* Oleh: Dr Syahiruddin Syah MSi
(Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik Unanda Palopo)
Mengenai perpanjangan masa jabatan Presiden dengan kata lain penundaan pemilu dengan alasan pandemi merupakan akal-akalan para elit politik di Negeri ini, dan sangat mencederai konstitusi negara.
Kalau itu terjadi maka pemerintahan negara mulai presiden, MPR, DPR, sampai pada tingkat DPRD dalam menjalankan tugasnya ilegal, karena tidak diatur dalam konstitusi negara dan tidak dikenal dalam dunia pemerintahan di Indonesia. Hal ini juga menodai nilai-nilai Pancasila, terutama pada sila kedua, ketiga dan keempat. Ini merupakan ciri pemerintahan yang oligarkhi bila itu terjadi.
Sesungguhnya demokrasi yang kita terapkan di negara ini adalah demokrasi perwakilan, namun kenyataannya demokrasi terbuka, hal ini sudah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang dimaksud.
Negara kita menganut sistem demokrasi Pancasila, dimana dalam menentukan pemimpin negara seharusnya Medel keterwakilan, dimana MPR merupakan representasi dari rakyat Indonesia karena mereka dipilih oleh rakyat, sehingga mereka harus bertanggung jawab atas kepemimpinan negara, dimaksudkan bahwa MPR lah yang memilih dan menetapkan presiden dan wakil Presiden. Ini sangat aneh dan unik karena tidak sesuai dengan konsep negara Republik, bahwa negara republik demokrasinya terbatas. Merekalah menyerahkan sepenuhnya kepada wakilnya yang berada di Parlemen.
Demokrasi terbuka dapat menghabiskan keuangan negara yang ratusan trilyun besarnya.
Oleh karena itu harapan penulis sebaiknya sistem demokrasi kita mengacuh pada demokrasi Pancasila yang lebih mengedepankan musyawarah mufakat, melalui parlemen. Inilah Demokrasi yang tidak banyak mengeluarkan uang negara, dan hasilnya berkualitas karena tidak ada transaksi jual beli suara perorangan. (*)