Mahasiswa Muslim dari beberarap negara di NDHU, 2023. --ft: istimewa
* Oleh: Harmita Sari
(Mahasiswa Ph.D. Program of Education, Departement of Education and Human Potentials Development, National Dong Hwa University, Taiwan & Dosen Universitas Muhammadiyah Palopo)
Beberapa hari sebelum meninggalkan Indonesia, saya dihantui kecemasan terhadap hal-hal yang akan saya hadapi di Taiwan. Kecemasan tersebut meliputi jenis makanan, cuaca, budaya, bahasa, dan masyarakat yang sudah pasti berbeda. Tentu setelah saya sampai di Taiwan, saya akan menjadi orang asing bagi masyarakat Taiwan.
Saya akan merasakan bagaimana rasanya menjadi kelompok minoritas dan saya sama sekali tidak memiliki pengalaman akan hal itu. Saya tumbuh besar di tanah Sulawesi dan saya beragama Islam.
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakatnya beragama Muslim dan hal itu membuat saya terus menjadi kaum mayoritas hingga saya dewasa. Meskipun sekali waktu saya bepergian ke luar dari pulau Sulawesi dan Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, saya tetap tidak pernah merasa diperlakukan seperti minoritas. Mungkin karena prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.
Berada dalam kelompok mayoritas dalam sebuah daerah atau tempat tentunya menyenangkan. Lingkungan sekitar yang seragam, tentu akan menawarkan hal-hal yang seragam pula. Bagi yang tidak seragam, pastilah diperhadapkan pada dua pilihan “Adaptasi dan bertahan”.
Dulu, menjadi minoritas sangatlah menakutkan – terlebih pada sejumlah negara besar. Sebut saja kaum kulit hitam, kaum Muslim (terlebih setelah peristiwa 9/11) dan kulit kuning (Asia) di Amerika yang sampai pada awal 2000-an masih banyak mendapati perlakuan diskriminasi. Ketiga kaum tersebut telah diperlakukan secara tidak manusiawi baik pelecehan secara verbal sampai pada kekerasan fisik – banyak yang sampai meninggal – dan semuanya tercatat bahkan tersiar di media massa. Tidak jarang pula kaum minoritas tidak dapat menemukan keadilan di pengadilan. Separah itulah menjadi minoritas di beberapa negara bertahun silam.
Di era modern seperti sekarang ini, keadilan bagi kaum minoritas telah berangsur membaik. Manusia telah banyak yang menyadari bahwa semua nyawa berharga dan berhak diperlakukan setara. Pola pikir manusia telah semakin maju dan menuju ke arah yang positif. Telah banyak pula komunitas yang lahir untuk melindungi hak-hak asasi manusia bagi kaum minoritas di manapun berada. Tiap kali terdapat kasus pelecehan rasial pada kaum kulit hitam belakangan ini – umumnya yang mudah terekspose seperti pada gelaran olahraga, kita akan menemui banyak orang yang mendukung dengan membawa bendera besar bertuliskan “Black Lives Matter” tidak lama setelah kasus rasis itu tersebar.
Umat Muslim juga telah dapat bepergian dengan bebas tanpa perlu cemas melalui proses administrasi yang diperumit sampai dituduh teroris. Bahkan sekarang umat Islam bisa membangun tempat ibadah di semua negara yang masyarakatnya bukan mayoritas Muslim dengan tenang. Begitupun dengan kaum kulit kuning yang sudah mendapatkan banyak dukungan moril dan wadah perlindungan untuk diperlakukan manusiawi di Amerika dan Eropa. Diskriminasi terhadap minoritas memang belum bisa dikatakan telah lenyap. Tapi harapan akan hal itu telah menyebar secara positif terhadap masyarakat dunia hari ini.
Berbekalkan fakta umum tentang kemajuan masyarakat dunia memperlakukan kaum minoritas, dan pengetahuan yang saya rasa cukup akan negara tujuan, akhirnya saya berangkat ke Taiwan untuk melanjutkan studi di National Dong Hwa University. Satu-persatu dari hal-hal yang saya cemaskan akhirnya saya temui di Taiwan seiring dengan sejalannya waktu.
Hal pertama dari daftar kecemasan saya yang saya temui di Taiwan adalah perbedaan bahasa dan suhu. Ternyata banyak masyarakat Taiwan yang tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Selain itu, selang beberapa hari setelah saya menginjakkan kaki di Taiwan, saya disambut gempa bumi yang cukup dahsyat. Hal ini juga masuk daftar kecemasan saya yaitu perbedaan letak geografis yang memengaruhi fenomena di permukaan. Beruntung hotel tempat saya di karantina (pencegahan COVID-19) kala itu merupakan bangunan anti gempa. Lalu kecemasan lain yang akhirnya saya temui adalah perbedaan makanan. Baik dari rasa dan segi kehalalannya. Kemudian, kecemasan akan kesulitan mencari masjid.
Namun, kecemasan saya akan memperoleh tindakan diskriminatif dari masyarakat Taiwan benar-benar tidak pernah terjadi. Taiwan bukanlah sebuah negara yang masyarakatnya beragama Islam. Sejauh yang saya tahu dan amati, bahkan banyak dari mereka yang tidak memeluk agama apapun. Tapi selama berada di Taiwan, saya dapat menjadi seorang Muslim seperti di negara asal saya. Umat Muslim diterima dengan baik di Taiwan dan dapat melakukan aktivitas religi tanpa perlu merasakan cemas dicap teroris atau kafir.
Sekalipun tidak jarang beberapa dari teman yang non-Muslim ataupun masyarakat mengajukan pertanyaan “Apakah kamu tidak kepanasan menggunakan pakaian serba tertutup seperti itu di musim panas?” Tapi jelas bahwa itu hanyalah didasari rasa ingin tahu karena setelah saya menjawab seadanya mengapa demikian, mereka tidak akan mendebat. Tidak hanya dari pengalaman saya, teman-teman sesama Muslim yang saya tanyai, juga mengakui bahwa mereka tidak pernah sekalipun didiskriminasi karena pakaian syar’i yang mereka kenakan.
Di kampus saya, National Dong Hwa University, pihak kampus menyediakan sebuah ruangan khusus dan cukup luas untuk dijadikan Musala bagi mahasiswa pemeluk agama Islam. Semua mahasiswa Muslim dari berbagai negara akan menjadikan ruangan tersebut sebagai pusat ibadah karena di lingkungan sekitar kampus di Zhixue, tidak ada satupun Masjid. Butuh waktu 2 jam lebih naik kereta api untuk bisa menemui sebuah Masjid di Taipe. Sangat jauh. Di setiap ruang departemen kampus juga menyediakan ruangan kecil untuk beribadah tapi pusatnya hanyalah satu ruangan yang saya sebutkan pertama.
Sekitar 30 menit dari kampus National Dong Hwa, sebuah komunitas Muslim yang dibentuk oleh campuran mahasiswa dan TKI juga telah menyewa sebuah ruko yang disulap menjadi sebuah Musala. Tempat itu juga digunakan laki-laki untuk salat Jumat, tempat kajian, juga kegiatan-kegiatan umat Muslim lainnya. Jadi, kecemasan saya ketika masih di Indonesia tentang diskriminasi agama, tidak terjadi. Padahal sebelum saya ke Taiwan, saya pernah mencemaskan tentang bagaimana saya akan beribadah di negara yang mayoritas masyarakatnya adalah non-Muslim. Saya begitu senang mendapati fakta bahwa hari ini, sekalipun saya melaksanakan salat di sudut-sudut perpustakaan, tidak ada satupun yang merasa terganggu apalagi sampai protes. Justru saya merasa masyarakat Muslim di Taiwan sangat dihargai. Bahkan banyak komunitas Muslim dan organisasi-organisasi Muslim yang diizinkan berdiri. Saya juga bergabung pada salah satu organisasi tersebut. Di organisasi itulah saya tetap bisa melakukan kegiatan-kegiatan berbasis keagamaan yang memang dibutuhkan oleh batin saya.
Dalam segi makanan, pemeluk Islam di Taiwan juga tidak perlu terlalu khawatir. Para pengusaha di Taiwan sudah sangat tahu tentang kebutuhan pemeluk Islam. Mereka tahu bagaimana menyediakan masakan halal pada pemeluk Islam. Tetapi masih perlu berhati-hati dan menanyakan makanan dan campurannya. Meski lidah Indonesia kita tetap harus menyesuaikan rasa masakan Taiwan yang cenderung hambar. Di Taiwan, semua masakan memang sudah disesuaikan takaran komposisi bumbu dan sebagainya. Takaran yang dinilai sehat bagi tubuh dan tidak berlebihan. Jika ingin memuaskan lidah, kita harus mencari sendiri warung makan yang pemiliknya adalah orang Indonesia. Namun sejauh saya telah berkelana selama ini, makanan Indonesia hanya bisa kita pesan melalui Facebook seorang penjual makanan Indonesia – yang melakukan sistem pesan-antar, atau pergi ke kota Hualien di sana terdapat sebuah warung makanan khas Indonesia yang telah lama berdiri. Sedikit kendala lain yang ditemui pemeluk Islam khususnya saya sendiri adalah ketika belanja di mini market atau swalayan-swalayan, terlebih dalam memilih makanan dalam kemasan, kita harus men-translate terlebih dahulu komposisi produk yang rata-rata berbahasa mandarin.
Satu hal yang dapat saya simpulkan berdasarkan pengalaman saya sebagai mahasiswa Muslim di Taiwan, adalah betapa aman dan terbukanya masyarakat Taiwan terhadap pemeluk Islam. Tidak ada dosen yang mengkritik pakaian seorang Muslim dan Muslimah di kelas, tidak ada lirikan sinis atau aneh dari masyarakat melihat cara berpakaian seorang Muslim. Tidak ada mahasiswa lain yang menjatuhkan pemeluk Islam. Tidak ada diskriminasi sedikitpun. Bahkan untuk bekerja paruh waktu, pemeluk Islam juga diterima dengan baik. Pernah sekali, Laoban (Bos) saya, meminta saya untuk melepas hijab ketika bekerja dengan alasan saya dapat diamankan polisi – karena ada aturan untuk tidak mempekerjakan mahasiswa (mungkin tidak boleh bekerja di jam kuliah). Beruntung Laoban saya itu memberi solusi dengan mengatur siasat mengizinkan kami bekerja menggunakan hijab berwarna hitam (agar terlihat seperti rambut). Dapat menghargai hak-hak manusia lain dan terbuka terhadap perbedaan yang ada.
Asumsi-asumsi atas rasa takut saya diawal patah karena melihat realitasnya hal itu sama sekali tidak terjadi, hal terbalik yang saya temui, hidup sebagai pelajar migran di negeri orang, hidup dengan penuh penghargaan, pada akhirnya kita bisa mereduksi gap ketika kita saling memahami, the reason and why itulah yang mengikis tindak diskriminasi yang kemungkinan terjadi. (*)