PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID -- Usai menghantui negara Asai Timur seperti Jepang dan Korea Selatan, kini resesi seks juga mulai menghantui negara Asia Tenggara seperti Thailand.
Istilah resesi seks mengacu pada penurunan gairah seseorang untuk berhubungan seks, memiliki anak, dan menikah yang disebabkan banyak berbagai faktor.
Istilah resesi seks (sex recession) kali pertama dicetuskan Kate Julian, peneliti dan penulis, pada 2018 untuk tulisannya di The Atlantic. Resesi seks merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian surut. Ia mengutip penelitian dari Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, yang mengeksplorasi kehidupan seksual warga Amerika.
Salah satu ancaman yang disertai dari fenomena resesi seks adalah penurunan tingkat kesuburan dan angka kelahiran di suatu negara.
Sementara itu, tingkat kesuburan dan jumlah kelahiran dilaporkan terus menyusut di Thailand saat populasi yang ada semakin menua.
Dalam Konferensi Keluarga Berencana di Pattaya pada awal November lalu, tren demografis Thailand menyusut drastis jika dibandingkan era 1960 dan 1970-an. Saat itu, rata-rata keluarga memiliki sampai tujuh anak sehingga tingkat kelahiran 6.1.
Pada 2020, angka kelahiran menyusut menjadi 1.24, lebih rendah dari tingkat peremajaan populasi yang sebesar 1.6, dikutip The Straits Times.
Tahun lalu, Thailand juga mencatat 544 ribu kelahiran, terendah selama enam dekade.
Pemerintah setempat mendorong lebih banyak pasangan untuk memiliki bayi.
Pemerintah bahkan ikut melibatkan influencer dan tokoh publik untuk membantu kampanye mendorong warga agar mau memiliki lebih banyak anak.
Promosi di media sosial ditujukan bagi pasangan muda agar tidak memilih childfree atau tidak mempunyai anak.
"Tetapi rencana itu tidak berjalan," kata Direktur Biro Kesehatan Reproduksi Thailand, Bunyarit Sukrat.
"Tidak semua orang dapat memahami maksud dan tujuan program tersebut," lanjut dia.
Sejak beberapa tahun terakhir, Thailand juga makin getol memperbaiki berbagai fasilitas publik seperti pusat penitipan anak dan pusat kesuburan bagi para calon dan orang tua.
Di tengah ancaman krisis demografi, para ahli keluarga berencana di Thailand juga meminta pemerintah memberikan perhatian lebih kepada populasi yang menua agar tetap produktif.
"Kita harus memikirkan kembali persepsi kita tentang demografi senior. Karena jika kita tidak mengubah tantangan ini menjadi peluang, itu tentu akan terjadi krisis," kata Asisten Profesor Piyachart Phiromswad, yang berspesialisasi dalam ekonomi kependudukan di Thailand.
"Bukti telah menunjukkan bahwa tidak mungkin untuk sepenuhnya membalikkan penurunan tingkat kesuburan. Kita perlu mengalihkan fokus pada orang-orang yang ada dan melihat populasi lanjut usia sebagai sumber produktivitas," katanya, mencatat bahwa teknologi, perawatan kesehatan, dan perubahan pola pikir dapat memungkinkan orang lanjut usia tetap berkontribusi dan produktif.(int)