PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID JAKARTA -- Industri nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik akan menjadi penopang ekonomi Indonesia di tengah ancaman resesi global tahun 2023. Untuk itu pemerintah mendorong percepatan hilirisasi nikel mengingat besarnya potensi komoditas tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sebuah kesempatan mengungkapkan, saat ini ada 48 proyek smelter nikel yang ditargetkan seluruhnya beroperasi pada tahun 2024. Proyek-proyek smelter ini berlokasi di Banten, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. "Ada 48 proyek yang kita harapkan bisa selesai di 2024, memang sekarang ada kendala akibat kondisi sekarang dan kesulitan lain dari industri pertambangan untuk membangun smelter," ujar Arifin dalam keterangan resminya seperti dikutip Rabu (19/10/2022).
Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia, dengan produksi pada tahun 2021 1 juta metrik ton atau 37,04% di dunia. Cadangan nikel di Indonesia diperkirakan mencapai 21 juta metrik ton. Maluku Utara adalah salah satu basis tambang nikel di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Maluku Utara dominasi komoditi mineral besi, baja, dan nikel yang tercatat tumbuh 10,34 persen.
Arifin mengungkapkan, Kementerian ESDM terus berupaya menjembatani kebutuhan para investor tersebut untuk dapat merealisasikan proyek smelter yang sudah direncanakan. Hal tersebut juga untuk mewujudkan cita-cita Indonesia di sektor minerba.
"Cita-cita Indonesia, untuk bisa membangun industri hilirisasi dari hulu ke hilir yang memberikan nilai tambah tinggi, serta menyerap tenaga kerja, dan hal positif lain yang akan bisa diterima oleh Indonesia. Jadi Kementerian ESDM mendukung penuh program hilirisasi yang memang sudah kita canangkan. Mudah-mudahan dalam waktu yang sudah kita targetkan cita-cita ini bisa kita capai," ujarnya.
Salah satu proses yang dapat dilakukan untuk memberikan nilai tambah nikel adalah hidrometalurgi, yakni mengolah bijih nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Praktisi industri nikel Steven Brown menyatakan, baterai berperan penting dalam transisi energi. "Tanpa nikel, mungkin akan ada transisi ke EBT (energi baru terbarukan), tetapi akan delay," kata Steven dalam sebuah diskusi.
Sementara Head of External Relation Harita Nickel Stevi Thomas menyatakan pihaknya telah menerapkan teknologi energi bersih dalam menjalankan operasional smelter. Sejak tahun 2021, Harita Nickel, melalui PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) yaitu anak usaha PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP) telah menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) dalam mengolah dan memurnikan nikel kadar rendah (limonite).
Dari proses ini dihasilkan intermediate product berupa mixed hydroxide precipitate (MHP) selanjutnya diolah menjadi logam nikel dan cobalt murni secara terpisah. “Teknologi ini memungkinkan kami menyuplai bahan baku untuk mengurangi emisi,” kayta dia.
PT HPL yang mulai beroperasi pada pertengahan 2021 di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, adalah perusahaan pionir di Indonesia dalam memproduksi bahan baku utama baterai kendaraan listrik (MHP) dan memiliki kapasitas produksi 365.000 WMT per tahun.(int)