Manfaatkan Momentum Berakhirnya Kontrak Karya PT VALE

  • Bagikan

* Oleh. Buhari Kahar M
(Mantan Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya)

Kita membicarakan lahan tambang Nikel di Lutim -Sulsel yang ex INCO itu, untuk saat ini hemat saya mesti dibicarakan pada 2 hal, yaitu tentang eksistensi PT. Vale kedepan dan areal tambang yang dilepas/dikembalikan PT. Vale kepada negara.

1. Eksistensi PT. Vale

Sejak dibangunnya pabrik pengolahan biji nikel pertama di Indonesia yang terletak di Suroako, Kab. Luwu (saat itu), Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1968 di bawah payung PT. INCO, format hukum atau lisensi hak kelola yang diberikan kepada PT. INCO adalah berupa Kontrak Karya (KK).

Kemudian terbit UU No 4 Th 2009 tentang Minerba yang disempurnakan pada UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang didalamnya mengatur tentang berakhirnya rezim sistem Kontrak Karya bagi perusahaan tambang dan akan dilanjutkan kedalam format hukum Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

PT. Vale sebagai kelanjutan dari INCO, akan berakhir masa kontrak karyanya pada akhir tahun 2025, dan diberi kesempatan mengikuti proses perpanjangan izinnya dimulai dari 2 tahun sebelum berakhirnya masa kontrak karyanya, berarti dimulai dari awal tahun 2023.

Di dalam UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba itu juga menjelaskan bahwa bagi perusahaan pemegang hak KK yang akan memperpanjang izinnya, akan diberikan prioritas selama perusahaan pemilik KK itu memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari sekian persyaratan yang akan dinilai, ada 3 point yang paling urgen kaitannya dengan perusahaan pemegang hak KK untuk mendapatkan izin kelanjutan, yaitu ;
1. Cadangan mineral/logam pada wilyayah tambang tersebut dinilai masih cukup potensial.
2. Perusahaan yang bersangkutan punya agenda pengembangn usaha ke depan,
3. Pengelolaan lingkungn hudupnya selama beroperasi dinilai cukup baik.

Dari ke 3 syarat tersebut diatas jika kita hubungkan dengan kehendak PT. Vale untuk mendapatkan izin kelolah selanjutnya, nampaknya PT.Vale akan melaluinya dengan mulus, dengan nilai yang sangat baik; pada sisi cadagan logam wilayah yang masih potensial, punya agenda pengembangan usaha dengan rencana membangun smelter di Bahodopi (Sulteng) dan di Pomalaa (Sultra),dan sisi kelolah lingkungan yang dinilai cukup baik selama ini.

Untuk agenda membangun smelter di Bahodopi dan di Pomalaa, ini bisa dilihat sebagai langkah taktis dari Vale menghadapi evaluasi untuk mendapatkan perpanjangan izin dengan menancapkan kuku smelternya pada 3 provinsi penghasil nikel di Sulawesi. Jadi singkat kata, rasanya tak salah kalau dikatakan bahwa PT. VALE hanya menunggu waktu untuk mengantongi izin IUPK dari pemerintah pusat, apalagi sikap pemerintah pusat yang nampak sudah memberi lampu hijau kepada Vale, seperti dengan pernyataan Menteri ESDM baru-baru ini.

Jika demikian adanya, apakah para stakeholder daerah, para pemegang amanah sebagai wakil rakyat, berdiam diri saja untuk menunggu kelanjutan izin PT. Vale dalam format yang baru IUPK. Hemat saya kiranya janganlah berdiam diri, terlebih lagi menjadi supporter bagi kepentingan korporasi, karena masa-masa akhir selesainya kontrak karya PT. Vale ini adalah momentum yang penting, yang sangat menentukan bagi ‘perbaikan nasib’ kedepan untuk kepentingan daerah.

Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaeman sudah memulainya dengan menyampaikan sikap didalam forum RDP Komisi VII DPR RI, dengan kalimat yang tegas menolak7 perpanjangan kontrak PT. Vale untuk beroperasi di Sulawesi Selatan, dan disikapi dengan sama oleh Gubernur Sultra dan Gubernur Sulteng.

Meskipun sikap ke 3 Gubernur di daerah penghasil biji nikel ini diprediksi tidak mampu menghadang laju PT. Vale untuk mendapatkan izin lanjutan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, tetapi sikap Gubernur ini patut mendapatkan apresiasi karena ini adalah wujud reaksi dari daerah.

Alasan Gubernur Sulsel menolak perpanjangn kontrak PT Vale karena menilai rendahnya konstribusi Vale didalam APBD Sulsel yang hanya sebesar 1,98 % dari total PAD. Kecilnya nilai konstribusi ini memang tidak masuk dalam kriteria untuk syarat dapat izin lanjutan, tapi ungkapan ini menyentuh hal yang lebih substansial, yaitu bahwa potensi kandungan bumi yang bernilai ekonomi disuatu tempat adalah Rakhmat Tuhan yang semestinya bisa mensejahtrakan masyarakat di sekitarnya (tentu termasuk tingkat provinsi). Jadi jika kekayaan bumi yang Rakhmat Tuhan itu tidak banyak memberikan kesejahteraan masyarakat sekitarnya berarti ada yang salah atau belum tepat dalam pengelolaannya.

Jika nantinya PT Vale mendapatkn izin kerja lanjutan maka format izinnya yang baru yaitu IUPK, bukan lagi kontrak karya. Disini ada kata khusus, ada kekhususan yang membedakan dengan izin tambang pada umumnya yaitu IUP saja. Tidak ada penjelasan didalam UU apa saja kandungan makna khusus itu, tetapi saya memaknai bahwa disinilah pintu masuknya untuk ‘perbaikan nasib’ daerah pada perusahaan tambang ex pemegang kontrak karya itu, sebagaimana yang terjadi pada perbaikan nasib masyarakat Papua di PT. Freeport.

PT. Freeport berubah sistemnya dari Kontrak karya menjadi IUPK pada tahun 2018 yang lalu, dan seperti kita ketahui bersama bahwa saat itu pula terjadilah boom rezeki bagi pemerintah dan masyarakat Papua dengan mendapatkan saham pada PT. Freepor. Jika pemerintah dan masyarakat Papua bisa sejahtera lewat Freeport, tentu hal yang sama bisa terjadi, pemerintah dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Tana Luwu pada khususnya juga bisa sejahtera lewat PT. Vale. Terkecuali jika ternyata masyarakat Papua memang lebih cerdas dari masyarakat Suls.

2. Lahan tambang yang dilepas VALE

Untuk menyesuaikan ketentuan luas lahan maksimal yang boleh dikelolah pemilik IUP/IUPK sebagaimana yang diatur didalam UU No. 3/2020, yang luasnya maksimal 100 ribu Ha, maka PT Vale yang sebelumnya menguasai lahan seluas 118 ribu Ha, diwajibkan melepas/mengembalikan kelebihannya kepada negara.
Dan seiring waktu, informasinya PT. Vale telah mengembalikan areal konsesinya sebesar 40 ribu Ha, diantaranya yang terletak di Sulawesi Selatan telah dikembalikan seluas kurang lebih 10 ribu Ha, dengan kondisi lahan yang potensial dan belum pernah diolah.

Kebijakan pemerintah pusat untuk pengolahan lahan potensial ex Vale ini diprioritaskan kepada perusahaan BUMN dan perusahaan daerah. Perusahaan daerah disini pada pemaknaan di tingkat provinsi dan pada kabupaten yang bersangkutan langsung.

Dalam kesempatan komunikasi via telepon dengan Gubernur Sulsel, Andi sudirman, sehabis beliau mengikuti rapat RDP di DPR RI, beliau menyampaikan ke saya adanya salah satu perusahaan BUMN yang sangat serius untuk mengambil lahan ex Vale yang terletak di Sulsel. Beliau menyampaikan penolakan dan saya pun sangat support.

Kita perlu mensupport Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersama Pemda Luwu Timur bersama-sama merumuskan formulasi yang tepat untuk mengelola langsung melalui perusahaan daerah masing-masing pada lahan ex Vale ini. Elemen lain yang sepantasnya mendapatkan alokasi untuk lahan adalah ini komunitas masyarakat setempat, seperti pada Kelompok Usaha Koperasi setempat dengan luasan 10 Ha, dan lain-lain.

Jadi momentum akan berakhirnya masa Kontrak Karya ini sungguh sangat menentukan bagi masyarakat Sulsel pada umum dan terkhusus masyarakat Tana Luwu.
Kepada Bapak/Ibu segenap anggota dewan yang terkait, saya mengingatkan pameo tentang suara seorang legislator hubungannya dengan rakyat, yaitu ; “Kalimat yang salah sekalipun dari seorang anggota dewan jika itu adalah suara hati rakyat maka itulah kalimat yang paling benar. Terima kasih. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version