* Oleh: dr. Nasaruddin Nawir, SpOG(K), MARS
(Pengurus IDI Kota Palopo, Anggota POGI Sulawesi Selatan, Mahasiswa Program S3 pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)
MESKI upaya pencegahan anemia pada ibu hamil terus dilakukan dengan pemberian tablet tambah darah (TTD) minimal 90 tablet selama kehamilan, nyatanya 48,9 % ibu hamil di Indonesia mengalami anemia (Profil Kesehatan Indonesia 2020). Sebesar 84,6% anemia pada ibu hamil terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun. Tentu saja ihwal ini tak hanya menimbulkan pertanyaan medis bertumpuk namun juga meniupkan kekhawatiran membadai. Betapa tidak, anemia pada ibu hamil berarti risiko kematian ibu dan anak dapat meningkat. Begitu pula risiko kelahiran prematur dan penyakit infeksi sudah barang tentu tak terelakan.
Ihwal mengkhawatirkan ini juga berarti pertumbuhan dan perkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelahnya jelas akan terpengaruh, terlebih dengan terjadinya anemia defisiensi besi pada ibu hamil. Kekurangan zat besi (iron deficiency anemia/IDA) ini merupakan penyakit yang terjadi ketika kapasitas pembawa oksigen darah menurun karena tidak ada cukup zat besi untuk membuat hemoglobin (Smolin, Lori A & Grosvenor, Mary B. 2010). Bahwa kekurangan zat besi dapat menurunkan daya tahan tubuh tentu sudah jelas. Untuk mencegahnya diperlukan asupan zat besi tambahan yang diperoleh dari tablet tambah darah (TTD).
Harapannya adalah dengan asupan zat besi sejak dini, angka kejadian anemia ibu hamil, pendarahan saat persalinan, BBLR, dan balita pendek dapat menurun. Kebutuhan zat besi pada ibu hamil 4x lebih besar ketimbang laki-laki dewasa dan untuk ini ibu hamil tidak mampu mencukupi kebutuhan zat besi hanya mengandalkan dari makananan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya diantaranyanya pemberian tablet tambah darah, fortifikasi pangan untuk meningkatkan zat gizi tertentu maupun modifikasi kebiasaan makan ibu hamil.
Tetapi apakah angka penurunan ini terjadi? Mengapa hampir 50% ibu hamil di Indonesia hingga kini masih mengalami anemia? Adakah perilaku bermasalah pada kebijakan berkenaan dengan anemia dan bagaimana kebijakan kesehatan yang tepat mengatasi anemia di Indonesia? Bukan mimpi, bukan khayalan jika saya tulis disini puisi harapan penyair Indonesia: “Indonesia bebas anemia,
Ibu hamil sehat bahagia.”
Anemia, Kehamilan dan Stunting
Sebagai seorang dokter, saya sangat menyadari bahwa sesungguhnya penyebab kejadian anemia sangat beragam. Dan penyebab anemia ini hanya akan teratasi dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan apusan
darah dan pemeriksaan anamnesis melalui percakapan dokter dengan pasien untuk melengkapi data permasalahan medisnya. Anemia mungkin disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan
kehilangan sel darah merah (eritrosit). Jika konsentrasi Hb yang rendah disebabkan oleh peningkatan volume plasma, seperti pada kehamilan, maka anemia dianggap fisiologis. Sebagai informasi untuk masyarakat umum, kadar hemoglobin (Hb) yang rendah adalah <13,5 g/dL untuk pria dan <11,5 g/dL untuk wanita (Flynn, John A., Choi, Michael j., & Wooster, L. Dwight. 2013). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dalam hemoglobin dibawah 11 gr% pada trismester I dan III atau kadar < 10,5 gr% pada trismester II. Konsentrasi hemoglobin yang rendah karena penurunan massa sel darah merah inilah yang dipahami di dunia kedokteran sebagai anemia.
Ibu hamil yang mengalami anemia akan melahirkan balita dengan tubuh pendek. Hasil penelitian memperkuat kenyataan bahwa stunting dapat dipicu oleh anemia. Sederhananya hal ini dikarenakan sel darah merah yang jumlahnya sedikit pada ibu hamil dengan anemia, tidak akan maksimal mengalirkan nutrisi ke seluruh tubuh, termasuk ke janin yang dikandung. Akibatnya terjadilah pertumbuhan kerdil pada anak hingga memiliki tubuh yang lebih pendek dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.
Sejarah Kebijakan Anemia di Indonesia
Kajian tentang sejarah kebijakan penanggulangan anemia di Indonesia hingga kini masih langka, termasuk masih sedikitnya dokumentasi sejarah perjalanan program penanggulangan anemia
defisiensi besi. Pada tulisan ini saya memaparkan hasil penelusuran saya tentang sejarah kebijakan anemia, yakni menelusuri ada tidaknya istilah ‘anemia, hemoglobin, besi atau zat besi’, istilah ‘kurang darah’ dan juga istilah ‘gizi’ pada kebijakan pemerintah Indonesia.
Istilah ‘zat besi’ di tahun 1952 dikenal dengan istilah ‘Supply Pil Besi’. Kala itu pemerintah mendistribusikan suplemen zat besi pada ibu hamil dalam bentuk pil kecil berisi fero sulfat,
melalui Balai Kesehatan Ibu dan Anak. Supply Pil Besi diperoleh dari bantuan UNICEF dan bukan dari kebijakan pemerintah Indonesia kala itu. Hingga tahun 1960-an, belum terdapat kebijakan pemerintah berkenaan dengan perbaikan gizi.
Memang pada tahun 1963 terdapat Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang dirintis di Jawa Tengah, dikenal dengan istilah "Applied Nutrition Program" (ANP). Hanya saja UPGK ini sangat mengandalkan peran serta aktif masyarakat karena dilaksanakan oleh keluarga dan masyarakat berupa kegiatan penyuluhan gizi, pelayanan gizi dan pemanfaatan pekarangan.
Kebijakan Perbaikan Gizi
Barulah pada tahun 1974 terbit kebijakan pemerintah berkenaan dengan perbaikan gizi yakni Inpres No. 14 Tahun 1974 dan Inpres No. 20 Tahun 1979 yang telah disempurnakan, tentang Perbaikan
Menu Makanan Rakyat. Sebelas tahun kemudian, di tahun 1990, kebijakan teknis operasional dari Inpres ini baru terbit, yakni berupa Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 1990 tentang
Penyelenggaraan Gerakan Sadar Pangan dan Gizi untuk Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 459/Menkes/SK/X/90 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga.
Kebijakan Berkenaan dengan Anemia
Selama 35 tahun sejak Inpres No. 14 Tahun 1974, Indonesia belum memiliki kebijakan tentang anemia. Barulah pada tahun 2014 terbit Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 41 Tahun 2014
tentang Pedoman Gizi Seimbang. Meskipun pada PMK ini tidak terdapat pengertian anemia, namun istilah anemia tercetak pada Bab III Pesan Gizi Seimbang yakni Pesan Khusus untuk ibu hamil
yakni tentang kebutuhan zat besi untuk pembentukan sel baru dan pembentukan hemoglobin pada sel darah merah. Pada PMK ini tercetak “Kekurangan hemoglobin disebut anemia atau disebut penyakit kurang darah dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi seperti Berat Bayi Lahir Rendah kurang dari 2500 g (BBLR), perdarahan dan peningkatan risiko kematian.”
Kebijakan tentang Darah
Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak terdapat istilah ‘anemia’, tidak terdapat istilah ‘besi atau zat besi’, dan juga tidak terdapat istilah ‘kurang darah’ apalagi ‘penyakit kurang darah’. Pada UU Kesehatan ini, memang terdapat istilah ‘darah’, namun berkenaan dengan palayanan darah, donor darah, pengolahan darah, transfusi darah dan larangan darah diperjualbelikan.
UU No. 36 Tahun 2009 ini telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan telah pula diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perpu ini telah ditetapkan dengan UU No. 2 Tahun 2020. Dan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah mengubah semua kebijakan ini.
Kebijakan Anemia Defisiensi Besi
Tentang anemia defisiensi besi, paling tidak terdapat 6 kebijakan berupa program terkait pemenuhan pangan dan gizi untuk mengatasi iron deficiency anemia ini. Program ini diselenggarakan oleh berbagai kementerian, yakni: Kementerian Kesehatan, dengan program peningkatan literasi gizi dan
kesehatan, suplementasi zat gizi mikro, edukasi 6 pesan kunci utama, dan surveilance gizi; Kementerian Pertanian dengan program yang menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan; Kementerian Sosial dengan program penganekaragaman pangan, termasuk protein yang bervariasi dan ketersediaan pangan sumber karbohidrat, protein, vitamin & mineral ditingkat keluarga; Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan program variasi konsumsi protein hewani yang kaya gizi;
Kementerian Perindustrian dengan program pengembangan industri makanan dan minuman, termasuk pelaksanaan fortifikasi wajib; dan Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan program penyusunan dan penguatan regulasi label dan iklan pangan serta pengawasan pangan fortifikasi.
Kebijakan Anemia dan Perilaku Bermasalah
Lintasan sejarah kebijakan anemia ini berhadapan dengan kenyataan pahit hari ini, hampir 50% ibu hamil di Indonesia mengalami anemia. Adakah perilaku bermasalah pada kebijakan anemia? Seidman & Seidman (1994) memberikan kerangka kerja untuk memahami kemungkinan dampak kebijakan publik, entah itu berupa undang-undang maupun peraturan dibawahnya terhadap perilaku role occupants yakni individu-individu yang berpotensi terpengaruh oleh kebijakan. Mnemonik atau pola hafalan yang memudahkan mengingat model Seidman & Seidman ini adalah ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, and Ideology).
Dalam pandangan Seidman & Seidman, aturan harus ditetapkan dengan jelas yakni jelas memacu perilaku yang diinginkan, termasuk prosedur pelaksanaan yang dirancang dengan baik serta wewenang dan sumber daya yang memadai untuk lembaga pelaksana. Membedah kebijakan berdasarkan rules pada ROCCIPI ini akan memberi rekomendasi kebijakan mengatasi fakta temuan penelitian perilaku bermasalah, diantaranya 98% ibu hamil belum meminum tablet tambah darah, dengan alasan merasa tidak perlu (20%), lupa (19%), dan 9% beralasan takut efek samping (Riskesdas, 2018; SDKI, 2017; GSHS, 2015; SDT, 2014; dan Hardinsyah, 2014).
Role occupants juga harus memiliki kesempatan dan kapasitas untuk mematuhi kebijakan (peraturan). Ibu hamil yang hidup dalam lingkungan yang tidak sehat, bagaimana mungkin dapat mematuhi kampanye perilaku hidup bersih dan sehat. Mereka tidak memiliki kapasitas untuk itu. Kebijakan tersebut juga
harus dikomunikasikan dengan jelas. Hasil penelitian 98% ibu hamil tidak meminum tablet tambah darah adalah fakta miskmonunikasi, bisa jadi antara ibu hamil dengan petugas kesehatan. Selanjutnya, interest pada ROCCIPI berarti kepentingan lembaga pelaksana harus sejalan dengan regulasi. Proses perumusan dan pelaksanaan peraturan harus melibatkan para role occupants. Dan terakhir, kebijakan baru haruslah mempertimbangkan ideologi para role occupants, terutama dalam
hal keyakinan, interpretasi dan dampak dari respons perilaku mereka, terlebih perilaku yang bermasalah.
Model perumusan kebijakan melalui pemetaan perilaku bermasalah inilah yang saya pikir tepat untuk digunakan dalam penelitian kebijakan anemia di Indonesia. Dan berkenaan dengan pentingnya penanggulangan anemia, sempat terpikir dalam lamunan, alangkah eloknya jika Indonesia memiliki Undang-Undang Penanggulangan Anemia pada Ibu hamil. (*)