Pemberlakuan Pembayaran Iuran BPJS Kesehatan Bertahap, Ini Penjelasan Dirut Ali Ghufron

  • Bagikan

Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti. --net--

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Besaran iuran bulanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan nantinya disesuaikan dengan gaji peserta penerima upah, yakni sebesar lima persen. Hanya saja, ada iuran maksimal, yakni Rp12 juta.

Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam dialog Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu, 11 Juni 2022, dijelaskan bahwa iuran bulanan BPJS Kesehatan sebesar lima persen dari gaji peserta

“Hitungannya, satu persen dari gaji atau upah, empat persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Jadi total lima persen,” bebernya.

Ali menambahkan, seharusnya semakin tinggi gaji atau upah, itu semakin besar. Tetapi di Indonesia ini diberi maksimum Rp12 juta.

''Sehingga mereka yang bergaji 100 juta dengan yang gaji 10 juta itu hampir sama,” urainya.

Ia menambahkan, jika tidak ingin ada kegaduhan, sebaiknya memang diubah menjadi maksimal Rp12 juta, kemudian disesuaikan yang lebih bagus.

Sehingga nantinya, katanya, ada cross subsidy (subsidi silang, red), ada gotong royong, konsep asuransi kesehatan sosial.

“Harusnya yang gajinya tinggi iurannya lebih banyak, tetapi tidak sekarang ya. Sekarang ini hampir sama,” tegasnya.

Saat ditanya mengenai wacana standardisasi kelas layanan nantinya akan merujuk pada pelayanan kesehatan kelas berapa? Ali hanya mengatakan bahwa itu pertanyaan yang sulit dijawab.

“Kalau itu, menunjukkan perlunya komprehensivitas dan pemahaman serta perumusan yang bagus. Jadi kalau menjawab pertanyaan itu saja sudah sulit,” jawabnya.

Dibeberkan Ali, roadmap kebijakan tentang standardisasi kelas, kata Ali, disusun oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Tetapi, yang jelas, lanjut dia, pada tahun 2022, akan mulai diuji coba. Selanjutnya, akan dimulai secara bertahap pada 2023.

“Roadmap-nya seperti itu. Nanti di 2024 itu kemudian diimplementasi lebih banyak,” ungkapnya.

Bagi BPJS, katanya fokus pada mutu, peningkatan seperti apa yang dibutuhkan masyarakat.

''Kalau masyarakat ditanya, dan kami melakukan penelitian, apakah mereka yang kelas III ingin naik kelas dengan bayar lebih, ternyata tidak,” ucapnya.

Menurut Ali, kebanyakan mereka ingin tetap di kelas III.

Begitu pula dengan peserta yang terdaftar di kelas II, tidak mau turun ke kelas III meskipun dengan iuran yang lebih murah.

Hal yang sama, kata dia, terjadi pada peserta kelas I.

“Apakah ingin turun tapi iurannya dikurangi? Nggak, ‘Saya iurannya tetap tapi tetap di kelas I,’” lanjutnya.

Saat ditanya mengenai apakah nantinya layanan yang diterima oleh peserta masing-masing kelas akan sama? Ia mengatakan, menyamakan layanan merupakan hal yang bagus.

“Tapi urgensinya perlu kita tata kembali. Yang justru urgen adalah tata kelola di kelas I, II, III, itu harusnya bagaimana standar klinis medis mengelola pasien,” ujar Ali.

Ali menegaskan, hal itu yang jauh lebih urgen dan lebih penting dalam kaitannya dengan equity.

“Jadi kalau kelas fisik, boleh-boleh tapi tidak terlalu esensial. Yang esensial itu bagaimana pasien dapat obat, dapat daftar, dapat kepastian, begitu,'' katanya speerti dikutip dari kompas.com.

Mengenai usulan iuran bulanan diratakan sebesar Rp75 ribu per bulan, Ali mengatakan hal itu tidak sesuai dengan prinsip dasar asuransi kesehatan sosial.

“Semua sama, yang  miskin maupun kaya, itu menyalahi prinsip dasar asuransi kesehatan sosial, karena gotong royongnya tidak ada,” pungkasnya. (net/pp)

  • Bagikan