam diskriminasi ras, etnis, warna kulit di Amerika kala itu. Ketidaksetaraan kerja dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang lain. Sehingga dari sanalah dapat memengaruhi perempuan-perempuan lain di berbagai daerah tentu juga bangsa lain, agar turut terlibat dalam menyuarakan hak-hak perempuan. Begitupula dengan Luise Zietz tokoh perempuan aktivis sosialis dari Jerman mendorong aktivitas perempuan menggencarkan isu perempuan dan mengeksplorer isu hak perempuan, mengedepankan event konferensi perempuan secara nasional. Hal tersebut mendorong Luise Zeitz karena dia sadar akan posisi perempuan sebagai warga kelas dua.

Perempuan dikenal dengan manusia yang memiliki sifat kelembutan, perhatian tentu pula sifat feminismenya,namun terkadang perempuan juga memiliki sisi kekerasan sebut saja era saat ini tak jarang banyak perempuan melakukan aksi kekerasan dengan cara bom bunuh diri, yang antipluralisme sebut saja ulasan kejadian bom bunuh diri yang terjadi di indonesia tak jarang aktornya adalah perempuan bahkan terjadi pula di bagian timur tengah akibat pertikaian dunia yang mengikut sertakan perempuan,tentu sikap kritis perempuan perlu ada pengorganisasian yang mesti sama dilakukan oleh kedua tokoh yang di atas sebagaimana penulis ulas. Sehingga peran perempuan nampak kembali roh perjuangannya sebagai upaya untuk memberikan pencerahan sebagaimana problematika yang terjadi di tengah masyarakat terkhusus perempuan dan menyetop diskriminasisasi kekerasaan perempuan.

Melihat fenomena tersebut, melirik perempuan yang pernah dimiliki oleh bangsa ini penulis lebih entrik terhadap tokoh perempuan yang pernah membuat geger pemerintahan Belanda akan sepak terjangnya, lebih megerucutkan yakni macan asia dari timur  Opu Daeg Risadju perempuan tangguh yang dimiliki Luwu. Beliau memberi warna bahwa perempuan dengan sifat, feminisme, lembut, dan cantik dapat memberikan dampak besar bagi kehidupan sosial. Itu berlangsung di saat ketidaksenangan Opu Daeng Risadju terhadap pemerintahan Belanda disebabkan kesewenangan dan ketidakadilan yang terjadi. Sehingga, beliau melakukan perlawanan terhadap belanda kala itu.

Seiring sepak terjangnya juga pengaruhnya yang besar, Belanda menganggap bahwa perlawanan Opu Daeng Risadju dianggap berbahaya bagi keberlangsungan Belanda yang kemudian dianggap melakukan provokasi. Ditangkaplah dan diadililah Opu Daeng Risadju dengan cara gelar kebangsawananya dicabut lalu dipenjara selama 13 bulan.

Bahkan pasca kebebasannya, itu tak menyurutkan semangat juangnya dalam menyuarakan hak perlawanannya. Opu Daeng Risadju masuk dalam organisasi Partai Serikat Islam (PSII) dan bahkan membentuk ranting PSII di Malangke atas dukungan masyarakat.

Pada tahun 1933, Opu Daeng Risadju menghadiri kongres PSII di Batavia. Sontak hal tersebut sampai di telinga Belanda. Beliau kembali ditangkap tahun 1934 dan dipenjara selama 14 bulan. Atas keberanian beliau sebagai sosok perempuan tak jarang menjadi incaran tentara NICA. Bahkan, beliau ditangkap ketika berusia tak muda lagi. Berusia sekitar 60 tahun, beliau disiksa dengan berbagai cara dari hukuman kerja paksa, berjalan dari Latondre hingga Watampone sejauh 40 km, berlari keliling lapangan, menghadap matahari dengan mata terbuka. Bahkan yang lebih parah adalah diletuskan senjata api tepat di telinganya dan membuatnya jatuh dan pingsan akibat kejadian itu. Beliau menjadi tuli. Dari rentetan beberapa tokoh tersebut, penulis mencoba mengerucutkan bahwa gambaran peradaban perempuan telah memiliki andil yang besar terhadap keberlangsungan perempuan dewasa ini, dari keberaniannya melancarkan isu gender, menyuarakan hak- perempuan dan turut andil di berbagai sektor ranah publik, bahkan tak jarang suaranya didengarkan di kancah internasional.

Namun terjadi kemunduran,v mengapa? Jika penulis mengulas beberapa tokoh perempuan di atas yang memiliki sisi lembut sekaligus berani menyuarakan hak perempuan dan berani menyuarakan keadilan. Berbeda untuk saat ini, perempuan menjadi benda yang terlena akan perkembangan zaman yang cepat. Bahwa kecantikan terletak hanya pada paras saja, kelembutan hanya terletak pada keelokan rupa dan trend masa kini. Tak jarang perempuan berlomba-lomba mengglowingkan diri untuk good looking, berlomba terlihat menawan dengan berburu barang-barang mewah agar tampak tak ketinggalan zaman yang lupa akan kecantikan dan kelembutan sesungguhnya.

Lihat saja, perempuan era ini lebih banyak memperbincangkan ke glowingan, memperbincangkan brand produk kecantikan tanpa ingin mengulas apa di balik itu. Ataukah bagaimana kapitalisme bekerja! Bahkan, sesungguhnya kecantikan itu tak dapat diukur oleh paras, semisal ilustrasinya, jika melihat wanita Afrika tentu menurut pria Indonesia belum tentu cantik. Namun, menurut pria Afrika perempuan Afrika cantik. Begitupula sebaliknya. Sehingga penulis mencoba menstimulus bahwa kecantikan paras hanya sebagian kecil dari cantik dan itu dipercontohkan oleh Theresa Serber Malkeil, Opu Daeng Risaju, Luise Zietz sebagai  upaya untuk memperjuangkan keadilan tanpa melihat ras dan warna kulit lagi.

Namun lebih kepada, sejauh mana peran perempuan dalam proaktifnya membingcangkan hak-hak perempuan khususnya untuk wilayah Luwu Raya. Bagaimana andil perempuan untuk membangun dan memberikan kebijakan yang relevan terhadap perempuan masa kini, bagaimana keberanian perempuan dalam menyuarakan keadilan. Itu tak terlihat lagi untuk saat ini.

Bagaimana menghadirkan sosok perempuan sebagaimana penulis ulas di atas tentu yang menjadi harapan, adakah jelmaan Opu Daeng Risadju milenial saat ini, itu tak ditemukan lagi di era ini. Bahkan perempuan tak membentuk forum-perempuan dalam mencegah kejahatan atas perempuan, membuat forum perempuan dalam membangun pendidikan generasi anak toleransi perdamaian, membangun sinergitas tokoh perempuan antaretnis dan budaya, melakukan upaya pembelaan kaum buruh perempuan khusus wilayah Luwu Raya. Matinya perempuan terletak akibat perkembangan zaman dan terlena oleh trend dan brand produk masa kini dipenjarakan oleh hidup instan lalu membunuh nalar kritikal perempuan dan larut dalam bungkusan baru yakni the second human atau manusia kelas kedua melenial.

Mewujudkan perdamaian dan keadilan tentu buka hanya tanggung jawab negara atau pemerintah saja, aparat saja, namun semua lapisan masyarakat dan upaya sinergitas antara pemerintah dan masyarakat di perlukan, agar terwujud perdamaian dan keadilan. Tentu peran perempuan dan sepak terjangnya diperlukan agar segala lapisan masyarakat dapat terjamah agar tak ada lagi penyimpangan, sehingga andil perempuan dalam mengambil peran lebih proaktif sebagai upaya menyelesaikan persoalan dan menyuarakan hak-hak perempuan dengan membaca era milenial saat ini serta berani meneriakkan keadilan dalam mengambil panggung publiknya. (***)

  • Bagikan