Oleh: M. Nur Alfatah
Business and Management Institute, Yayasan Pendidikan Fajar
Salah satu yang menarik dalam perhelatan MotoGP di sirkuit Mandalika kemarin, adalah hadirnya Mbak Rara, pawang hujan. Wanita yang nama lengkapnya Raden Roro Istiati Wulandari (38) ini menjadi salah bintang perhelatan, selain para rider. Diliput media dan mendunia. Akun twitter official MotoGP, bahkan memasang foto Mbak Rara bersama Fabio Quartararo salah satu rider yang menirukan gaya Mbak Rara. Entah serius atau satir, twitter MotoGP menuliskan kalimat: Thank You for stopping the rain, disertai emoji ketawa.
MotoGP bukan sekadar hiburan dan adu prestasi para rider. Sudah pasti ajang ini adalah ajang bisnis sport-entertainment Sebagai bisnis, pastilah rasional. Ada hitung-hitungan, dan semua dilakukan secara terukur untuk meminimalisir risiko. Namun, dalam menyaksikan bisnis pertunjukan motor sport kemarin itu, rasionalitas penonton tiba-tiba seperti “diruntuhkan”,
Mbak Rara. Sang pawang hujan yang biasanya bekerja “di belakang layar” tiba-tiba tampil di depan publik penonton. Memukul-memukul cawan dan mengibas-ngibas tangannya menengadah ke langit, di tengah derasnya hujan. Luar biasa efek yang ditimbulkan Mbak Rara. Konon ia dibayar mahal untuk ritual yang terkesan “melawan” kehendak Tuhan.
Kita menertawai, bahkan banyak yang menghujat Mbak Rara, karena ia hadir “melawan” akal sehat, melawan keyakinan kolektif. Melawan keyakinan penganut agama. Keyakinan bahwa yang namanya cuaca adalah perputaran alamiah, hukum alam. Hujan-badai, gempa, gunung berapi meletus adalah peristiwa alam. Tidak bisa kita lawan. Ia bisa datang kapan saja, sebagai rahmat, cobaan, atau musibah yang berasal dari kuasa Tuhan.
Sesungguhnya dalam keyakinan kolektif dalam rumah agama, kita meyakini ada kekuatan di luar diri kita yang mampu mengendalikan dan berkuasa atas segala sesuatu dalam semesta raya. Ini yang disebut spiritualisme. Kita percaya dengan akal sehat dan keyakinan, ada kekuatan Tuhan dibalik semua peristiwa yang terjadi di semesta raya ini. Sehelai daun yang jatuh pun sudah tercatat dalam buku kekuasanNya. Agama adalah akal, kecuali dalam beberapa tataran, keyakinan harus di atas segala akal sehat.
Suatu ketika, pernah seorang pejabat Walikota akan melaksanakan hajatan. Pada hari H, cuaca mendung dan gelap. Ramalan BMKG meyakinkan bahwa hujan hampir pasti akan turun. Pak Walikota memerintahkan stafnya untuk menghubungi pawang hujan. Stafnya segera menghubungi pawang hujan. Sudah beberapa yang dihubungi semuanya angkat tangan, karena mereka yakin kemungkinan hujan kali sulit dihindari. Detik-detik terakhir ditemukanlah seorang pawang hujan yang siap memenuhi aspirasi Pak Walikota. Akan tetapi ini masalahnya; tarifnya mahal. Sampai Pak Walikota marah. “kenapa mahal sekali”. Apa jawaban sang pawang ? “Mahal Pak, karena yang kita lawan Tuhan”.
Kita mungkin marah, sedih, dan prihatin dengan kejadian Mbak Rara kemarin. Dari komentar-komentar di media kita bisa melihat bagaimana sebagian dari kita tertawa, marah, bahkan mungkin merendahkan. Sekelas pertunjukan balapan yang hi-tech, serba perhitungan rumit dan terukur, kita masih percaya pada praktek yang irrasional, melawan akal sehat, dan melawan keyakinan kolektif.
Tetapi mari kita telusuri lebih dalam. Jauh ke dasar beliefs kita. Apakah yang dilakukan oleh Mbak Rara sesungguhnya hanya menyembulkan beliefs kita yang ambivalen. Membongkar kemunafikan kita yang masih menyimpan bahkan mungkin melakukan ritual-ritual mirip Mbak Rara. Dalam keseharian, dalam bisnis kita masih percaya pada kekuatan mistis, pada kekuatan selain Tuhan.
Lihatlah, pada gedung-gedung tinggi, hotel, perkantoran, sulit kita temukan angka 4, 13, atau pertambahan kedua angka yang menghasilkan angka 4 (31 atau 22), di tombol lift atau lantainya. Angka 4 diyakini sebagai angka “sial”, angka kematian. Padahal kita yakin, kematian itu ketetapan Tuhan.
Dalam tradisi tertentu, sebagian dari kita masih meyakini, hari baik dan hari buruk. Jangan memulai bisnis di hari Selasa, nanti “salah-salah”. Jangan memutuskan sesuatu pada hari Rabu, nanti “ragu-ragu”. Angka 7, atau triple 777, adalah angka keberuntungan karena diyakini dapat sukses mencapai tujuan. Bisnis rumah makan yang laku, selalu memunculkan isu memakai penglaris. Mencari “orang pintar” untuk menentukan hari baik sebelum memulai bisnis, dan masih banyak lagi.
Kita mudah mengatakan kita rasional dalam bisnis. Percaya pada kerja keras. Percaya pada Tuhan sebagai kekuatan yang Maha Besar. Kita marah ketika orang lain melakukan ritual di luar nalar, di luar tatanan doktrin keyakinan yang kita anut. Kita cap sebagai melawan Tuhan. Kita menertawai, marah, meledek, menghujat dan sinis kepada Mbak Rara dengan ritual-nya, tetapi pada saat yang sama kita juga melakukan ritual yang sama. Masih percaya pada simbol-simbol, angka-angka, atau hari-hari yang baik dan buruk, melemahkan kekuatan rasionalitas kerja keras dalam bisnis dan keyakinan pada kuasa Tuhan***