PERAN ORANG TUA DALAM PERILAKU TINDAK PIDANA ANAK

  • Bagikan

Eka Herninda, S.Psi

Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II Palopo

Generasi muda saat ini kelak akan menjamin keberlangsungan hidup bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, anak sejatinya merupakan investasi, potensi, dan generasi penerus bangsa. Tumbuh dan berkembang dengan optimal merupakan hak anak, maka dari itu perlu diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk mengoptimalkan kemampuannya agar fisik, mental, maupun sosial dapat berkembang sesuai tahapan perkembangannya.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, masalah kenakalan remaja, pola asuh yang salah adalah problem yang banyak dihadapi keluarga masa kini. Beberapa faktor yang diabaikan justru menjadi faktor yang umum dan saling terkait. Salah satu faktor adalah kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua. Demikian halnya dengan anak yang berkonflik dengan hukum. Di dalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 menjelaskan Anak yang Berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun,yang diduga melakukan tindak pidana. Beberapa tindak pidana yang umumnya dilakukan oleh anak antara lain pencurian, penganiayaan/perkelahian, kesusilaan, pornografi, narkotika, ketertiban, dan lain-lain. Terdapat beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi tindakan kriminal pada anak, yaitu faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan psikologis.

Dari sisi proteksi negara, upaya perlindungan anak masih sangat lemah. Perkembangan teknologi membuat anak sangat mudah mengakses pornografi diinternet, permainan anak (game) bermuatan judi, kekerasan, dan sadisme. Hal tersebut dapat memberikan paparan konten negatif dan berdampak buruk pada perkembangan anak, termasuk didalamnya pembentukan karakter, nilai, dan perilaku yang akan terbawa hingga dewasa (Irmayani, 2017).

Pondasi serta peran utama yang menjadi paling penting dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak adalah orangtua. Orangtua menjadi contoh utama bagi anak dalam berperilaku. Peran orangtua memberikan andil yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, pembiaran serta perilaku yang tidak sewajarnya akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan anak. Berdasarkan teori social learning, anak akan melakukan proses modeling perilaku dari orangtua. Jika orangtua memberikan contoh berperilaku yang sopan, hangat, dan perilaku baik lainnya, maka kemungkinan besar anak akan memiliki perilaku yang sama. Begitupun sebaliknya, orangtua yang memiliki perilaku kasar, temperamen tinggi, suka membentak, malas, serta perilaku buruk lainnya, kemungkinan besar anak akan meniru perilaku buruk tersebut (Sholikhati & Herdiana, 2015).

Ada beberapa pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya, mulai dari pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis. Orang tua yang mengasuh anaknya dengan pola asuh otoriter membuat anak merasa tertekan dengan aturan dan larangan yang dibuat oleh orang tuanya sehingga membuat anak tidak betah di rumah dan lebih memilih menghabiskan waktu di lingkungan pergaulannya. Sedangkan pola asuh permisif yang memberikan keleluasaan kepada anak untuk melakukan segala sesuatu sesuai keinginannya dan tidak diikuti dengan pengawasan yang baik juga dapat membuat anak dengan bebas bergaul hingga melakukan tindak pidana.

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang paling memungkinkan untuk menghindarkan anak menjadi pelaku tindak pidana. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak serta orang tua dan anak saling bersikap terbuka satu sama lain sehingga memudahkan orang tua untuk mengawasi pergaulan anak dan mengetahui kegiatan anak di luar.

Dari hasil penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, tidak sedikit anak-anak yang melakukan tindak pidana karena pola asuh yang diterapkan orang tua. Mulai dari orang tua yang otoriter hingga kurangnya pengawasan orang tua karena perceraian. Hal tersebut bukan hanya terjadi pada anak namun akan berdampak hingga dewasa dan menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana.

Olehnya itu, seyognya orangtua melakukan pengontrolan serta meningkatkan kedekatan dengan anak agar anak dapat merasakan kelekatan serta memudahkan orangtua untuk mengontrol pergaulan anaknya. Jika hal tersebut dilakukan dengan baik, anak akan menjadi lebih terbuka dan dapat menceritakan permasalahan yang dihadapi sehingga tidak mudah terjerumus kepada hal negatif yang mengarah pada perilaku tindak pidana. Jika anak yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergaul di luar rumah dan menemukan lingkungan yang negatif akan membuat anak juga terpengaruh dan mencoba melakukan hal negatif pula.

Referensi :

Agustiawati, Isni. 2014. Diakses pada 06 April 2022 dari http://repository.upi.edu/12418/

Irmayani. 2017. Peranan Orang tua, Penegak Hukum dan Pekerja Sosial dalam Mengatasi Masalah Psikososial Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau Lembaga Pemasyarakatan. Diakses pada 03 Apeil 2022 dari https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/851/603

Sholikhati, Yunisa., & Herdiana, Ike. 2015. Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH), Tanggung Jawab Orang Tua atau Negara?. Seminar Psikologi & Kemanusiaan. Diakses pada 06 April 2022 dari http://mpsi.umm.ac.id/files/file/464-469%20Yunisa%20S.pdf

 

  • Bagikan

Exit mobile version