Oleh: Prof Dr H Muhlis Madani, M.Si*
Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Fisip Unismuh Makassar
PEMBANGUNAN sebagai agenda pemajuan peradaban manusia pada akhirnya akan tampil dengan wajah paradoks. Pada satu sisi menjanjikan perbaikan dan penyelesaian persoalan kehidupan manusia, namun pada sisi lain hadir dengan ancaman dan persoalan baru bagi kehidupan manusia.
Pembangunan dan sederet persoalan yang dihadirkan nyatanya telah mengkonfigurasi ulang kondisi ekologis, terlebih lagi dalam konteks relasi manusia dan alam.
Melalui Earth Summit Rio de Janeiro, negara negara di dunia mengakui bahwa pembangunan memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan sehingga persoalan lingkungan dan pembangunan merupakan hal krusial yang mesti diselesaikan oleh masing masing negara.
Fenomena perubahan iklim jadi salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana aktivitas pembangunan yang tidak setara memiliki efek tidak netral terhadap stabilitas kerja alam.
Terdapat relasi struktural antara degradasi lingkungan dengan laju pendapatan per kapita dalam artian upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi kerap kali bersinggungan dan berdampak negatif pada kualitas lingkungan.
Agenda pembangunan dan eksploirasi alam yang sarat akan antroposentris akan menghancurkan metabolisme ekosistem hingga menjadi faktor utama terjadinya malapetaka ekologi.
Degrasasi lingkungan merupkan bukti gagalnya model pembangunan konvensional ala modernisasi yang banyak digembar-gemborkan para pemimpin dunia sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an
Krisis Lingkungan
Ecological Fiscal Transper (EFT), pada penerapannya merupakan salah satu upaya mereduksi krisis lingkungan global dengan instrumen penganggaran belanja dan pendapatan negara. EFT ini dipahami sebagai kebijakan ekonomi politik yang mampu merangsang tercapainya tujuan ekologis dalam riuhnya agenda pembangunan global.
EFT ini juga merupakan rangkaian dari trend penganggaran hijau yang menekankan perhitungan aspek pembiayaan lingkungan. Selain itu juga dinilai mampu mendorong kestabilan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.
EFT ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan multilevel governance, dalam artian tidak hanya terpusat pada satu lembaga pemerintahan saja, namun melibatkan seluruh tingkatan organisasi pemerintah baik lokal manupun nasional dari entitas terendah sampai pada puncak struktur kekuasan.
Di Indonesia EFT terutama di tunjukkan untuk mengapresiasi dan mendorong peningkatan kinerja pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Konteks Indonesia, transfer fiskal hadir sebagai strategi tata kelola lingkungan berbasis anggaran yang dirancang untuk mengoptimalkan penyelesaian persoalan lingkungan.
Secara periodik di Indonesia diskursus mengenai EFT mulai berkembang 2017, kemudian dikembangkan menjadi tiga skema dasar yakni; Transfer Anggaran Nasional-Provinsi Berbasis Ekologi (TANE), Transfer Anggaran Provinsi-Kabupaten/Kota berbasis Ekologi (TAPE) dan Transper Anggaran Kabupaten-Desa Berbasis Ekologi (TAKE).
TANE merupakan skema transfer anggaran dari pemerintah pusat kepada provinsi. Pemberian skmea anggaran ini berdasarkan pada capaian pemerintahj daerah dalam upaya pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Selain TANE, kerangka EFT juga dapat terwujud dalam TAPE dan TAKE sebagai skmea transper fiska. Keduanya memuat indokator kinerja pemerintah daerah dalam perlindungan lingkungan hidup, meski pun demikian tiap daerah memiliki indikator kinerja yang berbeda.
Pada konteks lokal, Provinsi Sulsel salah satu daerah dijadikan piloting penerapan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi. Hal demikian disebabkan pemerintah Provinsi Sulsel merupakan salah satu daerah yang menginisiasi adanya Transper Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) sejak 2018.
Dana Rp 300 Milyar
Tahun anggaran 2022 pemerintah Provinsi Sulsel menerapkan kebijakan TAPE dengan besaran dana Rp 300 Milyar berfokus pada isu pembangunan rendah karbon, yang mana masuk kedalam isu-isu strategis RPJMD 2018-2023 dan juga sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU).
Adapun kritetia mekanisme pelaksanaan TAPE di Sulsel yakni; penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 35 persen; perubahan tutuan vegetasi 35 persen; pertanian berkelanjutan 15 persen, energi baru terbarukan dan konservasi 15 persen.
Di Sulsel TAPE merupakan tindak lanjut (MoU) antara pemerintah provinsi Sulsel dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dalam mendukung Pembangunan Rendah Karbon, juga membantu pencapaian target dan indikator terkait lingkungan hidup yang ditetapkan dalam RPJMD periode 2018-2023.
Meski demikian Sulsel sendiri pada regulasi terkait transfer anggaran berbasis ekologi masih dalam tahap Ranpergub. Pada beberapa pemerintah kabupaten dan kota telah merumuskan peraturan yang mengikat pelaksanaan TAKE, dua di antaranya pemerintah Kabupaten Maros dan Kota Parepare.
Transfer Fiskal Berbasis Ekologi di Indonesia masih terbilang baru, bahkan upaya pelembagaan skema insentif fiskla berbasis ekologi massif dilakukan pada dua tahun terakhir. Pelembagaan transfer fiskal berbasis ekologi mampu dilaksanakan secara berkelanjutan dengan menyusun kerangka kebijakan dalam agenda perencanaan dan penganggaran.
Skema transfer fiskal berbasis ekologi diletakkan pada dokumen perencanaan dan penganggaran sepeprti RJPD, RPJMD atau RKPD dalam konteks pemerintahan daerah. Hal demikian mendorong pengintegrasian kebijakan fiskal berbasis ekologi dengan upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Degradasi lingkungan semakin nata dihadapa mata semua, karena itu diperlukan rangkaian regulasi yang bertujuan memitigasi persoalan lingkungan, salah satunya kebijakan anggaran berbasis lingkungan hidup.
Instrumen fiskal tersebut dapat meningkatkan kapasitas pemerintah baik di level nasional maupun lokal dalam upaya konservasi dan pelestarian lingkungan. Model Desentralisasi fiskal dalam skema EFT menjadi salah satu instumen yang relevan untuk di terapkan di Indonesia.
Hal tersebut disebabkan EFT mampu mensinergikan antara kebutuhan pemerintah daerah dan kemampuan pemerintah pusat dalam upaya pelestarian lingkungan. Selain itu juga dapat mensinergikan kinerja pemerintah pusat dan daerah dalam menjaga lingkungan hidup yang merupakan tanggung jawab bersama.
*Ringkasan pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Administrasi Publik Unismuh Makassar, dibacakan Senin 6 Februari 2023 dengan judul, Eco-Bases Budgeting Policy: Diskursus Ilmu Pengetahuan dan Praktik Kebijakan di Indonesia. (***)