Oleh:
armin mustamin toputiri
Mencermati panggung politik di tanah air sepekan terakhir, hingga menyaksikan berlangsungnya pentas unjuk rasa mahasiswa 11-04-2022 kemarin, ayal di benak saya melintas adagium pernah dilontar adipati Laurenburg Jerman, Otto von Bismarc, “politics is the art of the possible”, politik adalah seni mengelola kemungkinan.
Guna memenuhi kemungkinan gol di antara hasrat juga ambisinya, politik menuntut untuk dipentas. Syarat diperlukan, adanya skenario yang terkonsepsi cara rapi. Tapi skenario tanpa sutradara dan aktor, politik ubahnya hanyalah sebuah kesia-siaan, bahkan mewujud semata lelucon.
Maka ketika para aktor mementas skenario tentang diskursus sekiranya Jokowi memungkinkan melebihi dua periode jabatan Presiden RI disandangnya, sebagaimana cara jelas termaktub dalam konstitusi, ayal saya selaku pekerja politik praktis yang mau belajar, mencoba duduk manis seperti lazimnya penonton teater atau film di kursi bioskop, lalu coba mengamatinya seperti lazimnya pengamat bola.
Rasa ingin tau saya sangat dalam, kira-kira alur skenario apa bakal dimainkan sang sutradara — yang lazimnya selalu bersembunyi di balik layar — guna memuluskan capaian golnya cara sempurna. Bagaimana ia meracik siasat strategi dan taktiknya secara holistik. Bagaimana ia membagi peran para aktornya untuk berperan secantik dan senyata mungkin tanpa cacat.
***
Seperti umumnya publik telah tau, jika pementasan kali ini lagi-lagi ditunjuk LBP sebagai pemeran aktor utama. Pilihan yang tepat, selain LBP dikenal prajurit terampil yang pantang mundur, juga konsistensi dan tingkat loyalitasnya pada pimpinan telah teruji di sekian kali pementasan sebelumnya. Selalu ditunjuk sebagai aktor pemeran utama, selalu itu juga tampil sempurna.
Tapi ini kali, peran utama disandangnya, batu ujian teramat berat, sangat sensitif dan bukan urusan main-main. Ini urusan jantung negara, amandemen konstutusi yang pasalnya justru ujung tombak diperjuangkan gerakan reformasi untuk memangkas jabatan presiden sebelumnya.
Terbayang betapa berat peran LBP kali ini. Dan justru karena soal-soal demikian itulah menariknya untuk bertekun-tekun duduk manis sebagai penonton yang baik guna menyaksikan pementasan politik kenegaraan kita di era mutakhr. Semoga banyak dipetik pelajaran setelah menyaksikannya.
***
Sebagai aktor utama, LBP bertugas memerankan skenario, pertama adalah memikat dukungan pimpinan parpol untuk perubahan konstitusi melalui keanggotaan parpol di parlemen. Skenario kedua, LBP mesti menggalang dukungan publik sebagai satu syarat mutlak atas pemberlakuan sistem demokrasi langsung dan terbuka.
Tugas pertama, di tahap awal telah mendapat sokongan Ketua Umum Parpol yang tak lain adakah bagian dari sesama aktor. Partai Golkar pemilik 85 kursi di DPR-RI. PAN 44 kursi, dan PKB 58 kursi. Totalnya baru 187 kursi dari 575 kursi, plus 136 Anggota DPD-RI untuk meraih dukungan 1/3 anggota MPR-RI guna mendapatkan persetujuan amandemen konstitusi, khususnya pasal masa jabatan Presiden RI.
Berdasar kalkulasi itu, LBP masih butuh kerja keras lagi merayu melalui beragam cara dan konsesi kepada sekian pimpinan parpol, khususnya parpol koalisi Jokowi yang mungkin dianggap gampang, seperti sebelum-sebelumnya terbukti setia mengawal kemauan Jokowi. Sekian pimpinan parpol coba menimbang-nimbang, menunggu sikap PDI-P, parpol utama Jokowi yang belum tergiur sampai titik temu mau bergabung.
Tugas LBP yang kedua, merajut dukungan publik yang boleh jadi juga dianggap remeh seperti operasi lapangan pernah dilalui. Khusus publik di level atas, LBP coba memainkan move “testing in the water”. Melempar big-data, klaim sepihak adanya 110 juta rakyat selaku pengguna medsos berkecenderungan mengingini pemilu 2024 ditunda.
Testing LBP, sontak ramai ditanggapi cara pro vs kontra. Pihak kontra, mempertanyakan sumber dan metodologi ilmiah atas data dimaksud LBP. Pihak yang pro, satunya adalah bagian dari aktor yang berancang-ancang memainkan kenario lanjutan. Pihak pro kedua yang terselubung, sadar bakal diuntung perpanjangan jabatan andai pemilu benar ditunda. Mereka itu para anggota legislatif pusat, lebih lagi di daerah-daerah.
***
Terhadap diskursus pro-kontra atas big-data dilempar LBP, tak diambil pusing oleh LBP. Namanya saja testing in the water, justru sebaliknya berbuah manis bagi LBP untuk mengukur secara kalkulatif tentang sejaumana reaksi balik dari percikan air yang telah ditepuknya. Nyaris sama siasat sekian kali dicoba Pak Harto tentang kadar kepemimpinannya melalui uji publik kenaikan harga jual BBM.
Terbukti, seperti diliput banyak media, di sekian daerah, kelompok Pro-Jokowi dan sekian komponen lainnya silih berganti berdeklarasi memdukung perpanjangan masa jabatan Presiden RI. Paling spekutakuler saat jelang Ramadhan, ribuan Kepala Desa sebagai pengawal suara rakyat di lapis pemerintahan terendah, beratribut lengkap dikumpul di Istora Senayan.
Di bawah panji APDESI, ribuan Kepala Desa dari seluruh penjuru Indonesia itu, diterima cara riang gembira oleh Jokowi, didampingi LBP dan sekian Menteri. Jokowi menjanji akan menggelontor lebih banyak lagi cuan APBN untuk desa dibanding sebelumnya, yang sejak 2015, telah mencapai Rp 468 Triliun. “Ini jumlah bantuan dana desa terbesar sejak Indonesia merdeka loh” jelas Jokowi. Sontak ribuan Kepala desa riuh bersorak riang.
Sebelum bubar, sekian Kepala Desa menyatakan dukungan perpanjangan masa jabatan Jokowi. Selain itu, sepulang ke desa masing-masing, berjanji akan menggalang dukungan dari warga desanya. Sedianya, sesuai skenario, deklarasi dukungan desa-desa se-Indonesia dilaksanakan sehabis lebaran Idul Fitri nanti. Entah, apa selanjutnya skenario ini masih disiapkan atau telah dibatalkan.
***
Sungguh sebuah lakon panjang. Siapakah sutradara di balik layar yang mengolah seluruh babakan pementasan ini? Lazimnya, siapa di balik layar, sama sekali publik tak boleh tau. Bahkan sesama aktor sekalipun, tak boleh banyak tau. Sebabnya, mata rantai di antara aktor mesti diputus. Biarkan rasa tau sesama mereka, sebatas saling menduga.
Harap maklum, panggung politik memang punya norma sendiri. Narasi diajukan para aktor, idialnya bertabur metafor, bersayap dan multi tafsir. Aktor politik, hukumnya makruh bernarasi dengan tafsir tunggal. Politisi haram tergorok oleh belati mulutnya sendiri, sebagaimana adagium “mulutmu harimaumu” mengingtkan. Bahkan jika perlu, guna membebaskan jejak, sesama aktor politik diharuskan bernarasi di sekian arah yang saling bersimpang.
Demikian siasat, hukum besi berlaku di atas panggung politik praktis. Tak lebih kurang lazimnya diperankan para aktor teater dan film. Kepiluan seorang aktor dinilai sukses memainkan aktingnya, jika penontonnya ikut terharu dan lupa jika adegan ditontonnya adalah kepura- puraan. Maka bukan hal keliru jika awam memahami politik semata panggung sandiwara. Dan politisi sebagai aktornya, pelaku tipu muslihat.
Faktanya, sebagaimana tontonan tambahan kita dapat saksikan secara nyata dipentaskan banyak aktor politik pusat dan daerah dikala menanggapi tuntutan diajukan gelombang pengunjuk rasa kemarin. Beramai-ramai tampil, menyamai pahlawan kesiangan di banyak film laga. Di medsos, beramai-ramai memajang foto, ayal kita pun ikut ramai-ramai memuji. Pentasan berhasil.
Sialnya, sebaliknya justru menimpa Ade Armando yang kemarin dibabak belur oleh sekian banyak pegunjuk rasa. Tanpa maksud mau mentolerir perbuatan menimpanya, sisi lain justru menjadi tontonan bahwa seorang akademisi yang telah maqom teori ilmu politik sekalipun, belum tentu maqom pula memainkan politik praktis di atas panggung. Terbukti, Ade menjadi korban akibat coba mengambil peran di sebuah lakon yang sesungguhnya gagap dipahaminya secara praksis. Ade sepertinyqa butuh mendaras ulang apa disebut “timing” atau “blocking” di panggung politik praktis.
Tak lebih kurang sama halnya kegagapan dipertontonan para aktor pengunjuk rasa di Jakarta kemarin. Bingung, bolak balik, menentukan titik konsentrasi massa, semula depan Istana Negara, besoknya dialih ke Gedung Parlemen Senayan. Terlepas entah hasil negoisasi atau bukan, tapi para pimpinan mahasiswa itu pun sepertinya juga belum maqom mendaras sebuah skenariio di atas panggung politik praktis. Risikonya, mereka bingung untuk tau siapa sebatas aktor, dan siapa sutradara sesungguhnya bersembunyi di balik layar.
***
Wajar, sebagai penonton yang tekun menyaksikan pentas politik kenegaraan kita kali ini, saya merasa tak puas. Plotnya menarik, tapi di endingnya ambyar. Unjuk rasa dipentaskan mahasiswa kemarin, meski berbuah manis membuyarkan sebuah skenario politik besar, tapi sisi lain berujung prematur. Timing dan blockingnya serasa tak pas, akibatnya publik hanya tau siapa aktornya, tapi siapa sutradara dan skenario apa dimainkan di balik layar, publik perlu tau cara terbuka. Tak kecuali, siapa sutradara di balik layar pengunjuk rasa, jika memang ada
Penonton tak kecewa, tapi tak puas. Sepertinya, para tokoh pergerakan mahasiwa itu, butuh didaraskan ulang ujaran disampaikan ahli strategi perang Tiongkok, Sun Tzu yang sejak ribuan tahun lalu, mengingatkan; “jika pernah membunuh musuhmu, tapi siapkanlah jebakan untuknya, agar kamu bisa menangkapnya dalam kondisi hidup”. Dari dirinya kau akan dapat informasi siapa sutradara di balik layar, serta skenario apa dimainkannya.
Makassar, 12 Maret 2022