Oleh: Subuhan, S.Pd., M.Pd.*
Pemilu (Pemilihan Umum) serentak akan digelar 14 Februari 2024 mendatang adalah ajang untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/kota. Tak lama berselang, juga akan digelar Pemilihan Kepala daerah (PILKADA); Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota, pada 27 November 2024.
Hajatan penting untuk rakyat dan bangsa Indonesia, biasa disebut pesta demokrasi dalam memilih pemimpin diatur regulasi dan undang-undang yang berbeda. Yakni, UU No. 7 tahun 2017 mengatur untuk PEMILU dan UU No. 10 tahun 2015 mengatur tentang PILKADA.
Kondisi tersebut mau tak mau, ‘’harus dipaksa, memaksa dan terpaksa’’ para penyelegara PEMILU harus bekerja dalam koridor regulasi tersebut secara simultan.
Lebih khusus, jajaran Bawaslu, kerena menjadi muara penyelesaian dan penanganan permasalahan PEMILU dan PILKADA. Jadi tempat bertanya, lembaga pengaduan atau melaporkan masalah atau kasus kepemiluan. Lembaga Bawaslu diberi wewenang menyelesaikan masalah, PHP maupun PHPU. "Jajaran Bawaslu harus lebih dulu tahu dan lebih mengerti regulasi".
Sumber : youtube: podcast Titi Angrani
Sebagaimana jamak terjadi pada PILKADA pada beberapa daerah tindak pidana pemilu yang menempati rating tertinggi, sering terjadi dan menjadi berita Headline media massa berhari-hari.
Dalam UU No. 10 tahun 2016 pasal mengatur tentang politik uang tereletak pada pasal 187 ayat 1 dan 2. Di mana ancamannya ‘’Ngeri-ngeri Sedap’’, pemberi dan penerima money politik diancam penjara minimal, paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Artinya jika ada kasus money politik atau politik uang, baik itu temuan maupun laporan masyarakat yang ditangani BAWASLU dan terbukti pada sidang. Pemberi dan penerima dipenjara minimal 36 bulan atau 3 tahun. Buka hanya kurungan penjara, dendanya juga disebut minimal Rp. 200 juta hingga satu milyar rupiah.
Pasal 187 ayat 1 dan 2 tersebut semoga menjadi warning bagi para Caleg DPR, DPRD Provinsi DPRD Kota Palopo, serta Calon DPD yang ingin bertarung pada PEMILU 2004. Juga penting bagi masyarakat dan pemilih sebagai peringatan agar tidak menjadi terjerat pada pasal pidana tersebut.
Perlu sosialisasi yang massif pada masyarakat, para Caleg terkait pasal ini, bahwa ancaman sanksi money politik sangat berat. Jika dicermati redaksi pasal politik uang PILKADA, pasal 187A ayat 1 dan 2 agak gampang terpenuhi unsurnya: setiap orang, memberi/menjanjikan uang atau materi, sebagai imbalan untuk mempengaruhi, agar tidak menggunakan hak pilih, tidak memilih atau memilih calon tertentu. Melarang memilih calon tertentu termasuk melanggar dalam pasal ini. Sementara pengaturan waktu tidak dibatasi dalam pasal ini. Sejak dimulai tahapan hingga hari H bisa terjerat pasal ini, jika terbukti money politik.
Agak berbeda dengan pasal money politik PEMILU yang diatur UU No. 7 tahun 2017 pasal pasal 515 dan pasala 523 ayat 1, 2 dan 3. Ancaman sanksi pelaku money politik masa kampanye, minggu tenang dan hari H beda ancamannya. Untuk pasal 515 ancamannya maksimal 3 tahun dengan denda Rp.36 juta, bagi pelanggar money politik hari H. Ancaman kurangan minimal penjara dan denda minimal tidak disebut pada pasal 515.
Adanya disparitas pengaturan dan penanganan tindak pidana money politik atau politik uang antara PEMILU dan PILKADA menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara Pemilu khususnya, BAWASLU dan jajaran.
Akhirnya,.. Ayo kita mengajak seluruh masayarakat, para kerabat dan keluarga untuk tidak menjadi pelaku money politik atau politik uang. Pemberi dan penerima money politik pada PEMILU dan PILKADA serentak tahun 2024, ancamannya, berat minimal 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. (***)
*Eks Komisioner PANWASLU Kota Palopo (Pilgub Sulsel, Pilwalkot Palopo dan Pemilihan DPRD Kota Palopo, DPRD Sulsel serta PILPRES)