Oleh Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty, Kolumnis, Penulis Buku dan PP IKA Unhas
SEMENJAK akun twitter @ILC Talkshow TV One melakukan polling elektabilitas Capres, diikuti sejumlah akun twitter lainnya yang memiliki follower hingga ratusan ribu, membuat publik bertanya-tanya mengenai perbedaan survei dan polling twitter. Bahkan debat tentang kedua hal tersebut sulit dielakkan, dan menarik diikuti.
Survei, setidaknya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah nomina yang berarti penyelidikan, peninjauan, pengukuran. Lebih dari itu, survei adalah suatu metodologi riset kuantitatif, yang belakangan banyak digunakan dalam penelitian sosial, khususnya jajak pendapat.
Di Indonesia , survei opini publik dalam dua dekade terakhir, begitu mengemuka. Akibatnya, survei mengalami reduksi makna, sehingga lebih dipahami sebagai metode yang setara dengan polling. Keliru. Mengapa? Sebab polling adalah salah satu metode survei. Dengan kata lain, polling pasti survei, tetapi survei, belum tentu polling.
Oleh karena itu, survei dan polling tidak untuk dipertentangkan. Kegiatan survei opini oleh berbagai lembaga survei selama ini, sebenarnya, juga adalah polling atau jajak pendapat, dilakukan secara bertatap muka atau wawancara langsung dengan responden yang terpilih. Untuk membedakannya dengan polling, penulis menyebutnya sebagai survei tatap muka.
Sedangkan survei yang dilakukan tanpa bertatap muka dengan responden dengan menggunakan telpon, surat, surel, internet, itulah yang dipahami sebagai polling. Jika menggunakan batasan ini, maka survei yang dilakukan SMRC dan Charta Politika dengan metode random digital dialing (RDD) baru-baru ini, pun dapat disebut polling.
Ada juga polling di mana responden yang proaktif menghubungi pollster, yaitu, polling yang diselenggarakan melalui akun twitter. Di sini, responden sendiri yang menjadikan dirinya sampel, bukan pollster. Sedangkan pollster hanya diam menunggu, persis seperti seorang nelayan yang sedang tidur-tiduran usai memasang bubu perangkap ikan. Polling pasif.
Namun, opini yang diperoleh dengan cara ini tentu sangat murni dan objektif, karena responden sangat independen. Kelemahannya, sebaran responden tidak proporsional mereprensentasikan seluruh wilayah yang hendak diukur. Jika metode RDD memiliki kelemahan yang sama, maka seharusnya polling twitter lebih presisi karena sampelnya lebih besar, dan rilisnya jauh lebih jujur.
Bagaimana presisi polling twitter jika dibandingkan dengan survei tatap muka? Sejauh dilakukan dengan benar dan dilaporkan secara jujur, penulis masih meyakini bahwa survei tatap muka tentu jauh lebih presisi, kendati sampelnya lebih sedikit, karena memang dirancang untuk itu.
Kalaupun presisi keduanya diperbandingkan, lebih karena laporan survei yang disuguhkan selama ini, sangat kontradiktif dengan realitas di lapangan. Survei Indikator Politik Indoneisa, misalnya, elektabilitas Ganjar Pranowo, 34%; sedangkan Anies Baswedan, 22% (dibulatkan)
Coba kita nalar. Jika jumlah pemilih Pilpres pada 2024 sebanya 205 juta jiwa, maka Ganjar dengan elektabilitas 34%, memiliki pendukung sebesar 70 juta lebih (34% x 205 juta). Jika diratakan, maka pendukung Ganjar disetiap provinsi sebanyak 2 juta. Dengan pendukung sebesar itu, mestinya Ganjar disambut dan dielukan oleh ratusan ribu massa ketika berkunjung di daerah.
Tetapi realitasnya, kita tak pernah menyaksikan kunjungan Ganjar sampai memacetkan jalan yang dilaluinya. Tengok kunjungannya, baik di Jawa maupun di luar Jawa, sama sekali tak mencerminkan bahwa ia pemilik elektabilitas 34%. Kunjungannya di Manado yang nota bene basis PDIP dan Palembang baru-baru ini, turut mempertegas realitas itu.
Aneh, bukan? Padahal Ganjar kurang apa? Memiliki partai paling kuat dengan jumlah bupati dan gubernur paling banyak, sehingga tidak sulit memobilisasi massa. Punya duit banyak karena setiap datang membagi-bagi sembako plus door prize. Tetapi yang terjadi, kunjungannya tetap saja sepi. Tak sebanding antara besarnya panggung dan jumlah pengunjung. Paradoks.
Sedangkan Anies, justeru sebaliknya. Sambutan puluhan ribu massa pada setiap kunjungannya, tak mencerminkan kalau elektabilitasnya paling rendah. Juga paradoks bukan? Boleh jadi karena kondisi paradoks itulah yang melatari akun @ILC Talkshow sampai menyelenggarakan polling untuk menguji realitas Ganjar dan Anies.
Premis yang digunakan sederhana, yaitu, sambutan massa berbanding lurus dengan hasil polling. Hasilnya? Di luar dugaan. Pantas sambutan massa selalu membludak pada setiap kunjungan Anies, karena hasil polling-nya memang sangat tinggi, 65%. Bandingkan dengan hasil polling Ganjar, hanya 16%, sehingga juga logis kalau sambutan massa terhadap dirinya, sepi.
Tak terima hasil polling @Talkshow TV one, Ferdinand Hutahaean melakukan polling yang sama melalui akun twitternya. Tujuannya, selain hendak menegasi hasil poling @Talkshow TV One, juga untuk mempermalukan Anies. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Justeru Ferdinand yang malu sendiri setelah melihat hasilnya. Semenjak itu, Ferdinand tak berani lagi mencobanya.
Polling yang diselenggarakan oleh sejumlah akun seperti CNBC Indonesia, Kumparan.com, Medaninsider.com, juga @Subur0204 yang menyandingkan Ganjar dengan kotak kosong, bahkan dengan sandal jepit, seolah hendak menegaskan kalau survei tatap muka oleh sejumlah Lembaga survei opini publik selama ini, memang bertujuan untuk framing.
Penulis membayangkan, jika saja ada aplikasi polling twitter mampu mengelompokkan responden berdasarkan domisilinya secara otomatis, maka mungkin akan jauh lebih presisi dan biayanya sangat-sangat murah. (ym)
Makassar, 01 Juni 2023