* Oleh: Rahmawati,S.Pd_
(Akivis Komunitas Guru Muslimah Inspiratif Kota Palopo)
Masa penenerimaan peserta didik baru (PPDB) telah berakhir. Sayangnya ada banyak sengkarut masalah yang masih tersisa. Mulai dari sedikitnya pendaftar pada beberapa sekolah tertentu, kesalahan dalam penentuan jarak sekolah ke rumah calon peserta didik, kesalahan sistem pada saat pengumuman, sampai dengan manipulasi data calon peserta didik.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut, masalah yang terjadi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023 terjadi di semua daerah. Karena itu, Jokowi pun meminta agar permasalahan itu dapat diselesaikan secara baik. Jokowi pun menegaskan pentingnya mengutamakan kepentingan anak-anak Indonesia agar dapat mengenyam pendidikan di sekolah. Jokowi mengatakan, pemerintah baik pusat maupun daerah harus memastikan anak-anak mendapatkan kesempatan pendidikan. (https://news.republika.co.id/ 20 Juli 2023)
*Masalah Fundamental Pendidikan*
Kebijakan sistem zonasi pada mulanya bertujuan baik, yakni menghilangkan tensi favoritisme sekolah dan mengurangi kasta dalam dunia pendidikan. Ini karena tidak dimungkiri, adanya sekolah favorit dan sekolah “pinggiran” memang menjadi jurang, seakan ada polarisasi tersendiri antara sekolah anak pintar dan tidak pintar. Dengan kebijakan zonasi, polarisasi ini diharapkan dapat terminimalkan.
Faktanya, dalam dunia pendidikan, perbedaan kasta ini sebenarnya tampak pada sarana dan prasarana pendidikan sehingga dengan adanya kebijakan zonasi pemerintah berharap setiap siswa dapat menikmati layanan pendidikan secara merata. Peserta didik yang jarak rumah dan sekolah berdekatan bisa menghemat biaya transportasi. Inilah harapan semua orang tua. Hanya saja, harapan ini seakan pupus dengan banyaknya kecurangan dan penerapan yang jauh dari ekspektasi masyarakat.
Jika kita berkaca pada kisruh PPDB 2023, ada dua masalah pokok yang luput dari perhatian pemerintah.
Pertama, paradigma tentang sekolah. Cara pandang masyarakat mengenai sekolah favorit dan tidak favorit ini sendiri tidak terlepas dari paradigma pendidikan sekuler kapitalistik yang mengukur segalanya dari materi. Contohnya, sekolah favorit hanya untuk orang-orang pintar dan kaya, sedangkan siswa yang “tidak pintar” hanya bisa bernaung di sekolah ala kadarnya yang minim fasilitas dan sarana prasarana. Akhirnya, kesuksesan seorang anak diukur dari nilai materi saja. Sekolah bagus dilihat dari fasilitas, tunjangan, dan sarana prasarananya. Budaya kasta dan pandangan materi inilah yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kapitalistik.
Kedua, pemerataan pendidikan tidak akan terwujud jika infrastruktur pendidikan belum terpenuhi di seluruh wilayah. Adanya kasta, gengsi sekolah, hingga perbedaan infrastruktur, menjadi titik balik adanya favoritisme dalam dunia pendidikan. Buktinya, ada orang tua yang rela menghalalkan segala cara agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang fasilitasnya sudah bagus dan dikenal sebagai sekolah unggulan atau berprestasi.
Ada pula yang tidak berkenan di sekolah dekat dengan rumah lantaran fasilitas penunjang belajar dinilai minim dan kurang berkembang. Alhasil, banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di swasta meski berbiaya mahal ketimbang sekolah negeri, tetapi minim sarana dan prasarana.
Imbasnya, beberapa sekolah negeri kekurangan siswa. Bahkan, ada yang menerima satu siswa saja, padahal lokasi sekolah dekat dengan pemukiman warga. Artinya, dari aspek penyediaan fasilitas sekolah, pemerintah lalai memberikan pelayanan pendidikan secara merata. Jangan heran jika sistem zonasi akan menghadapi polemik tahunan.
*Butuh Perubahan Sistemis*
Perlu pembenahan sistemis untuk mewujudkan sistem pendidikan yang merata dan berkualitas. Negara berperan penting dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang berkualitas dan unggul. Apa saja peran tersebut?
Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Pandangan masyarakat perihal sekolah favorit dan tidak favorit akan berubah seiring diterapkannya pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, visi misi sekolah ialah membentuk generasi berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Bukan sekadar berburu nilai koginitif, mengejar gengsi dan prestise, atau membuat anak cerdas secara akademis, tetapi minus kepribadian mulia.
Kedua, menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Ini adalah kewajiban negara sebagai penanggung jawab membangun SDM berkualitas. Negara wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, teknologi yang mendukung KBM, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak perlu ada sistem zonasi. Semua sekolah diunggulkan dan para siswa mau sekolah di mana saja karena fasilitasnya yang merata.
Ketiga, SDM yang bermutu dan profesional. Kehadiran guru yang profesional cukup berpengaruh pada kualitas sekolah di masyarakat. Alhasil, negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor dan lembaga pendidikan.
Demikianlah, ketiga mekanisme ini dapat terlaksana jika negara mengatur tata kelola pendidikan dengan cara Islam. Bukti kegemilangan pendidikan Islam sudah tercatat dalam sejarah. Islam mampu membentuk generasi cemerlang yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan cerdas tanpa mengurangi ketinggian akhlak dan kepribadian mereka.
Dengan begitu, problem sekolah terancam tutup akibat kurangnya pendaftar, padahal pada saat yang sama masih banyak anak negeri yang tidak bersekolah, merupakan sebuah paradoks. Ini butuh penelaahan sistemis, bukan semata kritik dari sisi regulasi. Wallahualam. (*)