Tana Luwu Sebuah Anugerah, Sudahkah Kita Sejahtera?

  • Bagikan

AFRIANTO.M.Si (Dosen Fakultas Bisnis Universitas Mega Buana Palopo)

WAJAH dunia terus mengalami pergeseran dari waktu ke waktu, peradaban manusia terus bergeser ke arah yang kian tidak menentu, globalisasi mengikat semakin kuat ruang ekonomi masyarakat dunia.

Penyebaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan tidak jelas lagi batas – batasnya, tetapi menciptakan saling ketergantungan (interdepensi) negara. Migrasi, pergerakan modal dan investasi, perdagangan dan transaksi semakin mempengaruhi tata kerja ekonomi sampai pada level terbawah, berevolusi jauh pada masa kini.

Pada konteks tana luwu, sebagai kawasan luas yang memiliki sejarah panjang dan dituliskan secara epic, diakui oleh dunia dengan naskah terpanjang, bahkan mengalahkan kitab epic india, mahabrata dan ramayana, ia disebut I lagaligo atau sureq lagaligo. Komposisi bahasa penyusun puisi yang indah, berkualitas susastra tinggi. Tana luwu yang diceritakan tempat lahirnya sawerigading, menceritakan periode kehidupan yang berisi kisah petualangan, jalan cinta, dan pengorbanan. Tapi tidak soal itu saja, kitab ini menunjukkan bahwa tanah luwu adalah anugerah Tuhan yang berlimpah dengan kekayaan potensi sumber daya alamnya, daratannya begitu subur sehingga apapun yang ditanam akan membuahkan hasil ekonomi, di bawahnya terdapat biji nikel, emas dan besi, di lautnya begitu kaya dengan keanekaragaman hayati biota laut.

Dalam babakan sejarah luwu dalam konteks kegiatan ekonominya, “Luwu pernah menjadi pusat peleburan bijih besi, melalui pemerintahan Lémolang di Baebunta, ke Malangke di dataran pantai tengah. Di sini besi yang akan dilelehkan itu diolah menjadi senjata dan alat pertanian, diekspor ke dataran rendah selatan yang memproduksi beras. Hal ini membawa kekayaan yang besar. Pada abad ke-14, Luwu telah menjadi entitas yang ditakuti di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara”. Dulunya, Luwu adalah sebuah kerajaan yang mewilayahi kolaka (Sulawesi tenggara) dan poso (sulwesi tengah), dipimpin oleh seorang Datu/raja

Dalam perkembangannnya, Andi Djemma pada periode masa kepemimpinannya merupakan salah satu raja yang memproklamirkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Atas jasanya, Datu Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Daerah ini juga pernah dijanjikan untuk menjadi salah satu daerah istimewa, namun tidak pernah direalisasikan hingga saat ini. Perjuangan panjang masyarakat luwu menjadikan daerah ini terpisah secara administrative dengan Provinsi Sulawesi - Selatan dengan status Daerah Otonomi Baru Provinsi Luwu Raya juga hingga saat ini tidak terwujud.

Pemisahan ini sesungguhnya tidak lain adalah upaya untuk mengakselerasi pembangunan daerah di wilayah tana luwu, dengan potensi sumber daya alam yang subur diharapkan daerah ini akan tumbuh menjadi daerah yang sejahtera dan maju. Cita – cita Provinsi Luwu Raya merentang jalan panjang untuk mewujudkannya, dinamikanya dihidupkan saat kontestasi politik mendekat dan ia redup saat kepentingan tertentu telah terpenuhi. Hasrat kuasa melemahkan spirit perjuangannya, jembatan emas yang pernah dibangun untuk kemaslahatan rakyat ditunggangi dengan janji manis, keinginan masyarakat luwu raya bisa jadi hanya petilasan, terlihat indah tapi tidak bergerak. Namun, kondisi ini tidak mungkin kita katakan bahwa semangat dan dukungan masyarakat semakin menipis, karena tidak ada yang bisa mengkalim memonopoli atau memegang supremasi kuat pada upaya ini. Situasi seperti ini, tidak berarti harus memposisikan masyarakat menolak segala bentuk kebijakan pembangunan dengan mengekalkan “perlawanan”, menolak hukum, hirarki dan struktur. Wilayah ini harus terus didorong bergerak dalam dinamika pembangunan daerah, pemerintah daerah wajib mendorong akselerasi pembangunan wilayah dengan menekankan penciptaan distibusi keadilan, pemerataan, dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Bagaimana dengan pembangunan di tana luwu sejauh ini?. Jika dilihat dari aspek kebijakan, maka perlu melihat sejauhmana intervensi pemerintah di luwu raya dengan menggunakan instrument fiskal. Kinerja perekonomian dapat dilihat dari pergerakan ekonomi wilayah ini. Wilayah luwu raya secara akumulasi nilai PDRB berdasarkan harga konstan di tahun 2022 mencapai 42,4 Triliun rupiah atau berkontribusi sebsar 11,74 % dari total PDRB Sulawesi selatan sebesar 360 tirliun rupiah.

Selama kurun waktu 2017-2022, laju pertumbuhan ekonomi luwu raya cenderung melambat dengan rata – rata pertumbuhan mencapai 4.10 %. Lebih dalam, jika dilihat berdasarkan tingkat kabupaten, kabupaten luwu timur dalam kurun waktu tersebut, rata –rata tumbuh hanya 1.32 %. Padahal wilayah ini berkontribusi besar terhadap ekspor dan nilai PMTB dari kabupaten lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurang optimalnya pemerintah daerah dalam mendorong produktivitas dengan memaksimalkan segala sumber – sumber pertumbuhan ekonomi.
Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan jumlah investasi yang memadai. Investasi akan menyediakan input dalam proses produksi, nilai investasi dicerminkan dari komponen Pembentukan Modal.

Berdasarkan data BPS sulsel, dilihat dari nilai PMTB harga konstan, nilai investasi di luwu raya tahun 2021 sebesar 12,87 triliun rupiah dengan rata – rata tingkat pertumbuhan sebesar 5.21 % per tahun. Luwu timur berkontribusi paling besar mencapai 35 % dari total PMTB di luwu raya. Kontribusi ini disebabkan karena pengaruh pertambangan biji nikel yang cukup tinggi di kabupaten tersebut, sementara nilai investasi per kapita di kota palopo tertinggi setelah kabupaten luwu timur karena jumlah penduduknya yang sedikit.

Pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, pengeluaran pemerintah daerah dan pengembangan sektor primer melaui berbagai instrument kebijakan mestinya memberi dampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan merata. Pemerintah di luwu raya ini punya pekerjaan besar kedepannya, apalagi momentum pemilihan umum dan kepala daerah tinggal berhitung bulan, problem kemiskinan, lapangan pekerjaan dan minimnbya pembangunan industry manufaktur pada semua wilayah ini perlu menjadi perhatian bagi semua pihak.

Sebut saja yang terjadi di dua kabupaten (luwu dan luwu utara), dua wilayah ini termasuk dalam kategori daerah yang memiliki jumlah kemiskinan terbesar dari 24 kabupaten/kota di sulawesi selatan, bahkan masuk dalam urutan 5 besar, ini tentu berkorelasi kuat salah satunya dengan faktor kebijakan. Pada sektor manufaktur, rata- rata kontribusinya hanya berada di kisaran 3-4 %, padahal sektor primer dalam stuktur pembentukan ekonomi sebagian besar didominasi oleh sektor pertanian, areal ini belum sepenuhnya dikonsentrasikan oleh pemda dalam mendorong nilai tambah ekonomi bagi masyarakat. Kebijakan sektor primer masih berkutat di hulunya, sementara tersumbat di wilayah hilir.

Yustinus Prastowo dkk dalam bukunya tentang Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Indonesia “Pembangunan harus ditanam kembali ke tata nilai dan gugus kebutuhan manusia sebagai subyek. Melalui penetapan capaian-capaian berkualitas dan terukur, strategi yang tepat, dan ruang partisipasi publik yang luas, isu ketimpangan dan kemiskinan dapat dijadikan titik berangkat untuk menafsir ulang dan menata visi pembangunan yang ada”. Tanpa itu semua, kita berpotensi mengulangi kekeliruan yang sama ketika pembangunan digagas dalam narasi besar dan mengandaikan pelaku anonim dan ciri netral.

Pembangunan harus berarti perluasan ruang kebebasan, kesetaraan kesempatan, dan keberpihakan pada mereka yang paling dirugikan dan dipinggirkan. Pembangunan pada semua level perlu terus didorong dengan memperkuat hubungan pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat sipil dengan menerjemahkan secara bersama sebuah rumusan pola pembangunan, Intervensi yang dimaksud memuat strategi potensi perekononomian daerah, kesepakatan perencanaan partisipatif, pengembangan dokumen dan advokasi kebijakan public.

Model – model pembangunan yang selama ini dilakukan perlu terus menerus di evaluasi untuk merancang program yang ideal bagi masyarakat. Pembangunan sejatinya mampu mengakomodir semua kepentingan lapisan masyarakat, sebuah rumusan pembangunan ekonomi yang menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antara wilayah.

Selama ini, pemerintah berupaya meyakinkan public untuk menciptakan institusi yang adil dan menyelesaikan masalah – masalah administrative masyarakat semata. Justru sebaliknya, institusi – institusi tersebut gagal menjadi agen perubahan yang baik bagi masyarakat. Kita berharap bahwa kekayaan sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa tidak menjadi kutukan (resource curve) disebabkan karena pengabaian kita terhadap keberlanjutan lingkungan dan hak bersama yang mestinya dinikmati oleh setiap orang. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version