PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Pelaku baku tembak di rumah Kadiv Propam nonaktif Irjen Ferdy Sambo, Bharada E yang menewaskan Brigadir J, mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menanggapinya.
Menurut analisisnya, Reza Indragiri Amriel bahwa dalam kepolisian terdapat istilah code of silence yang artinya kode senyap atau kode diam.
Penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu mengatakan istilah tersebut menunjuk kepada subkultur menyimpang personel dengan menutup-nutupi kesalahan sejawat.
"Bisa dibayangkan, ketika sejawat berpangkat atau berjabatan tinggi, code of silence makin mungkin terjadi. Sejawat sementereng itu punya efek psikologis yang intimidatif terhadap penyidik," kata Reza kepada JPNN.com, Rabu (20/7) malam.
Apalagi, lanjut Reza, ketika ada lebih dari satu sejawat dan salah satunya lebih tinggi pangkatnya daripada personel lainnya.
"Maka code of silence bisa saja dilakukan dengan mengorbankan personel yang berpangkat lebih rendah," ujar pria yang pernah menjadi pengajar di STIK/PTIK itu.
Diketahui, LPSK belum memutuskan memberi perlindungan terhadap Bharada E.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyebut lembaganya masih mengkaji permohonan perlindungan yang diajukan Bharada E dalam kasus tersebut.
LPSK baru akan menentukan bentuk perlindungan yang akan diberikan pada Bharada E setelah kajian tersebut tuntas.
Adapun Bharada E mengajukan permohonan ke LPSK pada Rabu (13/7).
"Soal kebutuhan pemenuhannya seperti apa, kami masih dalami, karena ada potensi diterima atau ditolak pengajuan perlindungan di LPSK," kata Edwin di Jakarta Timur pada Senin (18/7). (jpnn/pp)