Dilema kebijakan BBM, Korbankan daya beli atau APBN jebol

  • Bagikan

Oleh;Afrianto. M.Si
(Direktur Nusantara Riset)

Kisah getir dan keberuntungan bagi bangsa ini silih berganti. Disaat pandemic covid 19 terjadi, kita diuntungkan dengan surplus perdagangan besar, cadangan devisa meningkat berkali - kali lipat. Tapi tak kalah pilu dengan nasib pekerja yang dirumahkan, pengangguran bertambah dan orang – orang miskin yang semakin terpuruk dalam (kemiskinan ekstrim).
Belum selesai pandemic covid 19, disaat bangsa ini berupaya bangkit kembali memulihkan keadaan, pemerintah dihadapakan pada situasi yang sangat dilematis. Menaikkan BBM atau menambah anggaran subsidi. Jika pemerintah mengambil opsi menambah anggaran subsidi, sumber belanjanya darimana ? Apakah harus menambah hutang ? Sementara bunga utang pada tahun ini akan mencapai Rp 403,9 Triliun pada APBN 2022 (Perpres 98/2022). Kurang lebih seperti itulah yang diungkapkan oleh kementrian keuangan beberapa waktu lalu.
Target kebijakan makro pemerintah jauh meleset, kebijakan minyak dan gas tidak berada di jalur yang tepat sesuai target yang ditetapkan. Asumsi makro pada APBN, harga minyak hanya tercatat USD 63 per barel, sementara harga minyak mentah yang riil dilapangan sudah terlalu jauh.
Dalam situasi ini, kebijakan yang patut diambil oleh pemerintah pusat adalah dengan mempertimbangkan segala macam dampak dari pilihan kebijakan yang bisa meminimalisir situasi kritis ini. Sesungguhnya, penyesuaian belanja subsidi dan kompensasi BBM telah dilakukan oleh pemerintah pusat dengan kebijakan APBN Pepres 98/2022 dengan total subsidi dan kompensasi sebesar RP 502,4 Triliun. Pemerintah pusat harus menambah anggaran kurang lebih 349, 9 Triliun jika dilihat dari total subsidi dan kompensasi pada APBN 2022 sebesar 152,5 T.
Berdasarkan perhitungan kementrian keuangan (konfrensi pers kebijakan subsidi BBM, 27/8/22)) jika pemerintah mengambil opsi menambah anggaran subsidi dan kompensasi dengan tidak menaikkan harga BBM dan LPG (subsidi tidak dikurangi) dengan perkiraan hingga akhir tahun, maka pemerintah harus menambah kurang lebih 195,6 Triliun, total keseluruhan anggaran subsidi dan kompensasi sebesar 698 Triliun. Problem lainnya, sejalan dengan aktivitas ekonomi yang mulai pulih, mobilitas cenderung meningkat, kuota volume BBM bersubsidi yang dianggarkan dalam APBN 2022 diperkirakan habis pada bulan oktober 2022.
Sebaliknya, jika pemerintah mengambil opsi menaikkan harga BBM, dipastikan inflasi akan terkerek mencapai 7% - 8 %. Kenaikan BBM akan berdampak pada biaya produksi, sehingga akan menyebabkan kenaikan harga barang – barang. Opsi ini tentu saja akan menambah orang - orang miskin. Berdasarkan publikasi BPS pada maret 2022, jumlah masyarakat miskin di Indonesia sebanyak 26,16 juta orang.
Bukan itu saja masalahnya, terdapat 64 juta pelaku UMKM yang juga berhak mendapatkan BBM dan LPJ bersubsidi. Opsi kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan harga bahan baku dan inputan lain dalam melakukan kegiatan usahanya. Situasi ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang berdampak pada meningkatnya penangguran siklis, dimana pemberi kerja memutuskan hubungan kerja karena imbas dari kenaikan biaya produksi.
Piliha berat bagi pemerintah pusat untuk memutuskan situasi yang pelik ini, kenaikan harga minyak mentah terlihat begitu berdampak terhadap keadaan fiskal pemerintah pusat. Pada sisi lainnya, situasi ini juga berdampak pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen penyumbang mayoritas PDB.(rls)

  • Bagikan