RUU KUHP Sebagai Upaya Pembaharuan dan Perbaikan Hukum Melalui Rekodifikasi Hukum Pidana Indonesia

  • Bagikan

Oleh : Rian Suheri Akbar, S.H.

Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila, memerlukan
sistem hukum nasional yang harmonis, sinergi, komprehensif, dan dinamis,
melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses pembangunan hukum
yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah khususnya di bidang hukum pidana
adalah dengan melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah
disusun selama lebih dari 50 tahun dan telah melibatkan ahli-ahli hukum pidana
dalam perjalanannya. Namun, sampai dengan tahun 2021, masih terdapat
berbagai pro-kontra terhadap RUU KUHP. Sejumlah isu dalam RUU KUHP
menjadi pusat perhatian publik sehingga pemerintah perlu turut serta dalam
memperjelas isu-isu dimaksud.


Gelombang pro kontra yang masih tinggi inilah yang mendorong Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), sebagai pemrakarsa RUU
KUHP, untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai apa yang
menjadi pokok permasalahan dari pasal-pasal yang menjadi perhatian.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Kementerian Hukum dan HAM
menyelenggarakan serangkaian Diskusi Publik RUU KUHP di beberapa kota
besar Indonesia. Surabaya menjadi salah satu kota yang dipilih untuk
menyelenggarakan Diskusi Publik ini.


Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto,
mengungkapkan bahwa Diskusi Publik RUU KUHP ini diharapkan dapat menjadi
wadah penampung masukan dari masyarakat sekaligus memberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai RUU KUHP itu sendiri. “Selain sebagai media untuk
memberikan penjelasan mengenai RUU KUHP, Diskusi Publik ini juga
diharapkan menjadi media penampung masukan masyarakat mengenai RUU
KUHP. Dari delapan kota besar dimana Diskusi Publik ini telah terselenggara,
Kementerian Hukum dan HAM mendapatkan masukan-masukan luar biasa dari
peserta diskusi publik. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang ke-9 ini, besar
harapan kita supaya Diskusi Publik ini berkembang menjadi diskusi yang aktif,
dinamis, dan kontributif bagi perkembangan RUU KUHP,” kata Benny Riyanto
dalam sambutannya.


RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu
sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan
KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia
Belanda. Sejak kemerdekaan, KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie) telah berkembang secara masif.
Perkembangan ini berkaitan erat dengan hukum pidana murni maupun hukum
pidana administratif, terutama mengenai 3 (tiga) permasalahan utama dalam
hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Packer dalam The Limits of the
Criminal Sanctions, yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act),
perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan perumusan
sanksi baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment) sehingga
terjadi dekodifikasi hukum pidana yang menyebabkan beberapa ketentuan dalam
KUHP dikeluarkan menjadi undang-undang tersendiri.


Misalnya Pasal 204 dan Pasal 205 KUHP mengenai obat-obatan yang kemudian
diatur dalam Undang-Undang Narkotika. Selain itu mengenai kejahatan
penerbangan, Tokyo Convention, Den Haag Convention, serta Montreal
Convention yang dimasukan dalam Pasal 479a sampai dengan Pasal 479f pada
akhirnya ditarik keluar dari KUHP dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan.


Wakil Menteri Kemenkumham, Eddy Omar Sharif Hiariej, yang turut hadir dalam
acara tersebut menyatakan tentang pentingnya pengintegrasian hukum pidana
yang semakin berkembang ke dalam sistem hukum pidana Indonesia. “Perlu
dilakukan upaya rekodifikasi yang mencakup konsolidasi dan sinkronisasi
peraturan hukum pidana baik vertikal maupun horizontal ke dalam suatu kitab
undang-undang yang sistematis. Upaya rekodifikasi ini juga ditujukan untuk
menyelesaikan permasalahan yang muncul karena ketidakjelasan pemberlakuan
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie”, kata Eddy.


“Selain sebagai upaya rekodifikasi, pembaruan KUHP Nasional juga diarahkan
sebagai upaya harmonisasi, yaitu dengan menyesuaikan KUHP terhadap
perkembangan hukum pidana yang bersifat universal dan upaya modernisasi,
yaitu dengan mengubah filosofi pembalasan klasik (Daad-Strafrecht), yang
berorientasi kepada perbuatan semata-mata, menjadi filosofi integratif (DaadDaderstrafrecht-Slachtoffer) yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku, dan
korban kejahatan”, tambah Wamenkumham.


Kegiatan Diskusi Publik RUU KUHP yang dilaksanakan di Hotel JW Marriot
Surabaya pada Senin (03/05) merupakan rangkaian sosialisasi menyeluruh yang
diselenggarakan secara bertahap ke beberapa kota di Indonesia yang
diselenggarakan dalam bentuk diskusi dua arah. Turut hadir dalam acara
tersebut yaitu Arsul Sani (Anggota Komisi III DPR RI), Marcus Priyo Gunarto
(Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada), Topo Santoso (Guru
Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia), Harkristuti Harkrisnowo (Guru
Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia) dan Yenti Garnasih (Dekan Fakultas
Hukum Universitas Pakuan/Ketua MAHUPIKI).


Kegiatan Diskusi Publik mengangkat 6 (enam) tema utama, yaitu Tindak Lanjut
Pembahasan RUU KUHP, Perkembangan RUU KUHP, Pembaruan RUU KUHP,
Struktur RUU KUHP, Isu Krusial RUU KUHP dan Tindak Pidana Khusus dalam
RUU KUHP.(*)

  • Bagikan