* Oleh : Nadila A., S. P
(Koordinator Akhwat Majelis Intelektual Muslim/MIM Kota Palopo)
Kasus bullying tak pernah usai, bahkan semakin marak. Tak hanya di SMA dan SMP, di sekolah dasar pun sudah terjadi. Sungguh miris, bullying makin sadis dan bengis hingga menghilangkan nyawa anak tak berdosa.
MHD (9), bocah kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar) dikabarkan meninggal akibat pengeroyokan yang dilakukan oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/23). Korban mengalami kritis selama tiga hari, dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul 08:00 WIB, Sabtu (20/5/2023).
Pada keterangan Kakek korban (HY) mengatakan, usai kejadian yang terjadi di sekolah itu, cucunya tersebut sempat mengeluh sakit. Namun keesokan harinya, Selasa (16/5/2023), korban memaksa tetap masuk sekolah meski dalam keadaan sakit. Nahas, saat itu korban kembali dikeroyok oleh kakak kelasnya. "Saya bilang, kalau sakit jangan dulu sekolah, istirahat dulu aja di rumah. Namun saat itu korban memaksa ingin sekolah. Lalu ketika saat berada di sekolah, korban kembali dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Selasa (16/5/2023)," kata HY.
Awalnya korban enggan berterus terang kepada dokter dan orangtuanya bahwa dia telah menjadi korban penganiayaan kakak kelasnya. Hingga akhirnya korban mengaku telah dikeroyok oleh 3 orang kakak kelasnya," ujar HY. Korban pun selanjutnya dipindahkan ke RS Hermina lantaran RS Primaya tidak menerima pasien akibat tindak kekerasan.
Kasus Meningkat
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data bahwa sepanjang tahun 2022, setidaknya sudah terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan fisik dan psikis, termasuk perundungan yang jumlahnya terus meningkat hingga saat ini (BBC News Indonesia, 22/07/2022).
Tidak hanya itu, data riset yang pernah dirilis oleh Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 juga menunjukkan bahwa sebanyak 41,1 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.
Pada tahun yang sama, Indonesia menempati posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak mencatat kasus perundungan di lingkungan sekolah.
Ini menunjukkan Indonesia sedang darurat bullying. Perundungan kian hari seolah menjadi ancaman bagi anak-anak. Mengapa hal ini terus saja berulang? Apa yang menjadi masalah utamanya? Padahal, kebijakan demi kebijakan telah diberikan untuk mengatasi maraknya perundungan di sekolah. Namun perundungan tetap saja terjadi.
Buah Penerapan Sistem yang Salah
Kasus perundungan bukanlah kasus pertama yang ditemui dalam sistem sekuler. Ini hanyalah satu dari banyak kasus dampak penerapan sistem sekuler. Parahnya, ini terjadi pada generasi yang semestinya telah diperkenalkan akidah dan iman, agar tercipta ketakutan hanya kepada Allah Ta'ala saja.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya perundangan: Pertama, kebijakan negara. Penerapan sistem sekular menghasilkan kurikulum pendidikan tegak di atas nilai-nilai sekuler. Tak melihat sekolah umum maupun berbasis Islam, nyatanya kasus perundungan tak bisa dibendung, terus saja terjadi dan tak cukup mampu untuk menangkal kasus perundungan. Mengapa?
Ini karena konsekuensi penerapan kurikulum ala kapitalis yang rusak dan merusak. Tak perlu membuka mata sangat lebar, namun cukup peka dengan kondisi generasi saat ini. Maka kita akan melihat begitu banyak berita berseliweran, betapa perilaku generasi makin jauh dari karakter umat terbaik. Perundungan, kekerasan seksual, narkoba, perzinaan, tawuran, bunuh diri, pembunuhan, dan sebagainya, kerap mengintai generasi kita.
Kedua, pola asuh pendidikan sekuler dalam lingkup keluarga. Pola asuh sekuler tentunya sangat mendominasi kerentanan anak dalam berperilaku. Kebebasan berekspresi, kebebasan mengakses tontonan, dan kebebasan yang lain. Ini menjadikan anak dapat melakukan suatu perbuatan sesukanya dan sekehendaknya, tanpa tahu boleh atau tidaknya, halal atau haram dalam aturan agama. Tentu ini sangat penting untuk membangun suasana keimanan dalam lingkup keluarga.
Ketiga, kehidupan masyarakat yang individualistis. Kapitalisme - sekulerisme menjadikan masyarakat minim akan kepedulian terhadap sesama, cenderung acuh tak acuh. Selagi bukan mereka atau keluarga mereka yang menjadi korban, cukup kasihan dan prihatin ataukah tak peduli sama sekali, sungguh ini tak menyolusi. Masyarakat begitu jauh dari kata umat terbaik, dengan karakter amar ma'ruf nahi mungkar.
Ketiga poin di atas tentunya menunjukkan betapa pentingnya peran pemangku kebijakan (negara), orang tua, dan masyarakat dalam mencegah perundungan agar tidak semakin menjadi-jadi. Tentunya kita memerlukan solusi komprehensif, yang memutus rantai bullying.
Islam Solusi
Perundungan adalah salah satu penyakit sosial hasil peradaban sekuler Barat. Tak hanya marak di Indonesia, tetapi juga di sekolah-sekolah luar Indonesia. Ini karena sistem sekuler telah membawa generasi saat ini ke dalam jurang kerusakan. Tentunya, apabila kita bercermin pada peradaban Islam, profil generasi saat ini dan dimasa Islam berbeda sangat jauh, sangat bertolak belakang.
Dalam sistem Islam, akidah Islam adalah landasan dasar, paling utama dalam pendidikan. Maka tak heran, pada masa kejayaannya, Islami tampil sebagai peradaban dunia melahirkan begitu banyak individu yang memiliki berkepribadian mulia, berakhlak karimah, serta sangat unggul dalam ilmu dunia.
Maka, ada empat faktor yang menjadi kunci kesuksesan tersebut:
Pertama, keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan yang menjadi benteng dari perilaku jahat dan sadis. Seseorang yang memahami Islam dengan benar akan menjauhkan dirinya dari perbuatan tercela. Ia menyadari konsekuensi sebagai hamba Allah adalah menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Kedua, penerapan sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu berkepribadian dan berakhlak mulia secara komunal. Negara menerapkan sistem pendidikan ini di semua jenjang sekolah dan satuan pendidikan. Tatkala sistem pendidikannya baik, output generasi yang tercetak juga baik. Negara juga harus h media dan informasi yang mudah diakses anak-anak. Tidak boleh ada konten berbau kekerasan dan pornografi yang bertebaran di media mana pun.
Ketiga, dengan landasan akidah Islam, pola asuh orang tua dalam mendidik juga akan berubah. Suasana keimanan akan terbentuk dalam keluarga. Ketika anak kenyang perhatian dan kasih sayang orang tua, ia tumbuh menjadi pribadi yang hangat, peduli sesama, dan tidak mudah mencela orang lain.
Keempat, penerapan sistem pergaulan sosial berdasarkan syariat Islam akan melahirkan masyarakat Islam yang bertakwa. Membangun masyarakat dengan budaya amar makruf nahi mungkar harus dengan sistem Islam secara kaffah. Berdakwah akan menjadi karakter bagi setiap individu, yakni tidak akan menoleransi tindakan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam, termasuk perundungan.(Muslimah News.Id, 23/05/23 )
Demikianlah mekanisme Islam melahirkan generasi hebat, mulia, unggul, tak tertandingi selama kurang lebih 13 abad. Menjadi umat terbaik dengan peradaban terbaik. Generasi terjaga dari bullying dan segala kerusakan lainnya. Ini bukan sekedar konsep tapi membutuhkan sinergitas semua pihak agar terealisasi dalam kehidupan. Wallahu a'lam bish-shawab. (*)