Jokowi, Etika, Moral, dan Pengkhianatan

  • Bagikan

Acram Mappaona Azis
(Pengamat Politik dan Hukum)

KITA tidak sedang membicarakan dominasi partai politik, yang hari ini harus dimaknai sebagai perangkat demokrasi.

Kekuasaan politik, atau sebut saja daulat rakyat hari ini, harus dipahami sebagai mandatory yang diserahkan kepada partai politik.

Apakah partai politik masih berisikan oligharki, korupsi, nepotisme, atau hal buruk yang dilekatkan, tetaplah partai politik adalah daulat konstitusi untuk rakyat.

Jokowi style menguatkan peran partai politik, dengan menikahkan partai politik dengan sekelompok masyarakat yang belum mendapatkan ruang berekspresi di partai politik.

Hal ini bukan hal mudah, sekaligus tidak terlalu sulit, jika menggunakan tangan besi, abaikan relawan, fokus ke partai politik.

Tapi Jokowi style memilih menikahkan dan menyatukan, sekaligus menguatkan, bahwa relawan butuh partai politik, dan partai politik tidak boleh angkuh terhadap relawan.

Bagaimana dengan etika dan moral? Apakah pantas menyebut Jokowi tidak etis atau tidak bermoral dengan menjadikan anak dan menantu sebagai Walikota? Bahkan menjadikan anaknya sebagai Calon Wakil Presiden RI di usia yang masih dianggap belia?

Menurut hemat saya, itu bukanlah suatu yang melanggar etika dan moralitas, melainkan wujud perlawanan terhadap arogansi dan oligharki partai, yang belum bertransformasi dengan jaman.

Dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, dengan drama yang dipertontonkan, hal tersebut bukanlah suatu tesis yang menunjuķkan hukum telah gugur di pemerintahan Jokowi.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menjawab kebutuhan hukum, yang tidak dapat disegerakan melalui suatu proses legislasi. Dan itu bukan pertama kali dilakukan MK dalam melahirkan norma baru dalam undang-undang.

Jadi, peristiwa politik yang terjadi dalam pekan ini, merupakan suatu proses biasa, selama ditafsirkan bahwa tidak ada kepentingan politik yang dihalangi oleh suatu kekuasaan.

Padahal, jika menggunakan kewenangan, Presiden Jokowi bisa membekukan Partai Politik yang terkait dengan perbuatan tercela, yaitu korupsi. Apapun tafsirnya, kewenangan tersebut bisa dilakukan, tapi tidak digunakan.

Apakah Pak Jokowi dan keluarga harus taat pada pertai yang melahirkannya? Hal ini perlu pendalaman lebib lanjut, ketika seorang Presiden diperhadapkan oleh marwah Pemerintah, yang juga tidak sepantasnya disebutkan sebagai petugas partai, yang disampaikan di ruang publik.

Apakah selama ini Pak Jokowi tidak berbuat untuk Partai atau memperoleh fasilitas partai itu secara gratis?

Ini perlu dijawab oleh Pak Jokowi sendiri. Apakah etis dan bermoral menghitung-hitung segala sesuatu yang telah diterima dan diberikan?

Semua ini hanya akan terjawab jika Pak Jokowi mau menceritakan semua. Apakah tetap menjadi boneka untuk jadi mainan partai, atau justeru menjadi seorang Pemimpin yang sedang memberikan pesan, bahwa Partai Politik sudah seharusnya tetap memberikan edukasi terbaik, sebagai mandatory daulat rakyat. (**)

  • Bagikan

Exit mobile version