PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, BINTURU-- Tim riset keilmuan Universitas Muhammadiyah Palopo (UMPalopo) merilis hasil riset Rural Based Tobacco Contro Analisis Multidisiplin di Desa Bone-bone Kab. Enrekang.
Berikut ulasannya sebagaimana rilis yang diterima Palopo Pos, pertengahan Juli 2022.
Indonesia saat ini sudah darurat rokok dengan jumlah perokok kurang lebih 70 juta orang, produksi 356 miliar batang di tahun 2019, dan konsumsi terbesar rokok pada kalangan masyarakat miskin.
Survei BPS menyebutkan rokok telah menjadi kebutuhan pokok kedua setelah beras. Pada tahun 2015-2019, pemerintah mentargetkan penurunan prevalensi perokok anak hingga 5,4% tetapi tidak tercapai. Sehingga dampaknya sangat membebani sendiri, keluarga, lingkungan, dan negara (Jaminan Sosial).
Tim riset keilmuan Universitas Muhammadiyah Palopo (UMPalopo) yang terdiri dari Dr. Hadi Pajarianto, Andi Sitti Umrah, dan Sri Rahayu Amri melakukan analisis multidisiplin untuk mengkaji bagaimana efektifitas dan dampak Peraturan Desa nomor 1 tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok, di Desa Bone-Bone kabupaten Enrekang.
Pada bab V Pasal 8 dinyatakan, setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan atau aktifitas merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan rokok di wilayah desa Bone-Bone. Pada tahun 2012, Desa Bone-Bone mendapat penghargaan dari Kementerian Kesehatan dan dinobatkan sebagai desa bebas asap rokok, dan pengakuan dari WHO sebagai masyarakat dengan gaya hidup tanpa tembakau (lifestyle without tobacco).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap, dan perilaku Lifestyle Without Tobacco dibentuk dari multiaspek yakni pemahaman ajaran agama, pendidikan, kesehatan, dan hukum yang berpijak pada kearifan lokal masyarakat. Perilaku Lifestyle Without Tobacco memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat terutama pada kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kepatuhan terhadap hukum dalam bentuk Perdes.
Data kuantitatif menunjukkan bahwa desa Bone-Bone memiliki tingkat pendidikan, ekonomi, kesehatan dibandingkan desa kontrol. Sedangkan model implementasi Lifestyle Without Tobacco diawali dengan Tobacco Control Campaign, dan pembentukan kapasitas warga desa untuk menerima ide desa tanpa asap rokok. Selanjutnya dilakukan institusionalisasi berupa lahirnya peraturan desa tanpa asap rokok yang lahir sebagai hasil dari proses kampanye dan peningkatan kapasitas warga desa.
Hadi, salah satu tim riset menyatakan keberhasilan pengendalian rokok di desa itu ditentukan oleh Actor (tokoh) yang menggerakkan, kemudian behavior (perilaku) yang didukung oleh nilai agama dan budaya, dan Culture (budaya) yang mendukung pelaksanaan Lifestyle Without Tobacco. Inilah fokus yang harus diperkuat oleh pemerintah melalui kerjasama pentahelix jika mau mengendalikan rokok.
Lanjut Hadi, pemerintah pusat dan daerah, sudah saatnya memperkuat desa sebagai Center of Community-Based Tobacco Control Strategy. Potensi SDA dan nilai yang masih kuat dapat memperkuat penerapan perda atau perdes KTR. (*)