PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID,. JAKARTA-- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang (UU) akhirnya disahkan DPR, Selasa, 6 Desember 2022.
Pada rapat paripurna, diiringi aksi demonstrasi masyarakat sipil di depan kompleks parlemen, Jakarta. Rapat juga diwarnai interupsi dari Fraksi PKS.
Setelah Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan laporan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sebagai pimpinan rapat meminta persetujuan para anggota yang hadir. Serempak mereka menyatakan setuju dan Dasco mengetuk palu tanda disahkannya UU tersebut.
Selanjutnya, Dasco memberikan kesempatan kepada perwakilan Fraksi PKS untuk menyampaikan catatan. Meski sepakat dengan pengesahaan UU KUHP, PKS memberikan sejumlah catatan.
Iskan Qolba Lubis, anggota Fraksi PKS, mengkritik pasal 218 terkait penghinaan kepada presiden dan wakil presiden serta pasal 240 terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Menghina presiden bisa dihukum tiga tahun. ”Ini pasal karet yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi berubah menjadi negara monarki,” terangnya.
Dia pun meminta pasal itu dihapus dari RKUHP yang disahkan menjadi UU. Menurut Iskan, banyak rakyat yang menggelar demonstrasi menolak pasal tersebut. Pasal itu akan mengambil hak-hak rakyat untuk menyampaikan pendapat. Pasal tersebut jelas menunjukkan kemunduran cita-cita reformasi. ”Saya sebagai wakil rakyat akan mengajukan gugatan ke MK,” lanjut dia.
Dasco lantas memotong pernyataan Iskan. Menurut dia, secara resmi Fraksi PKS sudah menyepakati RKUHP. Jadi, yang disampaikan Iskan tidak sesuai dengan kesepakatan dan keluar dari penyampaian catatan. ”Catatan sudah saya terima. Fraksi PKS sudah sepakat dengan catatan,” paparnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly yang hadir dalam rapat itu mengatakan, pengesahan RKUHP menjadi UU membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pembahasannya dilakukan sejak 1963. ”It’s long of the journey,” kata Yasonna setelah rapat paripurna kemarin.
Dia mengakui bahwa masih banyak rakyat yang menolak sejumlah pasal dalam RKUHP. Tapi, kata Yasonna, pihaknya sudah berusaha mengakomodasi masukan dan aspirasi masyarakat sehingga berbagai perubahan dan penyesuaian dilakukan selama pembahasannya.
Menurut politikus PDI Perjuangan (PDIP) tersebut, meski sudah disahkan menjadi UU, beleid baru itu tidak langsung berlaku. UU KUHP anyar itu baru efektif berlaku setelah tiga tahun. Masa tiga tahun akan dimanfaatkan untuk sosialisasi kepada masyarakat.
Pemerintah bersama DPR akan melakukan sosialisasi kepada penegak hukum, masyarakat, perguruan tinggi, dan elemen masyarakat yang lain terkait konsep filosofi dan isi RKUHP itu. ”Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan sosialisasi,” terang mantan anggota DPR tersebut.
Yasonna menambahkan, masyarakat yang tidak sepakat dan menolak pasal dalam RKUHP bisa menempuh jalur konstitusi. Yakni, mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke MK. Sebab, pengajuan JR ke MK merupakan jalan yang beradab dan sesuai dengan konstitusi negara.
Sementara itu, anggota tim pakar perumus RKUHP Chairul Huda mengklaim, pihaknya sudah melibatkan partisipasi masyarakat dalam perancangan RKUHP. Hanya, tidak semua masukan publik bisa diterima. ”Tidak akan pernah satu undang-undang, apalagi KUHP, bisa memuaskan semua pihak,” ujarnya kepada Jawa Pos (induk PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID).
Salah satu contoh masukan publik yang diakomodasi adalah mengenai substansi pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Sebelumnya, dalam draf RKUHP 9 November, kekuasaan umum atau lembaga negara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah DPR, DPRD, Polri, Kejaksaan Agung, atau pemerintah daerah.
Kemudian, dalam draf RKUHP 30 November, pasal penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara sebagaimana tertuang dalam pasal 240 dibatasi menjadi lima lembaga yang dimaksud lembaga negara. Yakni, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). ”Itu menunjukkan bahwa masukan masyarakat sipil sudah diperhatikan,” tuturnya.
Tim perumus juga menampung aspirasi masyarakat mengenai pasal gelandangan. Aspirasi itu kemudian ditindaklanjuti dengan menghapus pasal tersebut. Alasannya, tak semua daerah punya masalah dengan gelandangan. ”Itu (gelandangan, Red) bisa diatur dalam peraturan daerah,” ujar pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tersebut.
Mengenai pasal pencemaran yang mengadopsi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Chairul mengatakan bahwa pencemaran sejatinya memang delik biasa. Karena itu, tidak perlu diatur dengan undang-undang khusus. ”Kalau sekarang pemerintah mengedrop pasal itu (dari UU ITE, Red) dan dikembalikan sebagai tindak pidana biasa, itu wajar,” ujar akademisi yang menjadi tim perumus RKUHP sejak 2004 tersebut.
Terkait pasal tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia (HAM) di RKUHP yang sudah ada di UU Pengadilan HAM, Chairul menyebut itu hanya penataan. Menurut dia, hukum materiil tindak pidana tersebut memang harus ada di KUHP. Nah, UU Pengadilan HAM nanti hanya mengatur tentang proses peradilannya. Termasuk penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi.
Alasan yang sama menjadi dasar pasal tindak pidana korupsi, terorisme, pencucian uang, dan narkotika dimasukkan dalam KUHP. Ke depan, kata Chairul, semua tindak pidana khusus itu harus diikuti dengan membentuk pengadilan khusus. Seperti pengadilan tipikor dan pengadilan HAM yang sudah diberlakukan saat ini.
Sementara itu, aksi penolakan pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP kemarin tetap digelar masyarakat sipil. Di depan DPR, kelompok masyarakat yang terdiri atas berbagai organisasi menggelar aksi dengan mendirikan tenda di muka gerbang DPR di Senayan. ”Hari ini (kemarin, Red) adalah kabar buruk buat masyarakat karena RKUHP disahkan,” kata Dzuhrian Signal, koordinator aksi.
Tak hanya di Jakarta, Dzuhrian menyebut aksi penolakan pengesahan RKUHP juga dilakukan di sejumlah daerah. Di antaranya, Jawa Barat, Jogjakarta, hingga Sulawesi Tenggara. Gerakan turun ke jalan itu rencananya terus dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pengesahan RKUHP. ”Itu bentuk ungkapan bagaimana rakyat melihat pengesahan (RKUHP, Red),” ujarnya.
Secara umum, alasan masyarakat sipil menolak pengesahan RKUHP, antara lain, KUHP yang dirancang ratusan tim pakar dan para ahli hukum pidana itu berpotensi membawa Indonesia menjadi negara antidemokrasi. Selain itu, KUHP berpotensi melanggengkan praktik korupsi seiring masuknya pasal tindak pidana korupsi sebagai delik biasa di KUHP. (jp/pp)