PUSPITASARI
Pembimbing Kemasyarakatan Pertama
pada Bapas Kelas II Palopo
Anak adalah generasi penerus bangsa yang ditumpuhkan banyak harapan untuk memberikan perubahan di masa depan bangsa dan Negara. Di era Modern ini, dengan kemajuan teknologi pertumbuhan anak semakin pesat. Anak saat ini lebih bisa bersikap dan menentukan kemauannya sendiri. Anak dipandang tidak selugu anak-anak di usianya. Anak membutuhkan pola asuh yang baik seperti perhatian, kasih sayang, pengawasan dan pemenuhan kebutuhan bagi anak agar proses tumbuh kembang anak tidak terhambat. Pada kenyataanya tidak semua anak mendapat pola asuh yang baik dan benar dari orang tua disamping pengaruh lingkungan yang kurang mendukung, pola asuh yang salah menyebabkan terganggunya pertumbuhan emosional anak sehingga menyebabkan anak dapat melakukan tindak pidana.
Jika kita perhatikan kondisi saat ini, semakin banyak anak yang terlibat tindakan kriminal.hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor dari luar diri anak tersebut, seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain, dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 1 ke-3 Undang Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak tersebut dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul konsep diversi atau pengalihan untuk membuat aturan formal bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasarkan Pasal 1 ke 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, dengan demikian anak yang berkonflik dengan hukum dapat diupayakan untuk dilakukan diversi agar anak dapat terhindar dari proses peradilan yang melelahkan dan juga emosional. Tujuan dari Diversi diatur dalam pasal 6 UU SPPA adalah untuk menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, Mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan dan peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula ( Restitutio in integrum ) dan bukan pembalasan.
Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (Dua Belas ) Tahun tetapi belum berumur 18 (Delapan Belas ) Tahun atau telah berumur 12 (Dua belas ) tahun, termasuk anak yang telah kawin namun belum berumur 18 (Delapan Belas) Tahun.
UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan diversi di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Pada prosesnya Diversi dilakukan penyidik dengan melibatkan anak yang berhadapan dengan hukum ( anak yang berkonflik dengan hukum dan anak yang menjadi korban maupun anak yang menjadi saksi korban) bersama orang tua/wali, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial serta tokoh masyarakat setempat dengan mengedepankan keadilan restoratif, artinya diversi dilaksanakan untuk mencari penyelesaian yang dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak, disatu sisi korban bisa mendapatkan ganti rugi seperti sedia kala sebagai bentuk pertanggung jawaban dari pelaku dan disisi lain pelaku dapat terhindar dari hukuman penjara sehingga ia bisa memperbaiki kesalahannya dan menghindari stigma negatif di masyarakat agar masa depannya bisa menjadi lebih baik.
Apabila para pihak dapat menemukan solusi dan sepakat dengan solusi tersebut, maka akan melahirkan hasil kesepatan diversi yang harus dilaksanakan dengan penetapan pengadilan namun sebaliknya apabila dalam proses diversi tersebut para pihak tidak mampu menemukan solusi dan kesepakatan tidak tercapai atau hasil kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses hukum anak akan dilanjutkan ke proses peradilan.
Adapun hasil kesepakatan Diversi dalam Pasal 11 UU SPPA dapat berbentuk antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam penyidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat.(*)