Meresapkan Pancasila ke Kalbu Indonesia

  • Bagikan
Wahyu Hidayat, S.IP., M.H

* Oleh: Wahyu Hidayat, S.IP., M.H
(Dosen Prodi PPKn Universitas Cokroaminoto Palopo)


Nilai luhur Pancasila selama ini hanya dipuja dalam kata dan gambar, namun dikhianati dalam perbuatan. Demikian kata Ahmad Syafii Maarif terkait perlakuan kita terhadap Pancasila selama ini.

Kekeliruan kita dalam ber-Pancasila, sebagaimana yang diutarakan Buya Syafi’i, sesungguhnya terletak pada perlakuan kita terhadap Pancasila itu sendiri. Kenapa kita selalu mengalami masalah pada ranah impelementasi nilai, jawabannya selain karena pemahaman kita belum lengkap dan utuh perihal bangunan pengetahuan (dimensi keilmuan) Pancasila, selama ini kita memosisikan Pancasila hanya dalam bingkai formalitas. Kita belum meresapkan nilai-nilai Pancasila ke hati sanubari.
Padahal, menempatkan Pancasila di kalbu setiap kita merupakan keniscayaan jika kita ingin bangsa ini berubah ke arah yang lebih baik dan keluar dari segala problematika yang mendera.
Sudah cukup lama kita ber-Pancasila, tapi apakah masa yang relatif panjang itu telah mampu membawa perubahan berarti bagi segala aspek kehidupan bangsa sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa?

Mem-Pancasila-kan Pancasila

Problematika implementasi nilai-nilai Pancasila selama ini sebenarnya terletak pada cara kita memperlakukan Pancasila itu sendiri. Konsepsi yang terbangun di ruang pikiran kita perihal Pancasila adalah bahwa Pancasila hanya sebatas produk dari proses historis, yakni berupa rumusan atau teks yang dicatat sejarah. Penghargaan kita terhadap Pancasila pun sebatas pelaksanaan kegiatan seremonial belaka, yakni cukup dengan menyanyikan lagu Pancasila atau sekadar memperingati hari lahir Pancasila melalui upacara ditambah dengan pidato-pidato penuh retorika yang disampaikan melalui podium. Kita terjebak pada formalitas.

Apakah dengan segala kegiatan bernuansa formal yang sudah berlangsung puluhan tahun itu menandakan bahwa kita sudah cukup mengistimewakan Pancasila? Sebagai sebuah ikhtiar untuk menjaga eksistensi Pancasila mungkin iya, tapi upaya tersebut belum menyentuh pada ranah substansi yaitu bagaimana mempertajam esensi Pancasila itu sendiri.

Patut juga diajukan pertanyaan, jangan-jangan segala bentuk aktivitas resmi itu sudah kita anggap sebagai upaya pengamalan nilai-nilai Pancasila? Kalau ini yang terjadi, maka pernyataan Buya Syafi’i menjadi terkonfirmasi. Pancasila hanya slogan yang dijunjung dan dipuji, tapi defisit dalam aktualisasi.

Sekali lagi, harus diakui bahwa selama ini kita meletakkan Pancasila dalam bingkai formal belaka. Nilai-nilai Pancasila hanya berhenti di mulut dan teks-teks tapi tidak merasuk ke dalam kalbu. Itulah kenapa tak jarang terdengar para penyampai atau pengkhotbah Pancasila yang terdengar manis di podium ternyata adalah orang-orang yang sering bermasalah dengan hukum. Orang-orang yang sikap moralnya penuh dengan catatan.

Pancasila bukan sekadar nama dan lambang atau simbol negara yang sila-silanya dihapalkan di ruang-ruang belajar atau dipekikkan pada setiap upacara bendera. Pancasila lebih dari itu semua. Ia merupakan sistem tata nilai yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Menjaga eksistensi Pancasila memang sesuatu yang penting, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana memahami Pancasila dalam dimensi kelilmuan, kemudian mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Semua sila Pancasila harus diwujudnyatakan dalam peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Inilah yang penulis sebut sebagai usaha mem-Pancasila-kan Pancasila.

Mem-Pancasila-kan Pancasila harus dimulai dari hati. Pancasila mutlak diletakkan di hati. Disematkan dalam kalbu kita semua, kalbu Indonesia. Sebab Pancasila memang munculnya dari hati, hati pendiri bangsa ini. Soekarno pernah mengatakan bahwa dirinya bukanlah penemu Pancasila tapi ia menggali Pancasila dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Usaha penggalian itu ia lakukan melalui proses perenungan dan refleksi yang mendalam. Dan setiap kontempleasi tentunya harus melibatkan pikiran dan hati.

Zaman terus berkembang. Teknologi maju kian pesat. Seiring dengan perubahan ini tentunya Pancasila menghadapi tantangan yang makin besar pula. Belum lagi berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa saat ini, persoalan serius terkait moral dan mental. Merebaknya kasus korupsi, intoleransi, kriminalitas, ancaman perpecahan, ditambah persoalan-persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan dan pengangguran.

Setiap kita pastinya ingin bahagia dengan Pancasila, tapi kebahagiaan itu akan sulit tercapai jika kita sendiri belum mampu menginternalisasi Pancasila dalam sanubari.

Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia harus terus dirawat, diperkuat, dan diwujudkan dalam perilaku keseharian. Untuk mewujudkan itu maka jalan utama yang harus ditempuh adalah menempatkan dan menghidupan Pancasila di hati jangan sampai ia terpendam mati. (*)

  • Bagikan