OTT Dari Perspektif Hukum Pidana

  • Bagikan

OLEH: Nurdin

Pekan lalu, personil KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan) terhadap dua oknum TNI aktif terkait pengadaan barang dan jasa dilingkup Basarnas (Badan Nasional Pencarian Dan Pertolongan).

Tulisan ini tidak akan masuk pada ranah perdebatan, apakah sah atau tidak sah penetapan tersangka Ka Basarnas oleh institusi KPK yang lagi ramai dibicarakan, tetapi hanya sebatas apa OTT itu, dilihat dari sudut pandang hukum pidana formil (KUHAP).

Istilah OTT (Operasi Tangkap Tangan) menjadi populer sejak institusi anti rasuah itu terbentuk, bahkan boleh dibilang hampir sepenuhnya kasus korupsi yang diungkap oleh KPK bermula dari operasi tangkap tangan yang kemudian perkaranya dikembangkan lebih lanjut.

Dengan kecanggihan alat komunikasi yang dimiliki dan dengan dukungan anggaran luar biasa, KPK dapat dengan mudah mengetahui Anda atau siapa saja yang melakukan transaksi keuangan secara tidak sah yang merugikan keuangan negara.

Akan tetapi kalau Anda membaca secara detail pasal demi pasal hukum formil kita, yaitu KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang terdiri dari 286 pasal itu. Maka, dapat dipastikan Anda tidak akan menemukan istilah OTT tersebut. Yang ada adalah tertangkap tangan.

Mungkin, berangkat dari terminologi tertangkap tangan itulah kemudian oleh KPK diberi kata "operasi" di depan kata tertangkap tangan sehingga jadilah Operasi Tangkap Tangan yang tentu menimbulkan tafsir lain dari makna tertangkap tangan.

Penting dipahami, bahwa yang dikatakan tertangkap tangan menurut pasal 1 angka 19 KUHAP adalah "sedang melakukan tindak pidana, segera sesudah beberapa saat melakukan tindak pidana, sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana,"

Bunyi pasal di atas merupakan syarat alternatif yang menurut penjelasan KUHAP, cukup jelas. Itu bermakna tidak ada tafsir lain. Dan juga, orang yang tertangkap tangan melakukan kejahatan bukan saja aparat penegak hukum, melainkan semua orang memiliki kewajiban hukum yang sama untuk menangkapnya dan membawanya ke kantor aparat penegak hukum, ke kantor polisi, misalnya.

Penulis berpandangan, bahwa memaknai bunyi pasal di atas. Maka, sesungguhnya orang yang tertangkap tangan itu, tidak ada perencanaan lebih dahulu dari aparat penegak hukum untuk menangkap pelaku kejahatan sebab jika memiliki perencanaan lebih dahulu, itu bukan lagi tertangkap tangan namanya, melainkan melakukan penangkapan.

Berbicara mengenai penangkapan tentu jauh berbeda dengan tertangkap tangan dari sudut pengaplikasiannya di lapangan sebab jika penangkapan harus dilengkapi dengan surat tugas dan surat perintah penangkapan untuk kemudian menangkap seorang tersangka sementara tertangkap tangan tidak mesti ada surat bahkan tidak diperlukan administrasi apapun.

Contoh sederhana ; Anda (siapapun) lewat di tengah pasar lalu ada copet, dikejar dan tertangkap. Itu namanya tertangkap tangan, tetapi kalau copetnya, misalnya bernama X. Lari dan tidak tertangkap, korbannya kemudian ke kantor polisi melaporkan kejadian itu, berikutnya dilakukan penyelidikan dan penyidikan, di situlah kemudian dibuat surat perintah penangkapan atas nama tersangka X.

Sehingga kalau memaknai terminologi Operasi Tangkap Tangan. Pemahaman hukum penulis, bahwa orang yang ditangkap oleh aparat penegak hukum karena diduga kuat melakukan tindak pidana, tentu sudah direncanakan lebih dahulu sehingga harus disertai dengan surat tugas dan surat perintah penangkapan.

Mengapa demikian ? Oleh karena, ada kata operasi yang mendahului kata tertangkap tangan. Makna operasi menurut KBBI selain bedah dalam istilah kedokteran, kemudian dalam bidang kemiliteran, juga bermakna sebagai pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan.

Nah, dari ketiga makna di atas yang disebut terakhir yaitu Pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan, lebih relevan pada Operasi Tangkap Tangan yang selama ini diistilahkan oleh institusi KPK. Sehingga, semestinya bukan lagi istilah tertangkap tangan yang digunakan melainkan penangkapan.

Tertangkap tangan dan penangkapan mempunyai perbedaan yang prinsip, baik dari segi definisi maupun mengaplikasikan di lapangan dalam rangka penegakan hukum, dan itu tidak hanya bagi KPK melainkan juga aparat penegak hukum lainnya. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version