Pemilu Dalam Perspektif Kesamaan

  • Bagikan


Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

PADA suatu kesempatan, Prof. Aswanto mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan guru besar ilmu hukum Unhas Makassar memberi kuliah umum di aula Sakotae Kota Palopo. Stadium general itu dipandu oleh guru saya, Dr. Abdurahman Nur, Dosen ilmu hukum di Unanda Palopo.

Hadir pada waktu itu selain para mahasiswa, juga para pemangku kebijakan yang ada di Kab. Luwu dan Kota Palopo. Saat itu Prof. Aswanto masih menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Materi yang dipaparkannya terkait Pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019.

Momen itu mengingatkan kembali bagi saya sebab selain karena kala itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa yang rasa ingin tahunya tinggi, juga karena tahun ini diistilahkan oleh sebagian kalangan sebagai tahun politik.

Oleh karena, saya agak telat datang pada acara tersebut sehingga harus menerima kenyataan duduk pada kursi paling belakang. Usai Prof. Aswanto, memaparkan panjang lebar tentang Pemilu. Moderator membuka sesi tanya jawab.

Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sangat baik itu, dan dengan percaya diri mengacungkan tangan di antara sekian banyak orang yang mengacungkan tangannya, tanda ingin bertanya. Dan Alhamdulillah saya mendapat kesempatan pertama untuk mengajukan pertanyaan (mungkin) karena moderatornya adalah guru saya, entah itu kolusi atau karena keberuntungan semata.

"Assalamualaikum Pak Prof. Saya ingin bertanya satu hal, mengapa anggota TNI dan Polri, tidak diberi kesempatan atau hak untuk memilih dalam pemilu ?" Bukankah pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan, bahwa "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Meski UU Kepolisian dan UU TNI melarang anggotanya berpolitik praktis, tetapi bukan berarti tidak memiliki hak untuk memilih dan juga bagaimana pemahaman hukum Prof. terkait asas hukum "Lex Superior Derogat Legi Inferiori" (UU yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi) ?"

Usai mengungkapkan pertanyaan itu, tanpa pikir panjang, Prof. Aswanto mengaktifkan microfon yang ada di hadapannya dan berkata, bahwa "Kalau Anda uji materi UU itu, Anda akan menang" Jawaban itu, tidak pernah terlupakan.

Sejalan dengan itu, kata almarhum Prof. Achmad Ali, bahwa pertama-tama kita harus bedakan TNI/Polri berpolitik dan anggota TNI/Polri memiliki hak pilih dalam Pemilu. Tidak ada bedanya jika kita menganalogikan PNS atau ASN dilarang berpolitik termasuk dilarang menjadi anggota apalagi pengurus partai politik, tetapi masing-masing PNS kan memiliki hak dalam setiap Pemilu.

Yang keliru kata Prof. Achmad Ali, jika kotak suara ada di kantor militer dan kantor polisi. Mereka memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) seperti masyarakat pada umumnya. Sebab, salah satu wujud negara demokrasi adalah memiliki hak pilih yang sama bagi setiap warga negaranya.

Dan lebih keliru lagi jika anggota Polri dan anggota TNI yang jumlahnya lebih kurang satu juta personil itu, tidak diberi hak pilih dalam Pemilu sebab paling tidak, suara mereka dapat menentukan harga beras, harga minyak goreng, harga kopi, harga buku, dan seterusnya yang kesemuanya merupakan keputusan politik.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version