Profesionalisme dan Netralitas Media di Pilkada

  • Bagikan

* Oleh: Arham MS
(Ketua Umum DPP Aliansi Media Jurnalis Independen Republik Indonesia /AMJI-RI)

'Idealisme dan profesionalisme setiap wartawan adalah kewajiban yang harus dipertahankan untuk menghindari praktik yang dilakukan diluar prinsip yang ada. Apabila wartawan berkerja di bawah kontrol atau intervensi dari individu maupun kelompok tertentu, akan berakibat pada penyampaian informasi yang tidak berimbang.'


Gerakan reformasi 1998 telah membangkitkan industri media lokal, sehingga dapat memberi kontribusi dalam tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Sesungguhnya tren media lokal yang berkembang di dunia sudah lebih dulu mewabah dibanding Indonesia. Cakupan nasional tidak lagi dilirik karena tingginya biaya distribusi dan liputan. Sebagai contoh di Amerika Serikat, koran-koran lokal semacam Washington Post, The New York Times, Chicago Tribune, atau Los Angeles Times justru merajai konsumsi media di daerah masing-masing.

Di Amerika Serikat sudah sangat sulit menerbitkan surat kabar nasional karena tiap kota memiliki segmen, kebutuhan dan kebanggaan sendiri-sendiri. Sejak tahun 1950-an hingga sekarang, sebagian besar koran yang eksis adalah koran lokal atau regional. Amerika Serikat yang sering dijadikan kiblat bagi surat kabar dunia, memiliki lebih banyak state newspaper atau koran negara bagian. Demikian juga di negara-negara Eropa, koran lokal lebih eksis dan berkembang.

Pilar Demokrasi

Sering kali media massa disebut the fourth estate of democracy, pilar keempat demokrasi, melengkapi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pers di sini berperan sebagai unsur keempat yang mengawasi ketiga kekuatan lembaga negara tersebut. Sehingga seharusnya media lokal tidak memposisikan diri sebagai agen politik para penguasa dan elit politik di daerah.

Seperti juga di Amerika Serikat, media disebut “Institusi Keempat” atau cabang pemerintahan keempat. Sebutan itu mencerminkan peran media berita yang tidak resmi tetapi diterima secara luas dalam memberikan informasi kepada warga negara yang dapat digunakan untuk memantau kekuasaan pemerintah.

Selain itu media massa juga dijuluki sebagai anjing penjaga (watch dog). Sehingga dengan demikian, media massa di tingkat lokal menjadi wahana informasi yang strategis dalam menampung aspirasi grassroot atas berbagai keputusan yang akan diambil pemerintah, sekaligus menginformasikan keputusan itu sendiri.

Inti dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana membangun demokrasi di tingkat lokal dan secara simultan, pada waktu bersamaan membangun civil society yang kuat. Tentu ini tidak dapat terwujud tanpa partisipasi masyarakat yang terinformasi dengan baik (well informed), yang salah satunya dijembatani saluran media massa lokal.

Sekaitan dengan itu, media lokal dapat memainkan berbagai peran antara lain:
Pertama, melaksanakan peran ‘pengawasan’ dengan cara menyiarkan berbagai macam bentuk penyimpangan, baik yang terjadi di tingkat lokal terutama dalam pemerintahan daerah. Sebab persoalan terburuk yang dihadapi oleh bangsa ini adalah persoalan korupsi yang menjangkit hingga ke daerah.

Kedua, media dapat berperan aktif dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang keseluruhan tahap dalam proses perumusan sampai evaluasi kebijakan publik. Ketiga, media lokal dapat melaksanakan peran mediasi antar aktor dalam proses-proses politik di tingkatan daerah. Sehingga pejabat pemerintah dapat mengetahui aspirasi warga, dan warga pun dapat mengetahui apa yang telah dilakukan oleh para pejabat publik dan bagaimana mereka melakukannya.

Selain dapat berkontribusi dalam proses demokratisasi, media lokal juga membawa efek ambivalen karena kuatnya nilai primordialisme dan keterdekatan sosiokultural-ekonomi perusahaan media dengan stakeholder daerah. Seperti banyak terjadi, media di daerah gagal menjaga jarak dan bahkan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di daerahnya, akibatnya liputan menjadi tidak berimbang. Tentu keberpihakan media akan memberikan stigma negatif bagi media massa itu sendiri.

Pentingnya Independensi

Salah satu persoalan utama media di daerah terutama dalam gelaran pesta demokrasi lokal adalah sikap independensi dan netralitas dalam pemberitaan atau eksistensi yang mengutamakan fungsi ekonomis dan politis ketimbang aspek informatif dan edukatif.

Pentingnya memiliki prinsip independensi dan sikap netral ini sebab media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi opini publik. Seperti dikatakan dalam adagium bahwa “barangsiapa yang ingin menguasai dunia maka kuasailah media“.

Pertanyaannya, dalam konteks pilkada, apakah peran media lokal benar-benar mampu membangun demokrasi di tingkat lokal? Seabrek ‘penyakit’ yang diidap media lokal sehingga sulit tercipta budaya demokrasi. Seperti masalah daya kekuatan media untuk bersikap independen, masalah skill para pekerja media, serta masalah etika media. Padahal, political content media-media lokal secara langsung maupun tak langsung turut mempengaruhi kualitas demokrasi di daerah sampai demokrasi secara nasional.

Supaya independensi tetap terjaga, seperti media di Amerika Serikat, media tidak menerima pendanaan pemerintah. Sebagian besar perusahaan media mendapatkan pendapatan melalui langganan atau menjual halaman iklan. Model ini berkontribusi pada independensi media dari penguasa.

Profesionalisme yang Minim

Sebagai penyalur informasi kepada masyarakat maka seharusnyalah media massa berpegang kepada aturan, etika dan kaidah jurnalistik lainnya. Ini akan menjadikan media massa bergerak pada fungsi yang sebenarnya. Seperti sering orang katakan bahwa satu Jurnalis seperti ribuan warga umum. Informasi yang dirangkai dalam berita akan menebar dengan sangat cepat, terutama jika di-upload di media sosial. Sehingga sangat diperlukan berita yang tidak berat sebelah.

Sikap idealisme dan profesionalisme pada setiap wartawan adalah kewajiban yang harus dipertahankan untuk menghindari praktik yang dilakukan diluar prinsip yang ada. Apabila wartawan berkerja di bawah kontrol atau intervensi dari individu maupun kelompok tertentu, akan berakibat pada penyampaian informasi yang tidak berimbang. Lembaga pers yang menaungi wartawan juga harus bekerja secara independen tanpa adanya campur tangan pihak lain berdasarkan kepentingan.

Sikap mengedepankan idealisme dan juga media massa menjalankan lembaganya secara independen tentunya akan menghasilkan informasi yang akurat dan tepat serta lebih berimbang. Hal ini juga akan turut memberikan pengaruh positif terhadap keberlangsungan lembaga pers tersebut.

Survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004 menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum. Tentu hal ini sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media atau wartawan dengan penguasa di daerah atau elit politik daerah. Seperti meliput aktivitas politik tokoh-tokoh di daerah secara tidak berimbang. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, media tidak lagi dapat berfungsi sebagai institusi keempat demokrasi.

Istilah institusi keempat atau pilar keempat demokrasi tidak berarti media harus memposisikan diri “beroposisi” terhadap pemerintah atau “melawan” pemerintah. Tetapi konsep institusi keempat sama dengan parlemen, yang lebih ditekankan pada sifat independensi atau kebebasan menyebarkan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari penguasa. Media hanya bertanggung jawab secara yuridis kepada pengadilan, dan juga bertanggungjawab etika kepada organisasi wartawan serta kepada perusahaan pers.

Saling berkepentingan antara media lokal dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi media lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang bermuara pada kurangnya profesionalisme.

Salah satu penyebab ketidak profesionalan media lokal dalam Pilkada adalah ketidakjelasan aturan main dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi pers. Seperti penegakan etika jurnalistik terutama bila terjadi pelanggaran, misalnya berita tidak berimbang dan sebagainya.

Tidak ada institusi atau lembaga secara nasional — yang berlaku bagi setiap wartawan — pada organisasi mana pun wartawan bergabung atau juga yang sama sekali tidak bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang ada — yang bertugas memeriksa dan memutuskan serta menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik itu. Sebab jika menganalisa UU Pers, maka UU itu tidak memberi wewenang kepada siapa pun untuk melakukan fungsi memutuskan, mengadili dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik. Lalu, jenis hukuman yang akan dijatuhkan pun belum ada pengaturannya.

Secara sederhana terlihat dari kedekatan antara media dan wartawan dengan penguasa lokal atau elit politik lokal yang kemudian tercermin dari berita yang disajikan.

Ketidakprofesionalan media lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberitaan tentang proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Sangat kentara adanya ketergantungan media di daerah terhadap penguasa di daerah. Sehingga mutlak menghilangkan fungsi kontrol terhadap kekuasaan. Juga menunjukkan bahwa media tidak memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita agar masyarakat bisa menerima informasi yang benar sebagaimana adanya tanpa tendensi apapun untuk menggiring masyarakat pada satu opini tertentu.

Sehingga seharusnya media dijalankan oleh orang-orang independen yang tidak berhubungan atau terlibat dengan partai politik ataupun simpatisan satu golongan tertentu, atau tidak terlibat dalam politik praktis dukung mendukung calon tertentu. Seorang wartawan ataupun media akan sulit meraih predikat professional jikalau tidak memiliki sikap netral dalam peliputan.

Lalu kemudian, lemahnya manajemen media lokal dengan SDM yang tidak kompeten serta tidak profesional. Ini diperparah dengan kurangnya diklat khusus untuk peningkatan profesionalisme. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal. Bahkan hal ini dapat menjerumuskan pada wartawan amplop.

Pada kasus lain, pendirian media atau memelihara media merupakan trik politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Selain tampak dalam berita-berita yang ditampilkan, juga sering ditampakkan dari nama-nama elite politik lokal yang tercantum dalam masshead (susunan redaksi) media tersebut.

Minimnya profesionalisme media lokal juga diperlihatkan dari jurnalis yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga media hanya dijadikan sebagai lahan mencari keuntungan. Yang penting bisa berkontribusi terhadap media, meski tak tahu meliput dan menulis berita, maka diberikan kartu anggota pers dan namanya dimasukkan dalam kotak redaksi.

Kolaborasi mutualisme wartawan dengan pemerintah daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik dilegalkan dalam anggaran pemerintah daerah (ABPD), mulai dari biaya perawatan gedung organisasi wartawan meskipun tak berfungsi efektif, mensponsori kegiatan fiktif bagi para wartawan, dan sebagainya. Seperti ini yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pemerintah daerah sekaligus ditolak oleh wartawan agar media dan wartawan dapat berperan secara maksimal sebagai lembaga independen. (*)

  • Bagikan