Jepang Dilanda Resesi Seks, Angka Kelahiran Menurun, Ratusan Sekolah Tutup

  • Bagikan

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID JEPANG -- Aoi Hoshi dan Eita Sato sedang mempersiapkan kelulusan. Setelah keduanya lulus, sekolah mereka, yakni SMP Yumoto, per Jumat (7/4) ditutup. Penutupan bukan tanpa alasan. Sebab, Hoshi dan Sato adalah siswa terakhir sekolah itu. Sudah tidak ada lagi murid di sekolah yang sudah berusia 76 tahun tersebut.

”Ini adalah periode ketika sekolah ini punya murid paling banyak, ada sekitar 160 orang. Jumlah siswa mulai menurun sekitar tahun 2000,” ujar Kepala SMP Yumoto Mikio Watanabe menunjukkan foto-foto kelulusan setiap tahunnya.

Ruang kelas yang kosong atau hanya berisi beberapa siswa kini sudah menjadi hal biasa di Jepang. Terutama di daerah-daerah pinggiran. Penyebabnya, angka kelahiran setiap tahun terus menurun. Siswa yang mendaftar sekolah kian berkurang. Berdasar data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Pada 2002–2020, total ada hampir 9 ribu sekolah yang tutup selamanya.

Sejatinya, penurunan angka kelahiran tersebut juga telah menjadi masalah di penjuru Asia. Tingginya biaya membesarkan anak disebut menjadi pemicu angka kelahiran di Korsel dan Tiongkok mengalami nasib serupa. Namun, khusus di Jepang, situasinya terbilang kritis. Angka kelahiran menukik hingga di bawah 800 ribu pada 2022. Data tersebut adalah angka penurunan terendah dalam sejarah.

Saat ini di Tenei hanya 10 persen populasi penduduknya yang berusia di bawah 18 tahun. Populasi penduduk berkurang dengan cepat setelah bencana ledakan reaktor nuklir Fukushima pada 2011 lalu. Tenei hanya berjarak kurang lebih 100 kilometer dari lokasi bencana. Penduduk memilih pindah ke kota.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah yang belum pernah diambil sebelumnya untuk dapat meningkatkan angka kelahiran. Di antaranya, menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak dan menjaga lingkungan pendidikan. Namun, rupanya kebijakan itu belum banyak membantu. (jawapos/fajar)

  • Bagikan