* Oleh: Asri Tadda
(Bacaleg DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Partai Demokrat)
Sepekan terakhir perdebatan mengenai apakah Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) pada Pemilu 2024 mendatang menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka, terus menghangat.
Wacana kian memanas karena hanya satu partai politik yang setuju dengan sistem proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan. Yang lain ingin sistem proporsional terbuka seperti pada Pemilu 2019 lalu.
Sementara di lain pihak, terlepas dari kontroversi menyangkut kewenangannyan untuk kasus ini, Mahkamah Konstitusi (MK) juga tak kunjung menerbitkan keputusan.
Padahal proses tahapan pemilu legislatif tengah berlangsung di mana para calon anggota legislatif (Caleg) baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi maupun DPR-RI telah memasukkan berkas pendaftaran ke KPU yang deadline-nya 14 Mei lalu.
Belum jelasnya model Pemilu Legislatif pada Pemilu 2024 mendatang, tak ayal membuat banyak pihak menjadi resah, terutama parpol peserta pemilu, maupun para Caleg, khususnya yang tidak berada di nomor urut teratas.
Menurut hemat saya, sistem proporsional tertutup cukup ideal diterapkan, tetapi dengan catatan hanya jika kapasitas partai politik sudah baik. Ini tentu terkait dengan proses kaderisasi, manajemen dan pengelolaan sumber keuangan parpol.
Di negara kita, tidak semua parpol memiliki sumber daya yang sama. Apalagi soal dana. Karena itu, sudah seyogyanya parpol dibiayai oleh negara sehingga bisa beroperasi dengan wajar.
Jika parpol dibiayai oleh negara, maka parpol bisa fokus untuk melakukan kaderisasi dan edukasi politik kepada anggota-anggotanya. Bahkan ini menjadi tugas dan kewajiban parpol.
Kaderisasi parpol yang berjalan baik, kemudian menjadi jalan masuk bagi mereka yang ingin berkarir sebagai calon anggota legislatif di setiap level, termasuk juga untuk menjadi bakal calon kepala daerah.
Dengan demikian, maka kualitas Caleg yang akan bertarung pada Pileg sudah tak diragukan lagi. Rakyat bisa dengan tenang menyerahkan sepenuhnya siapa yang bakal ditunjuk oleh parpol menjadi anggota legislatif terpilih di DPRD/DPR-RI.
Kondisi saat ini, sangat jauh dari gambaran di atas. Setiap orang, meski bukan kader parpol, bisa mendaftar sebagai Caleg dan ikut kontestasi Pileg.
Dari sinilah, praktek money politic menjadi sangat terbuka dilakukan karena semuanya tergantung pada kondisi: siapa mengantongi suara terbanyak maka dialah yang berhak duduk sebagai anggota DPRD/DPR.
Saya kira inilah salah satu alasan para penggugat ke MK agar sistem proporsional terbuka diganti menjadi proposional tertutup.
Meski sebenarnya ideal diterapkan, namun menurut saya, bukan waktu yang tepat menerapkan model proposional tertutup pada Pileg 2024 mendatang.
Mengapa? Karena sistem parpol kita belum benar-benar siap untuk itu.
Kiranya diperlukan 5-10 tahun untuk bisa memodernisasi sistem kepartaian sebelum kita menerapkan model proporsional tertutup dalam Pemilu Legislatif.
Dengan demikian, saya berharap, MK tidak memutuskan penerapan model proposional tertutup pada Pileg 2024 mendatang, tetapi pada Pileg 2029 atau 2034. Salam demokrasi!. (*)