- Pro Kontra Sistem Pemilu Terbuka atau Tertutup
PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, PALOPO -- Hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) rencananya akan menetapkan sistem Pemilu 2024, mendatang. Apakah terbuka atau tertutup?
Berikut ulasan sejumlah pengamat dan politisi akan kelebihan masing-masing sistem tersebut.
Seperti dikatakan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Muhammad Fauzi ikut membahas pro kontra sistem pemilihan terbuka dan tertutup. Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Sulsel III ini memulai tanggapannya soal pro kontra sistem Pemilu tertutup dan terbuka.
Ia pun dengan tegas menyampaikan, keberhasilan sebuah sistem Pemilu dalam ruang demokrasi tidak bisa diukur dari satu dua orang yang dianggap lolos. “Itu sangat kecil sekali,” katanya menegaskan.
Abang Fauzi, sapaan akrabnya, menyampaikan, ia adalah politisi yang lahir melalui sistem pemilu tertutup dan terbuka di DPR RI.
Muhammad Fauzi pernah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) tahun 2004-2009. Kemudian, tahun Pemilu 2019 lalu, ia terpilih melalui partai Golkar.
“Kalau berbicara tentang sebuah sistem juga harus terinspirasi beberapa hal di tengah masyarakat. Karena tidak bisa dalam sistem apapun kita lari dari suatu tradisi yang sudah dilembagakan dan berkembang di masyarakat,” katanya. Ia menegaskan, sistem Pemilu itu harus punya ruang besar bagi masyarakat.
“Kita tidak bisa menafikan parameter yang umum dalam sebuah demokrasi. Di mana parameter umum dalam sebuah demokrasi sistem apapun itu harus sistem yang semakin besar ruang partisipasi masyarakat. Menurut saya itu semakin bagus,” katanya. Ia juga merinci, sistem partai itu harus punya dua kelebihan.
“Partai itu harus membentuk sebuah kader partai agar dia tidak eksklusif. Karena itu sistem apapun yang akan kita pakai, maka partai politik harus menjadi partai kader. Bukan karena terbuka atau tertutupnya,” katanya. Sehingga, mantan ketua Partai Golkar Luwu Utara ini mengajak partai melakukan pengkaderan.
“Kalau tidak melakukan pengkaderan, maka kader partai bisa tidak memiliki ideologi. Tapi bukan karena sistemnya karena kader itu diproses di internal,” katanya.
Berbicara tentang pencitraan, Fauzi menganggap politik kita tidak lepas dari pencitraan.
“Dan memang politik itu high cost. Tidak ada bicara politik tidak high cost. Juga tidak ada di DPR RI pengesahannya anggaran untuk pencitraan dewan. Itu tidak ada. Kalau biaya pribadi itu dikeluarkan adalah hak daripada anggota DPR RI,” katanya.
Ia pun menganggap setelah terpilih maka, anggota DPR mesti bertanggung jawab ke daerah pemilihan.
“Dalam hal mewakili dapilnya, maka harus disampaikan ke ruang publik. Bagi saya itu tidak bisa dikatakan pencitraan semata. Jangankan di partai politik di sektor lain saja pencitraan itu tidak bisa dilepaskan. Karena apapun pekerjaan kita jika itu baik pasti respon kita juga baik dan respon masyarakat juga baik,” katanya.
Ia menyampaikan, ketika anggota DPR bekerja dengan baik maka, mudah-mudahan persepsi masyarakat juga baik. “Sehingga perlakuan masyarakat kepada kita untuk maju lagi insya Allah baik. Karena persepsi itu yang mempengaruhi perlakuan kita terhadap orang lain atau sesuatu yang ada di tengah kita,” katanya. (idr)