3 Pilihan Iuran BPJS Kesehatan Untuk Pekerja Informal atau Peserta Mandiri, Belum Ada Kenaikan Sampai 2024

  • Bagikan

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA--  Iuran BPJS Kesehatan untuk saat ini belum ada kenaikan. Nanti tahun 2024 baru diberlakukan kenaikan.

Saat ini, Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) masih menyusun skema baru tarif iuran BPJS Kesehatan.

Skema baru iuran BPJS Kesehatan ini akan ditetapkan seiring rencana pemerintah melebur kelas rawat inap pasien BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Peserta yang masuk dalam skema baru tarif iuran BPJS Kesehatan akan dibagi tiga kelompok.

Berikut tiga kelompok peserta BPJS Kesehatan dalam program KRIS:

1. Peserta dari kelompok Pekerja Penerima Upah (PPU) akan dikenakan iuran BPJS Kesehatan sesuai gaji yang diterima setiap bulan.

PPU atau biasa disebut pekerja formal terdiri dari penyelenggara negara seperti ASN, TNI, Polri, dan pekerja swasta

2. Kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap, akan ada tiga pilihan kelas iuran BPJS Kesehatan. Mereka ini biasanya masuk kelas kepesertaan mandiri.

3. Kelompok peserta dari masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), iurannya ditanggung oleh pemerintah.

Besaran Iuran BPJS Kesehatan Program KRIS

Pejabat pengganti sementara (Pps) Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) BPJS Kesehatan Arif Budiman menjelaskan, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, besaran iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta PBI, iurannya sebesar Rp 42.000 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah," kata Arif, Minggu (12/6/2022).

Sementara itu, bagi peserta PPU atau pekerja formal, baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, Polri maupun pekerja swasta, besaran iurannya sebesar 5 persen dari upah yang dipotong dari gaji pekerja. Rinciannya 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja.

Ia menjelaskan, untuk perhitungan iuran ini berlaku batas bawah, yaitu upah minimum kabupaten atau kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta.

"Jadi perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya," beber Arif.

Untuk  kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap, dikelompokkan sebagai peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Terkait jenis kepesertaan ini, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki.

Kelas 1 sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 100.000 per orang per bulan, dan kelas 3 sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.

"Perlu diketahui juga bahwa khusus PBPU kelas 3 sebetulnya mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 7.000 per orang per bulan, sehingga sebetulnya totalnya Rp 42.000," beber Arif.

Jadi, ia menambahkan, bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan, dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2, atau 3.

"Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah," tandasnya.

Kapan Tarif Baru Iuran BPJS Kesehatan Berlaku?

Pemerintah hingga saat ini masih memberlakukan tarif iuran BPJS Kesehatan sesuai skema kelas 1, 2 dan 3.

Pemerintah masih mengkaji skema baru tarif iuran BPJS Kesehatan seiring rencana perubahan standar perawatan pasien menjadi satu kelas.

Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan Program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk pasien peserta BPJS Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengisyaratkan sampai tahun 2024 besarannya tidak akan naik.

Ali Ghufron mengatakan, program KRIS tersebut memang rencananya akan diuji coba pada tahun 2022 ini.

Namun kata Ali Ghufron, saat ini proses standarisasi kelas masih dalam perumusan konsep.

"Apakah cukup dengan 12 kriteria fisik atau lebih ke arah esensial seperti akses dokter dan obat. Maka, DPR Komisi IX mendesak untuk adanya penyamaan definisi dan kriteria serta roadmap pentahapan yang lebih rinci," kata Ali Ghufron dikutip dari  Kompas.com, Jumat (10/6/2022).

Rencananya, program KRIS akan diterapkan mulai Juli 2022. Targetnya tahun 2024 seluruh rumah sakit sudah menerapkan KRIS.

Tahap awal pemberlakuan KRIS diterapkan di sejumlah rumah sakit yang sudah memenuhi standar layanan KRIS sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah.

Ghufron menjelaskan, pada dasarnya prinsip asuransi kesehatan sosial adalah saling tolong menolong.

Ghufron menjabarkan, pada peserta yang memiliki gaji atau upah diterapkan besaran iuran sebanyak 5 persen.

Adapun, jumlah tersebut akan dipotong sebanyak 1 persen dari pekerja dan 4 persen dari pemberi kerja.

Batas tertinggi penghasilan pekerja dijadikan dasar perhitungan iuran BPJS Kesehatan adalah Rp 12 juta.

Sedangkan batas terendahnya mengacu pada Upah Minimum Regional (UMR) kabupaten atau kota.

"Di Indonesia, penghitungan iuran ini berlaku menggunakan patokan pendapatan gaji maksimal Rp 12 juta.

Mereka yang gajinya tinggi dihitung maksimal 5 persen dari Rp 12 juta. Tentu ini tidak terlalu beda dengan mereka yang bergaji di bawahnya," terang dia.

Sedangkan untuk iuran ibu rumah tangga atau lansia yang tidak bekerja akan dibayarkan pemerintah pusat atau daerah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat, peserta tersebut masuk kategori miskin atau tidak mampu dan memenuhi syarat masuk di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Ali Ghufron Mukti mengatakan, seharusnya semakin tinggi gaji atau upah, semakin besar pula iurannya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

“Tetapi di Indonesia ini diberi maksimum Rp12 juta. Sehingga mereka yang bergaji Rp 100 juta dengan yang gaji Rp 10 juta itu hampir sama,” kata Ali Ghufron.

Ia menambahkan, jika tidak ingin ada kegaduhan, sebaiknya memang diubah menjadi maksimal Rp12 juta, kemudian disesuaikan yang lebih bagus.

“Sehingga ada cross subsidy (subsidi silang, red), ada gotong royong, konsep asuransi kesehatan sosial.”

“Harusnya yang gajinya tinggi iurannya lebih banyak, tetapi tidak sekarang ya. Sekarang ini hampir sama,” tegasnya.

Saat ditanya mengenai wacana standardisasi kelas layanan nantinya akan merujuk pada pelayanan kesehatan kelas berapa? Ali hanya mengatakan bahwa itu pertanyaan yang sulit dijawab.

“Justru itu. Itu kan menunjukkan perlunya komprehensivitas dan pemahaman serta perumusan yang bagus. Jadi kalau menjawab pertanyaan itu saja sudah sulit,” jawabnya.

Roadmap kebijakan tentang standardisasi kelas, kata Ali, disusun oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Tetapi, yang jelas, lanjut dia, pada tahun 2022, akan mulai diuji coba. Selanjutnya, akan dimulai secara bertahap pada 2023.

“Roadmap-nya seperti itu. Nanti di 2024 itu kemudian diimplementasi lebih banyak.”

“Bagi BPJS, kita fokus pada mutu, peningkatan seperti apa yang dibutuhkan masyarakat. Kalau masyarakat ditanya, dan kami melakukan penelitian, apakah mereka yang kelas III ingin naik kelas dengan bayar lebih, ternyata tidak,” ucapnya.

Menurut Ali, kebanyakan mereka ingin tetap di kelas III.

Begitu pula dengan peserta yang terdaftar di kelas II, tidak mau turun ke kelas III meskipun dengan iuran yang lebih murah.

Hal yang sama, kata dia, terjadi pada peserta kelas I.

“Apakah ingin turun tapi iurannya dikurangi? Nggak, ‘Saya iurannya tetap tapi tetap di kelas I,’” lanjutnya.

Saat ditanya mengenai apakah nantinya layanan yang diterima oleh peserta masing-masing kelas akan sama? Ia mengatakan, menyamakan layanan merupakan hal yang bagus.

“Tapi urgensinya perlu kita tata kembali. Yang justru urgen adalah tata kelola di kelas I, II, III, itu harusnya bagaimana standar klinis medis mengelola pasien,” ujar Ali.

Ali menegaskan, hal itu yang jauh lebih urgen dan lebih penting dalam kaitannya dengan equity.

“Jadi kalau kelas fisik, boleh-boleh tapi tidak terlalu esensial. Yang esensial itu bagaimana pasien dapat obat, dapat daftar, dapat kepastian, begitu.”

Mengenai usulan iuran bulanan diratakan sebesar Rp75 ribu per bulan, Ali mengatakan hal itu tidak sesuai dengan prinsip dasar asuransi kesehatan sosial.

“Semua sama, yang  miskin maupun kaya, itu menyalahi prinsip dasar asuransi kesehatan sosial, karena gotong royongnya tidak ada, " kata Ali Ghufron.

Standar ruang perawatan KRIS

Dikutip dari laman Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN), anggota DJSN Tono Rustiano menjelaskan kriteria ruang perawatan KRIS akan didasarkan pada peraturan yang sudah ada dari Kementerian Kesehatan.

"Kriteria yang disusun untuk penerapan KRIS JKN ini bukanlah kriteria baru melainkan diambil dari kebijakan yang ada di Kementerian Kesehatan, yaitu berupa Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Rawat Inap, Permenkes Nomor 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit," kata dia.

Dalam permenkes tersebut ditentukan bagaimana standar ruang perawatan pasien, mulai dari bahan bangunan, ventilasi, pencahayaan, kontak percabangan, panggilan bagi perawat, suhu ruangan, ruangan per jenis kelamin, kepadatan ruang rawat, tirai, dan sebagainya.

Standar-standar itu ditetapkan untuk memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan rumah sakit.

Standar lengkap kelas rawat inap dalam program KRIS bisa disimak pada Permenkes No 24 Tahun 2016.(dari berbagai sumber/pp)

  • Bagikan

Exit mobile version