Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Dalam menangani suatu perkara tindak pidana, hakikatnya hanya berpedoman pada dua peraturan. Pertama ; Hukum pidana materil yaitu KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) atau Undang-undang hukum pidana lain yang tersebar di luar KUHP.
Dalam KUHP mengatur tentang siapa yang boleh dihukum, perbuatan apa saja yang boleh dihukum, dan apa sanksinya. Kedua ; Hukum pidana formil, yaitu hukum pidana yang menegakkan hukum pidana materil, disebut KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
KUHAP atau lazim disebut hukum pidana formil, itu mengatur tentang bagaimana negara melalui aparatnya melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, mengadili, dan seterusnya.
Namun, tidak semua perkara harus melalui serangkaian penyelidikan. Ada perkara tertentu yang sifatnya mudah sehingga tidak membutuhkan penyelidikan. Misalnya, seorang yang tertangkap tangan melakukan pencurian.
Barang buktinya sudah ada ditangan pelaku, saksinya cukup dan juga pelaku mengaku salah telah melakukan pencurian. Tetapi, ada pula perkara yang memang membutuhkan penyelidikan secara mendalam, yakni perkara yang pembuktiannya dianggap rumit.
Suatu perkara yang diawali dengan penyelidikan, juga tidak mesti ditingkatkan ke tahap penyidikan sebab sangat bergantung pada alat buktinya.
Ini penting dipahami sebab sebagian beranggapan, bahwa setiap perkara yang dilaporkan ataupun diadukan ke penegak hukum, apalagi jika kasus itu melibatkan publik figur harus ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Dan, lebih fatal lagi, jika yang bersuara demikian adalah mereka yang (merasa) paham dengan mekanisme berhukum. Tentu, cara berpikir hukum di atas adalah logika hukum yang keliru. Oleh karena, apabila suatu perkara tidak memenuhi minimum pembuktian, maka pasti kasus tersebut dihentikan penyelidikannya.
Demikian sebaliknya, kalau perkara memenuhi dua alat bukti yang cukup, maka harus ditingkatkan ke tahap penyidikan. Sehingga, kalau ada pemikiran bahwa semua perkara yang dilaporkan ke penegak hukum harus disidik, kita hapus saja istilah penyelidikan itu di KUHAP.
Lalu kita ganti dalam salah satu pasalnya dengan kalimat, bahwa "Semua perkara yang dilaporkan ke aparat penegak hukum harus dilakukan penyidikan, harus diadili, dan harus dihukum"
Lebih aneh lagi, sebab ada yang menyatakan bahwa "Padahal penegak hukum sudah memeriksa 20 saksi, tidak ada artinya semua itu" Kalimat itu, menandakan ketidakpahaman tentang beracara dalam hukum pidana. Dan, memang tidak memahami.
Sebab, jangankan 20 saksi, 1000 saksi pun nilainya baru satu alat bukti. Apalagi jika 1000 saksi itu, keterangan dan juga dengan alat bukti lainnya tidak bersesuaian satu sama lain, tentu lebih tidak berarti apa-apa. Ada ungkapan klasik dalam hukum "lebih baik melepaskan 100 orang bersalah daripada menghukum atau menahan 1 orang yang tidak bersalah"
Penulis berharap, kita tidak selalu mencampuradukkan antara penegakan hukum dengan berbagai macam kepentingan apalagi didasari dengan kebencian bukankah di dalam agama dikatakan, bahwa "Janganlah kamu berbuat tidak adil pada seseorang atau suatu kaum hanya karena benci, berbuatlah adil sebab keadilan itu dekat dengan ketakwaan"
Pemikiran-pemikiran yang selama ini ada di kepala kita, yang heran ketika suatu perkara dihentikan apalagi melibatkan orang-orang ternama, katanya "ada apa-apanya" Itu lebih mencerminkan diri kita seperti ungkapan hukum, "Kalau kita berpresepsi terhadap sesuatu, itu merefleksikan cerminan diri kita"
Misalnya, Anda mengatakan bahwa "Perkara tersebut dihentikan karena jangan-jangan penegak hukumnya disuap" Sesungguhnya, kalimat itu mencerminkan atau menjelaskan siapa diri Anda sebab boleh jadi, Anda senantiasa melakukannya lalu menghakimi semua orang sama.(*)