Oleh: Yarifai Mappeaty
KETIKA para menteri Kabinet Kerja Jokowi – JK di lantik, satu-satunya menteri yang tak pernah dipertanyakan kepantasan dan kelayakannya oleh publik, ialah Anies Baswedan. Yang lain, semua disorot, tanpa kecuali. Selain memang karena kapasitasnya, Anies juga dikenal sebagai orang dekat Jokowi. Maklum, pada Pilpres 2014, Anies adalah Jubir pasangan Jokowi – JK.
Tetapi justeru karena itu membuat khalayak terheran-heran dan bertanya-tanya, tatkala Jokowi di luar dugaan menyingkirkan Anies dari kursi Mendikbud, pada Juli 2016. Dengan begitu, Anies tak sampai dua tahun menjadi menteri Jokowi. Ada apa gerangan?
Sontak bermunculan spekulasi, tentu saja. Ada yang menyebut Jokowi marah karena Anies korupsi terkait proyek pameran buku di Jerman pada 2015. Anies sampai dilaporkan ke KPK pada Maret 2017, saat ia lolos putaran kedua pada Pilkada DKI Jakarta. Biasa, politis. Soalnya, Anies yang berpasangan dengan Sandi, berhadapan dengan Ahok – Jarot, yang didukung Jokowi.
Karena tak cukup bukti, KPK tak menggubrisnya. Bahkan sampai-sampai Goenawan Mohamad (GM), yang dipersepsi sebagai die hard Ahok, menepis isu itu dan malah membela Anies. Tapi usut punya usut, ternyata GM adalah penanggung jawab proyek tersebut sebagai Ketua Komite. Dan, Anies pun selamat dari fitnah lawan politiknya.
Bagi kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan, Anies dinilai tidak ada manfaatnya sebagai Mendikbud. Tidak bisa diajak “main”, kira-kira begitu. Spekulasi ini boleh jadi benar. Sebab Anies memang tak membiarkan proyek di Kemendikbud menjadi bancakan. Malah, jika Anies tak melaporkan, maka tunjangan profesi guru senilai 23,3 trilyun, berpotensi dijarah.
Konon, tak lama sebelum Anies disingkirkan, ada survei melaporkan bahwa tingkat keterterimaan Anies sangat tinggi, tak jauh dibawah Jokowi. Anies lantas dinilai sebagai ancaman serius bagi Jokowi pada Pilpres 2019, bukan Prabowo. Karena itulah sehingga Anies harus “dimatikan” sejak dini. Jangan sampai terulang fenomena Mega – SBY pada Pilpres 2004.
Selain itu, entah dari mana Andy F Noya mendapat informasi bahwa Anies disingkirkan Jokowi, lantaran tongkat Kyai Cokro, sebuah pusaka keramat peninggalan Pangeran Diponegoro. Pusaka tersebut telah kembali, setelah menghilang, nyaris 200 tahun lamanya.
Ada semacam wahyu keprabon yang begitu dipercaya oleh pada umumnya masyarakat Jawa, bahwa barang siapa yang pertama kali memegang dan menerima pusaka itu ketika muncul kembali, maka ditakdirkan menjadi pemimpin besar di negeri ini. Ternyata, Anies-lah yang pertama kali memegang dan menerima pusaka itu.
Menurut Andy F Noya, peristiwa itulah yang membuat Jokowi tak senang, karena merasa ditelikung oleh Anies. Menelikung bagaimana? Sedangkan agenda penyerahan pusaka Kyai Cokro itu, kapan dan di mana, sudah dilaporkan Anies kepada Presiden Jokowi. Hanya saja, pada saat yang sama, presiden punya agenda kunjungan kenegaraan di tiga negara Asean.
Boleh jadi saat itu, Jokowi sebenarnya belum tahu wangsit yang berada di balik penyerahan pusaka tersebut, sehingga diwakilkan kepada Mendikbud untuk menerimanya. Sebab seandainya tahu, Jokowi pasti perintahkan rescheduling, menunggu kepulangannya dari luar negeri.
Jika cerita Andy itu benar, maka, masalahnya ialah Jokowi terlalu percaya pada wangsit itu. Sehingga, setelah tahu belakangan, barulah merasa ditelikung. Padahal, kalau dipikir-pikir, mana Anies berani. Sebagai menteri, tentu prioritasnya adalah berusaha sebaik mungkin merawat hubungannya dengan presiden Jokowi.
Lagi pula, Anies belum tentu mengetahui dan percaya pada wahyu keprabon di balik kemunculan Kyai Cokro. Jadi apa untungnya bagi Anies?
Tetapi sebaliknya, jika Jokowi benar-benar percaya, maka mestinya ia meniru sikap legowo seorang Ke Ageng Giring, yang mungkin saja adalah leluhurnya sendiri, begitu mengetahui degan hijau (kelapa muda hijau) yang sengaja disimpannya, telah diminum habis oleh Ki Ageng Pamanahan, pendiri Kesultanan Mataram pada pertengahan abad ke-16.
Oleh karena Ki Ageng Giring sadar akan kehendak langit, sehingga tak terbersit dalam hatinya untuk mencelakai Ki Ageng Pamanahan. Padahal, kalau mau, Ia bisa saja melakukan operasi diam-diam menumpas semua keturunan Ki Ageng Pamanahan semenjak itu.
Namun Ki Ageng Giring tak melakukannya, sebab mungkin ia menyadari akan kuwalat tujuh turunan, apabila mencoba melawan kehendak wahyu keprabon.
Malah sebaliknya. Ki Ageng Giring justeru memberi tahu Ki Ageng Pamanahan mengenai wahyu keprabon yang tersimpan pada degan hijau itu. Bahwa barang siapa yang meminumnya sampai habis tak tersisa, maka keturunannya ditakdirkan menjadi penguasa Tanah Jawa.
Benar saja. Melalui Kesultanan Mataram, keturunan Ki Ageng Pamanahan menjadi penguasa Tanah Jawa selama ratusan tahun. Bahkan Pangeran Diponegoro, sang pemilik tongkat Kyai Cokro, adalah salah seorang dari keturunannya.
Sama seperti degan hijau Ki Ageng Giring, tongkat Kyai Cokro sang pangeran, juga dipercaya sebagai pembawa wahyu keprabon. Tetapi Jokowi tampaknya tak peduli, sampai harus cawe-cawe menjegal Anies.
Padahal, seperti halnya Ki Ageng Pamanahan yang mendapat pulung dari degan hijau, Anies pun akan mendapatkan hal yang sama, pulung dari tongkat Kyai Cokro Sang Pangeran. (***)