Bicara Bagus Dan Menulis Bagus

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Ada ungkapan yang sangat terkenal dari James Fenimore Coper "Bahwa merupakan kepungan sifat buruk demokrasi, untuk menggantikan hukum dengan opini publik. Ini adalah wujud yang umum, di mana sejumlah orang mempertunjukkan sifat tirani mereka"

Ungkapan di atas sudah menjadi fenomena dan dapat kita baca, kita saksikan di layar Televisi, di mana hampir semua persoalan tidak terkecuali permasalahan hukum di bawah ke ranah politik, misalnya saja, kasus korupsi yang menimpa Syahrul Yasin Limpo, katanya bernuansa politik.

Padahal mereka yang memahami peraturan, tentu mengetahui bahwa ditetapkannya seseorang sebagai tersangka harus berdasarkan dua alat bukti yang cukup sehingga dengan demikian bukan sebab kepentingan politik.

Mengapa demikian ? Oleh karena, negara kita menganut sistem pembuktian Negatif Wettelljk Bewijs Theory yang bermakna, bahwa hakim memutus perkara berdasarkan dua alat bukti yang sah, ditambah dengan keyakinannya. Jadi, meskipun terpenuhi dua alat bukti tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan seorang terdakwa, pasti bebas. Demikian pula sebaliknya.

Terkadang kita menyaksikan di layar Televisi, para komentator, berkomentar sepertinya karena ada kepentingan tertentu atau bahkan tidak jarang ada nuansa kebencian di situ. Contoh, Abraham Samad di stasiun televisi (metro TV) hari Jumat tanggal 6 Oktober 2023 pukul 19.20 wita.

Dia dengan penuh semangat, menjawab pertanyaan pembawa berita dengan mengatakan, bahwa "Sudah tiga bulan Sprindik itu dibuat oleh KPK, kenapa koq juru bicaranya Ali Fikri sepertinya takut mengumumkan siapa tersangkanya, sepertinya ada permainan, ada kongkalikong"

Bagi mereka yang memahami hukum pidana, pernyataan itu tidak mendidik sama sekali. Kenapa tidak mendidik ? Pertama, makna penyidikan itu sendiri adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Artinya, bahwa apabila suatu perkara sudah pada tahap penyidikan, memang betul sudah ada tersangkanya akan tetapi belum tentu serta merta diketahui siapa tersangkanya, itulah sebabnya digunakan terminologi "Guna menemukan tersangkanya" sebagimana pasal 1 angka 2 KUHAP.

Kemudian penggunaan frasa "Ada permainan, ada kongkalikong" Bagi saya adalah merupakan fitnah dan sebenarnya merefleksikan cerminan diri sang pembicara sebab dalam ilmu kejahatan dikatakan, bahwa "Kalau kita berpersepsi terhadap sesuatu, itu merefleksikan cerminan diri kita"

Berkomentar di media, itu sah-sah saja namun kita perlu mendudukkan hukum sebagaimana mestinya atau dengan kata lain memberikan pemahaman hukum yang baik dan benar kepada pemirsa. Bukankah hukum itu bersifat netral ?

Saya teringat kalimat yang sangat baik yang pernah disampaikan oleh Prof. Saldi Isra, bahwa "Ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang sarjana hukum, apa dua hal itu ? Yang pertama, bicara bagus dan yang kedua, menulis bagus."

Bicara bagus, adalah sesuai atau berdasarkan dengan fakta hukum bukan opini apalagi dilandasi dengan kebencian. Seorang pakar hukum berbicara di media harus mendudukkan diri sebagai pakar hukum, jangan seperti politisi atau artis yang mencari dukungan permisa atau karena ingin populer.

Untuk itu, kita berharap para praktisi dan para pakar hukum yang selalu muncul dan berkomentar di layar Televisi dapat memberi pemahaman hukum yang baik dan benar kepada masyarakat agar tidak menimbulkan prasangka negatif terhadap sebuah persoalan.

  • Bagikan

Exit mobile version