Suasana saat rapat dengar pendapat DPR RI Komisi X dengan APTISI. -- tangkapan video youtube--
PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Berita tak sedap datangvdari dunia pendidikan. Tercatat, ada 320 ribu lulusan Perguruan Tinggi Kesehatan ternyata tidak bisa bekerja. Kenapa?
Melihat hal itu, Komisi X DPR RI pun menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) mengenai berbagai persoalan terkait Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia. Yah, tentunya, salah satu yang dibahas yakni menyoal lulusan PTS Kesehatan yang tidak bisa bekerja.
Menurut Ketua Umum APTISI, Dr. Ir. H. M Budi Djatmiko, M.Si., saat ini ada 320 ribu lulusan perguruan tinggi kesehatan yang tidak bisa bekerja.
"Uji Kompetensi Mahasiswa Kesehatan seluruh Indonesia, kami sekarang ada 320 ribu lulusan PT Kesehatan yang tidak bisa bekerja dikarenakan mereka belum lulus uji kompetensi," ucapnya dalam rapat yang disiarkan Youtube Komisi X DPR RI Channel, Senin, 30 Mei 2022.
Adapun tentang Uji Kompetensi tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 44, yang berbunyi:
- Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya.
- Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh PT bekerjasama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.
- Sertifikat kompetensi digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu.
- Perseorangan, Organisasi, atau Penyenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.
Sesuai dengan UU 12 Tahun 2012 Pasal 44 tersebut, berarti uji kompetensi tersebut memiliki kewenangan untuk dilakukan oleh PT bersama lembaga tersertifikasi dan/atau organisasi profesi.
Namun, Budi mengatakan di lapangan tidak sesuai dengan kenyataan. Pasalnya, justru Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang melaksanakan uji kompetensi.
"Itu pasalnya sudah jelas. Tetapi kenyataannya, ini dilakukan oleh Dikti. Jadi jelas itu melanggar UU. Karena di dalamnya ada dana ratusan miliar tiap tahun mengalir dan itu dipungut oleh PTN," ungkapnya, seperti dilansir detik.com yang dikutip PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID.
"Pemahaman kami jika ada lembaga yang memungut uang masyarakat, harus seizin DPR," imbuh Budi.
Menurut Budi, adanya uji kompetensi yang salah tersebut juga mengakibatkan PT Kesehatan kurang peminat.
"Mestinya Uji Kompetensi ada 3 ranah: psikomotorik, afektif, dan kognitif. Nah yang dilakukan di sana hanya kognitif saja. itu salah. Baru satu tahun diubah tapi tetap ada yang pegang. Siapa pemegangnya? Saya minta ini harus diusut di KPK. Karena ini uang nggak jelas dan sudah 10 tahun," tuturnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menyampaikan bahwa Komisi X sedang melakukan kajian terkait penyelenggaraan Uji Kompetensi.
"Komisi X sedang mendalami dan melakukan kajian terkait Permendikbud dalam pembentukan Komite Nasional Uji Kompetensi. Kami sedang melakukan telaah terhadap apa yang disampaikan teman-teman APTISI," ungkapnya, Senin, 30 Mei 2022.
Adapun aturan lembaga penyelenggara Uji Kompetensi yang dimaksud tertuang dalam Permendikbud Nomor 2 tahun 2022 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan Pasal 6 yang berbunyi:
- Dalam menyelenggarakan Uji Kompetensi, Menteri membentuk Komite Nasional Uji Kompetensi.
- Komite Nasional Uji Kompetensi terdiri atas: pengawas, pengarah, pelaksana, dan pejabat pengelola keuangan.
Lebih lanjut, Syaiful mengatakan bahwa Komisi X setuju dengan langkah APTISI yang meminta penyelenggaraan Uji Kompetensi yang dikembalikan ke PT.
"Terkait dengan permintaan APTISI agar Uji Kompetensi dikembalikan ke PT masing-masing kami setuju," tuturnya.
"Kami setuju kalau dalam masa transisi ini, proses penyelenggaraan Uji Kompetensi dikembalikan ke kampus saja sebagaimana amanat undang-undang," tutup anggota Komisi X DPR yang membidangi Pendidikan, Olahraga, dan Sejarah itu. (net/pp)