Oleh: Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Belakangan ini ramai pemberitaan di media dugaan korupsi di Kementerian Pertanian Republik Indonesia, itu karena diduga melibatkan orang nomor satu di Kementerian tersebut, dan bukan kali ini saja menteri terjerat kasus serupa, sehingga menurut saya tidak mengherankan.
Berdasarkan pemberitaan bahwa saat penggeledahan di rumah dinas menteri pertanian. Penyidik KPK membawa serta mesin hitung uang dan alhasil ditemukan uang tunai sebesar tiga puluh miliar. Selain itu, juga ditemukan dua belas pucuk senjata api.
Artinya, bahwa sebelumnya penegak hukum sudah mengendus, mengetahui di rumah itu tersimpan uang asal kejahatan dengan jumlah besar. Lantas, mengapa orang korupsi, apakah ancaman sanksi yang ada dalam Undang-undang tindak pidana korupsi tidak cukup membuat mereka takut ?
Dari beberapa literatur yang ada, bahwa salah satu penyebab orang korupsi itu karena keserakahan. Hal ini sudah digambarkan oleh Nabi Isa a.s., bahwa "Orang yang mencari dunia itu laksana orang yang meminum air laut. Semakin ia meminum terus semakin haus dan serakah. Ia akan terus minum, dan sampai mati dia tidak akan pernah segar."
Apa yang disabdakan oleh Nabi Isa a.s. di atas, sedapat mungkin tidak hanya dimaknai dengan menggunakan pendekatan tekstual semata melainkan juga dengan pendekatan kontekstual. Sehingga meskipun gaji sudah besar, jabatan tinggi, rumah bagus, mobil mewah bukan jaminan seseorang tidak melakukan praktik korupsi.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, mobil mewah yang digunakannya adalah hasil dari kejahatan dan lebih memalukan lagi sebab menurut Wakil Ketua KPK Johanis Tanak diduga uang rakyat itu digunakan untuk menyicil mobil Alphard dan membayar cicilan kartu kredit.
Ancaman hukuman penjara bagi para pelaku dugaan tindak pidana korupsi rupanya tidak begitu menakutkan sebab boleh jadi, mereka sudah terbiasa menyaksikan di layar TV atau membaca di media cetak, bahwa koruptor yang berada dalam penjara masih bisa menikmati kehidupan yang nyaman.
Dengan berbagai macam fasilitas, layaknya berada di rumah sendiri, dan bahkan boleh keluar dari lembaga pemasyarakatan dengan macam-macam alasan. Korupsi bukan hanya kejahatan ekstraordinary, namun juga merampas hak-hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik.
Korupsi itu, ibarat benalu yang menggerogoti pohon hingga akhirnya pohon itu mati seiring dengan matinya benalu itu. Demikian halnya sebuah negara, di mana para koruptor menggerogoti negara itu dengan cara menyelewengkan uang rakyat, yang lama kelamaan negara akan ambruk seiring dengan ambruknya para koruptor itu.
Jadi, tidak heran kalau Mengkopolhukam Prof. Mahfud MD pernah mengatakan bahwa, hukuman yang pantas bagi para koruptor itu adalah hukuman mati. Tentu pernyataan itu tidak sunyi dari kritikan, utamanya mereka yang anti pidana mati.
Akan tetapi, saya memiliki pandangan lain bahwa ada baiknya dan (mungkin) akan sedikit memberi efek jera serta dapat mengedukasi yang lain agar tidak melakukan hal serupa jika sekiranya penjara bagi para koruptor yang merugikan keuangan negara dengan jumlah yang terbilang fantastis, dibuatkan semacam aquarium besar dan diletakkan di dalam mall.
Sehingga, pengunjung mall dapat dengan mudah melihat mereka yang sudah menggasak uang milik rakyat. Selain itu pula, masyarakat dapat ikut serta mengontrol keberadaannya agar tidak ada ruang untuk keluar dari penjara dengan berbagai macam alasan.(*)