Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
SEBUAH kisah yang begitu menginspirasi, setidaknya bagi saya atau mungkin juga Anda yang meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Alkisah seorang bernama Ir. Sholah Atiyah pengusaha muslim yang tinggal di sebuah daerah kecil, Tafahna Al Asyrof Mesir.
Daerah kecil tersebut, menjadi kota yang terkenal di Mesir. Awalnya Ir. Sholah adalah seorang pemuda miskin di daerah itu, setelah menyelesaikan pendidikannya di bidang pertanian. Ia bersama 8 rekannya memulai bisnis unggas dan perkebunan.
Modal dari bisnis itu, diambil dari masing-masing rekannya dengan cara menjual barang-barang yang mereka punya termasuk perhiasan istri-istri mereka, rupanya Ir. Sholah tidak puasa dengan jumlah mereka yang hanya 9 orang.
Merekapun berpikir, bagaimana jika sekiranya ada tambahan partner yaitu mitra ke 10 untuk memperkuat bisnis mereka. Akhirnya Ir. Sholah mengusulkan 1 nama yaitu Allah Swt. dengan catatan, Allah Swt. menerima 10 persen dari bisnis mereka.
Dan dengan perjanjian, bahwa Allah Swt. yang akan memberi perlindungan, pemeliharaan dan perawatan dari segala wabah penyakit. Sungguh di luar dugaan, di tahun pertama bisnis mereka melejit. Kemudian di tahun berikutnya mereka sepakat, bahwa persentase untuk mitra ke 10 adalah 20 persen.
Hingga akhirnya, mitra ke 10 menerima keuntungan sebesar 50 persen dari bisnis yang mereka peroleh di tahun-tahun berikutnya. Keuntungan 50 persen tersebut digunakan oleh Ir. Sholah bersama rekannya untuk membangun sarana pendidikan mulai dari SD sampai SMA.
Oleh karena keuntungan bisnis semakin maju, Baitul Maal pun dibangun di kota kecil itu kemudian juga membangun perguruan tinggi pertama serta infrastruktur pendidikan lainnya, sehingga masyarakatnya sejahtera dan berpendidikan.
Diakhir hidup Ir. Sholah Atiyah, Mesir dikejutkan dengan lautan manusia yang ikut menghadiri pemakamannya. Dia telah berhasil mengubah kampung kecil tempat tinggalnya menjadi makmur dan sejahtera. Semua itu karena mitranya yang ke 10, Allah Swt.
Dari kisah di atas, paling tidak makna yang dapat diambil bahwa Allah Swt. sangat mengapresiasi ibadah sosial berupa sedekah. Anda bisa memerhatikan disekeliling tempat atau kota di mana Anda tinggal, belum ada orang yang bangkrut akibat senantiasa berbagi atau bersedekah.
Dan, tidak jarang kita menyaksikan banyak di antara mereka yang dulunya kaya raya, tiba-tiba jatuh miskin akibat tidak memiliki rasa empati terhadap sesamanya yang hidupnya kurang beruntung. Bukankah Nabi Muhammad saw. telah mengajarkan kepada kita, bahwa "Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya"
Bahkan kata Jalaluddin Rumi, "Musik yang diharamkan dalam Islam itu adalah ketika suara piring ketemu dengan sendok, dimainkan oleh orang kaya dan didengarkan oleh orang kelaparan" Demikian, begitu pentingnya kemanusiaan itu.
Masih banyak lagi kisah-kisah klasik yang mengajarkan, bagaimana seharusnya kita mengarungi hidup di tengah masyarakat yang semakin pluralistik terkhusus di negara kita tercinta ini. Tentu, memaknai kisah Ir. Sholah di atas tidak hanya tekstual semata.
Tetapi, juga mesti dimaknai secara kontekstual. Artinya, bahwa bukan hanya pada bidang bisnis sebagimana dikisahkan di atas, namun lebih luas dari itu. Di mana nilai-nilai kemanusiaan semestinya betul-betul diaplikasikan di tengah kemajemukan itu.
Itulah mengapa pada Pancasila digunakan kata, "Ketuhanan dan juga Kemanusiaan" bukan menggunakan kata "Tuhan dan Manusia" sebab orientasinya adalah bagaimana kita menghadirkan Tuhan di setiap langkah kita dan juga bagaimana nilai-nilai kemanusiaan seperti rasa empati selalu ada atau hadir dalam pergaulan sehari-hari. (*)