Profesionalisme dan Kemerdekaan Pers di Era Digitalisasi

  • Bagikan

Oleh: Wahyudi Yunus, SH.MH

(Ketua SMSI Kota Palopo, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum PPs. UMI Makassar)

Sebelum memulai tulisan ini, terlebih dahulu saya mau mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional tahun 2022. Semoga pers semakin profesional dan merdeka dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.

Membincang tentang Pers, seperti tak ada habisnya. Beragam topik menjadi perbincangan. Rasanya, tak cukup waktu sehari untuk membincang tuntas soalan ini. Beragam paradigma tentang pers dan kompleksitas problematika pers mungkin menjadi musababnya.

Setidaknya, secara garis besar menurut hemat saya ada dua persoalan yang setiap saat menjadi perbincangan publik. Pertama, soal profesionalisme pers dan kedua soal kemerdekaan pers.

Keduanya tentu saling berkait. Sebelum menuntut kemerdekaan pers, maka terlebih dahulu yang harus di pertanyakan adalah soal profesionalisme pers itu sendiri. Karena tidak akan pernah terwujud kemerdekaan pers, ketika Pers itu sendiri tidak menujukkan profesionalitasnya dalam bekerja.

Maka sebelum membahas tentang kemerdekaan pers, maka terlebih dahulu penulis mencoba menguraikan sedikit tentang profesionalitas pers dalam perpektif penulis.

PROFESIONALISME PERS

Mewujudkan profesionalisme Pers tidaklah sulit. Sebab unsur-unsur profesionalisme pers sudah tertuang didalam regulasi dan aturan main yang mengatur tentang pers. Sebut saja Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers. Kode Etik Jurnalistik, dan berbagai macam pedoman yang diterbitkan oleh Dewan Pers, sebagai lembaga negara yang dibentuk untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.

Beberapa poin penting yang termaktub didalam UU Pers. Pada Bab II berbicara tentang asas fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Ayat (2) disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.

Pasal 4 ayat (4) menyebutkan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ayat (2) Pers wajib melayani Hak Jawab dan ayat (3) Pers wajib melayani Hak Tolak.

Didalam pasal 6 disebutkan, bahwa Pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Pada bagian lain, UU Pers menyebutkan pada Bab III pasal 7 ayat (1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Ayat (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Jika insan pers yang dapat menaati Undang-undang pers dengan baik dan benar, maka profesionalisme pers itu daoat terwujud. Hanya saja, pada faktanya, masih banyak oknum yang mengaku insan pers, abai terhadap perintah UU Pers dan segala aturan turunannya.

Mentalitas profesional, sepertinya menjadi hambatan utama dalam mewujudkan profesionalitas pers. Padahal, suatu profesi dituntut untuk menunjukkan kualitas dan
kompetensinya.

Oleh karena itu, suatu profesi wartawan harus memiliki sikap profesionalitas dengan mematuhi UU Pers dan kode etik jurnalistik. Karena sesungguhnya, bukanlah pekerjaan yang menjadikan seseorang menjadi profesional, melainkan semangat dalam melakukan pekerjaan itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:897), profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang ahli di bidangnya, atauprofesional.

Pendapat Gunawan yang dikutip oleh Alex Sobur (2001:82) dalam bukunya “Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani”, mendefinisikan profesionalisme merupakan usaha kelompok masyarakat untuk memperoleh pengawasan atas sumber daya yang berhubungan dengan bidang pekerjaan tertentu.

Pendapat Alex Sobur (2001:82) dalam bukunya “Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani”, mengemukakan bahwa profesionalisme berarti isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk meraih keberhasilan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa profesionalisme merupakan suatu sikap, tingkah laku, serta kemampuan untuk menunjukkan suatu kualitas dan kompetensi sebagai suatu profesi.

Belakangn ini Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang melakukan pendataan perusahaan pers dan wartawan, terlihat aktif menjalankan amanat UU Pers. Melakukan pendataan terhadap perusahaan pers, wartawa, organisasi perusahaan pers hingga organisasi wartawan.

Sayangnya, beberapa oknum insan pers menganggap itu bukan hal yang substansi. Padahal itu merupakan amanat UU Pers, sebagaiaman termaktub didalam pasal 15 tentang fungsi Dewan Pers.

Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat
atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.

Pendataan yang dilakukan Dewan Pers adalah salah satu upaya untuk mewujudkan profesionalisme Pers. Tertib administrasi, mematuhi segala kode etik dan pedoman pendirian perusahaan pers adalah point penting yang menjadi indikator penilaian dalam pendataan perushaan pers. Termasuk kompetensi wartawan.

Kompetensi wartawan memiliki ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) adalah jalan untuk menciptakan wartawan profesional. Setidaknya wartawan yang bertanggunjawab terhadap karya jurnalistiknya.

Wartawan yang telah dinyatakan kompeten, setidaknya memahami dan mengamalkan kode etik jurnalistik. Diantaranya, Wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Wartawan menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran cara-cara yang profesional adalah, menunjukkan identitas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya.

Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri, dan penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Wartawan selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

Tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

PROBLEM PROFESIONALISME PERS

Ada dua problem yang dihadapi Pers di era digitalisasi saat ini. Pertama problem profesionalisme teknis dan profesionalisme pragmatis.

Profesionalisme teknis berkaitan dengan masalah kemampuan teknis para wartawan untuk menyelenggarakan jurnalisme yang profesional. Beberapa point sudah diuraikan diatas. Di era digitalisasi saat ini News Gathering menjadi salah satu problem tekhnis wartawan. News Gathering atau proses pengumpulan berita.

Hal ini memunculkan beragam pertanyaan. Khususnya terkait kemampuan teknis wartawan dalam mencari dan mengumpulkan fakta di lapangan. Apakah wartawan mempertimbangkan dengan matang unsur kelengkapan berita. Dan sejauh mana wartawan mengorek lebih dalam dan detail terkait berita tersebut.

Faktanya, wartawan saat ini mengabaikan unsur kelengkapan berita itu. Saat ditanya soal problem news gathering itu, muncul jawaban, datanya minim dan waktu yang terbatas, dikejar-kejar aktualitas berita yang lain dan sebagainya. Alasan ini seharusnya ditinggalkan jika benar ingin meningkatkan profesionalisme teknis wartawan.

Problem lain dari kemampuan teknis wartawan adalah, news writing. Terkair pemilihan angle tulisan tidak hanya menarik dibaca orang, tetapi juga agar lebih memberikan perspektif kepada pembaca tentang suatu peristiwa atau persoalan.

Masalah profesionalisme dalam masalah pragmatis adalah soal kesejahteraan atau penghargaan material yang diberikan kepada wartawan. Tingkat kesejahteraan
wartawan di Indonesia adalah yang paling rendah di Asia berdasarkan data yang dirilis AJI tahun 2013 lalu.

AJI merilis hasil surveinya di Jakarta terkait upah Jurnalis tahun 2021. Hasilnya Gaji wartawan hanya ada di kisaran Rp1 Juta hingga Rp8,5 Juta. Dengan rincian Media Online Rp2,5 juta sampai Rp7,7 juta. Media Cetak Rp2,75 juta sampai Rp8,45 juta. Radio Rp1 juta sampai Rp5,1 juta dan Televisi Rp2,5 juta sampai Rp7 juta.

Bahkan di daerah yang jauh dari Ibukota, masih ditemukan gaji wartawan yang hanya berkisar Rp500 ribu hingga maksimal Rp2,5 juta. Angka ini tentu berpengaruh terhadap profesionalisme wartawan. Akibatnya wartawan sangat rentan menerima suap dan melanggar kode etik jurnalistik.

Sallary atau gaji juga harus diakui, sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kinerja dan prestasi wartawan. Karena itu, tuntutan profesionalisme pada teknis memang menuntut perbaikan gaji wartawan sehingga memungkinkan mereka untuk sepenuhnya mengaktualisasikan diri mereka pada jurnalisme bukan pada bagaimana mereka mencari uang tambahan untuk kesejahteraan mereka dengan melanggar etika jurnalisme.

Etika jurnalisme ditekankan karena dewasa ini, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, sebagian jurnalis telah kehilangan idealismenya. Kelompok jurnalis inilah yang oleh berbagai kalangan disebut sebagai ‘wartawan bodrex’, ‘wartawan amplop’, dan sebagainya.

MEDIA SOSIAL PERS

Dalam tulisan ini, sebelum membahas tentang kemerdekaan Pers, saya ingin menyisipkan sedikit perbedaan antara Media Sosial Pers dengan media Sosial bukan Pers.

Menurut Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan, Pembedaan ini sekedar untuk melukiskan media sosial bukan pers yang tidak memenuhi syarat-syarat undang-undang pers, dan atau tidak memiliki kesadaran untuk taat pada etik, baik etik pada umumnya maupun etik pers.

Dewan Pers, membedakan ‘Pelanggaran kode etik hanya dapat dilakukan oleh pers karena media bukan pers tidak tunduk pada kode etik pers’. Antara pelanggar kode etik pers dan pelanggar hukum. Pelanggaran kode etik hanya dapat dilakukan oleh pers karena media bukan pers tidak tunduk pada kode etik pers.

Pelanggaran pemberitaan atau siaran adalah pelanggaran hukum. Pelanggaran kode etik pers menunjuk hal-hal sebagai berikut:
1. Dilakukan oleh pers (termasuk media sosial pers).
2. Ada dalam lingkup pers (berita atau siaran).
3. Terjadi dalam atau pada saat pelaku pers menjalankan tugastugas pers atau tugas jurnalistik.

Perlu dicatat, pers dapat juga melakukan pelanggaran hukum sehingga dikenai tuduhan atau dakwaan pelanggaran hukum. Pers yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong atau menyebarkan kebencian, selain melanggar kode etik pers sekaligus hukum.

Dengan demikian pemeriksaan terhadap pers yang diduga melanggar kode etik pers, tidak serta merta menutup pemeriksaan kemungkinan pelanggaran hukum. Namun sesuai dengan prinsip menjaga kemerdekaan pers dan berbagai kesepakatan (supra), para pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran hukum wajib terlebih dahulu memberikan kesempatan pemeriksaan pelanggaran kode etik pers.

Apabila hasil pemeriksaan hanya didapati melanggar kode etik pers, segala pemeriksaan pelanggaran hukum harus dihentikan. Tetapi, apabila dalam pemeriksaan pelanggaran kode etik pers didapati pelanggaran hukum, pemeriksaan pelanggaran hukum dapat dilanjutkan, baik atas tuntutan atau pernyataan pihak yang dirugikan atau atas inisiatif penegak hukum.

KEMERDEKAAN PERS

Beragam perosalan profesionalimse pers telah diuraikan diatas Masihkah kita menuntut Kemerdekaan Pers. Bagi penulis Kemerdekaan Pers hanya dapat diwujudkan ketika problem profesionalisme itu bisa diatasi.

Membincang kemerdekaan Pers, tidak boleh hanya dari satu dua aspek saja. Tetapi harus melihat secara totalitas. Salah satu aspek yang kadang diabaikan adalah aspek sosial kemerdekaan pers.

Kita harus selalu mengingtakan diri, bahwa Etika pers adalah salah satu aspek penting dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik. Selain sebagai ‘core’profesionalisme pers, etika pers dalam hal ini kode etik pers adalah ‘kode kehormatan pers’. Menjaga dan mematuhi kemerdekaan pers, adalah bagian dari ‘menjunjung kehormatan diri’, karena kode etik pers secara materil tidak lain dari ‘kode kehormatan’.

Dalam aspek demokrasi, kemerdekaan pers adalah hal yang penting. Kemerdekaan pers tanpa demokrasi adalah manipulasi. Dalam demokrasi, kehadiran kemerdekaan pers seperti hubungan “dua sisi mata uang”. Maka dalam kemerdekaan pers dan demokrasi senantiasa melekat tanggung jawab. Tidak ada kebebasan, tidak ada demokrasi tanpa tangung jawab. Kemerdekaan pers dan demokrasi tanpa tanggung jawab adalah anarki belaka.

Untuk itu, wartawan tidak boleh hanya ingin menikmati kemerdekaan dan kebebasan saja. Tetapi wartawan juga harus menyadari, ada tanggungjawab yang senantiasa melekat dalam kemerdekaan. Karena jika demikian, maka wartawan akan kehilangan kemerdekaan, karena menikmati kemerdekaan tanpa tanggungjawab. Selain tanggungjawab, kemerdekaan pers juga harus senantiasa diperjuangkan karena selalu ada tantangan yang harus dihadapi.

Untuk itu, patuhi segala regulasi yang mengatur kerja-kerja jurnalistik agar pelaksanaan profesi jurnalis berjalan profesional. Jika itu terwujud, maka kemerdekaan pers akan terus terjaga. (*)

  • Bagikan