Eskalasi Politik Jelang Pemilu 2024

  • Bagikan

* Oleh: Ivan Palampuri
(Ketua Umum Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Kolaka Utara / Hippermaku Cabang Palopo)

Pemilihan Umum ( Pemilu ) adalah urat nadi demokrasi, tanpa perlindungan suara rakyat dalam Pemilu, demokrasi akan mati Vox Populi Dei ( Suara Rakyat adalah suara Tuhan ). Salus Populi Suprema Lex ( Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi dalam negara ).

Ketika Kita sepakat memahami Pemilu sebagai sarana siklus pergantian Kepemimpinan dan untuk membentuk Tata kelola Pemerintahan yang baik dan berkualitas, maka Pemilu patutlah dipandang memiliki peran strategis bagi masyarakat dalam menentukan Pemimpinnya. Sehingga, konsekuensi betapa penting peranan publik dalam perhelatan Pemilu adalah hal yang tak ternafikan. Penyelenggaraan Pemilu tidaklah bisa dilepaskan dari peran publik, Pemilih dan warga negara, sebab sesungguhnya publiklah yang memiliki kedaulatan, yang karena kesepakatan bersama tersebut justru memberikan kedaulatannya kepada penyelenggara negara, sehingga peran publik, pemilih dan warga negara tidak bisa diabaikan atau bahkan terlupakan.

Demokrasi telah memberikan porsi kekuasaan kepada rakyat yang besar dalam menjalankan kekuasaan negara, namun kekuasaan yang tanpa batasan akan rawan menjadi Tirani jikalau tidak dijalankan sesuai mekanisme rotasi kekuasaan dalam bingkai proses demokratisasi yang tepat, diantaranya dilahirkan dari pelaksanaan demokrasi yang dijalankan secara bergantian dan dilaksanakan melalui mekanisme Pemilu demi pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara.

Aristoteles dalam bukunya The Politics, menjelaskan bahwa memerintah dan diperintah secara bergantian adalah salah satu elemen dalam kebebasan, gagasan keadilan numerik dalam demokrasi adalah kesetaraan numerik, bukan kesetaraan berdasarkan jasa, bagi Aristoteles, seseorang banyak dipastikan memiliki kekuasaan dan apapun yang diputuskan mayoritas, maka itu sebagai Keputusan final dan menjadi keadilan, keputusan mayoritas merupakan keputusan tertinggi.

Rotasi kekuasaan identik dengan demokrasi prosedural, yakni memaknai demokrasi sebagai mekanisme yang memberikan peran besar kepada rakyat dalam menentukan pilihan politiknya sendiri, rakyat diberikan ruang untuk menentukan keterpilihan wakil-wakilnya yang akan menduduki jabatan politik tertentu, pada posisi inilah rakyat mengekspresikan kehendak dan kekuasaannya melalui mekanisme Pemilu, dimana demokrasi memberikan ruang persaingan bagi Partai Politik dan atau Para Calon Pemimpin politik dalam meyakinkan rakyat dalam menentukan pilihannya untuk jabatan Pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

Rotasi kekuasaan mutlak dilakukan dan menjadi prasyarat berjalannya sistem Ketatanegaraan secara demokratis, namun rotasi kekuasaan harus pula dilaksanakan melalui mekanisme demokratis dan bukan sekedar prosedur demokrasi semata, kedaulatan rakyat harus dijunjung tinggi, kebebasan dan kesetaraan rakyat dalam menentukan pilihannya haruslah dimaknai terbebas dari manipulasi dan intimidasi, oleh karenanya, harus dipastikan bahwa suara rakyat adalah pengakuan eksplisit dan formal melalui Pemilihan Umum sebagai kehendak dari rakyat.

Sehingga Pemilu yang secara konseptual teoritik adalah ajang perebutan kekuasaan yang sah dan konsekuensial menggantikan cara lama dalam memilih Pemimpin dengan peperangan misalnya, persaingan dengan cara yang tidak manusiawi, siapa yang kuat maka dia yang menang adalah hal yang tak ternafikan.
Karena Pemilu pada dasarnya adalah pergantian Kepemimpinan secara teratur, upaya mencegah kekerasan dalam politik serta memberikan jaminan tegaknya keadilan dan kesetaraan dalam Pemilu, sehingga karenanya Penyelenggara Pemilu ( KPU, Bawaslu dan DKPP ) wajib memberikan jaminan dan kepastian hukum dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, yang tidak hanya misalnya dalam pelaksanaan sosialisasi tahapan, tetapi juga mengedukasi Pemilih untuk berpartisipasi dalam setiap tahapannya.

Sehingga teori filsafat hukum yang berkenaan dengan Pemilu akan terjawab, terkait hal Epistemologi Yuridis dari Pemilu bahwa bagaimana seharusnya Pemilu dipahami, Ontologis Yuridis tentang Pemilu bahwa apakah yang dimaksud dengan Pemilu serta tentang Aksiologis Yuridis sebagai hakikat dari Pemilu akan terjawab. Jawaban atas ketiga dasar persoalan pokok dalam filsafat Yuridis Pemilu sebagai jalan sunyi demokrasi Indonesia tersebut tidak dapat ditemukan di luar sistem hukum, diluar jiwa bangsa ( volkgeist ) khususnya sistem hukum yang secara sederhana adalah sistem yang telah ditentukan dalam Undang Undang Pemilu.


Pemikiran filosofis di atas, berorientasi pada doktrin Filsafat Keadilan Bermartabat ( The Dignified Justice Philosophy ) sebagai orientasi dalam memahami Pemilu serta realisasi atau implementasi yang benar tentang Pemilu. Sebagai sebuah proses politik, maka nilai-nilai filosofis Pemilu yang mesti terpenuhi dalam sistem demokrasi adalah kebebasan dan kesetaraan dalam melaksanakan hak untuk dipilih dan memilih, yang mesti dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat tanpa tekanan dan pembatasan yang dapat menghambat ekspresi kehendak dalam meraih simpati rakyat.

Hal lain, penyampaian visi, misi dan program peserta Pemilu merupakan pilihan bebas rakyat sebagai Pemilih dalam mengakses informasi secara leluasa dalam prinsip kesetaraan berdemokrasi. Oleh karena demokrasi bukanlah sekedar prosedur pengambilan keputusan an sich, namun demokrasi merupakan sistem nilai, dimana kehendak rakyat bisa terwujud, tidak sekedar digunakan sebagai klaim suara rakyat, sehingga karenanya, demokrasi dalam Pemilu semestinya dilengkapi dengan sistem hukum yang terbebas dari intervensi kekuatan politik dan mampu memberikan jaminan kontrol hukum atas pelaksanaan kekuasaan dan bertindak, karenanya, proses politik dalam upaya mewujudkan Pemilu yang bermartabat harus diletakkan dalam bingkai konstitusi, tindakan pelanggaran hukum mesti diperhadapkan pada proses hukum Pemilu, sehingga lahir mekanisme sanksi secara konstitusional pula.

Merawat demokrasi dalam perhelatan Pemilu yang bermartabat idealnya diikuti dengan tumbuh kembangnya penalaran publik dalam memahami Pemilu, sentimentalisme publik semisal penggunaan isu SARA hanya akan menghasilkan turbulensi politik yang biasanya memicu tumbuhnya sumber-sumber konflik demi tujuan kekuasaan semata, sehingga dibutuhkan penalaran sebagai ikhtiar gigih untuk mengatasinya di ruang-ruang publik sebagai panggung komunikasi politis dan partisipasi demokratis dalam bingkai negara hukum. Di sisi lain, ruang-ruang publik tersebut semestinya diisi dengan pertarungan ide dan gagasan, bukan sikap sentimental ataupun ujaran kebencian, sehingga kelak pertarungan ide dan gagasan tersebut tidak tersandera dengan hegemoni politik identitas oligarki kekuasaan semata.

Sebagai sebuah proses perhelatan demokrasi, Pemilu semestinya dilaksanakan secara demokratis dalam setiap perhelatannya, sebagai sebuah ekspresi implementatif kedaulatan rakyat, bukan semata simbolisme yang kerap diteriakkan di ruang-ruang sunyi demokrasi atas nama keadilan, kedaulatan dan kehendak rakyat, sehingga kelak pemberian mandat atau legitimasi dari rakyat adalah implementasi ideal kepercayaan rakyat yang tidak tersisihkan dari pergumulan kepentingan kelompok di lorong-lorong demokrasi nan hampa.

Harapan lainnya, Pemilu 2024 mendatang kiranya berlangsung secara bermartabat berdasar atas nama kedaulatan serta kepentingan rakyat yang dimandatkan kepada Peserta Pemilu, untuk mewujudkannya, tidak hadir begitu saja, dibutuhkan sinergitas semua elemen bangsa, karena tanpa sinergitas Peserta Pemilu, Pemilih, Penyelenggara Pemilu, Pemerintah, Penggiat Pemilu dan stakeholder lainnya, maka Pemilu yang diidam-idamkan hanya akan menghias jalan sunyi demokrasi kebangsaan Kita.

Berpijak atas harapan ideal tersebut, maka semua elemen bangsa mestinya mengedepankan kesantunan berpolitik dengan berlandaskan nilai-nilai kemaslahatan, dengan menjadikan kepentingan rakyat sebagai yang utama dan prioritas menuju kebaikan dan kesejahteraan yang menjadi ikhtiar dan fokus orientasi semua pihak, manuver-manuver politik yang destruktif tidak boleh ditolerir, kondusifitas negara harus tetap terjaga, sebagai modal semua elemen Anak Bangsa dalam melaksanakan aktifitas-aktifitas produktif dalam mewujudkan kesejahteraan.

Akhirnya, eskalasi dinamika politik jelang Pemilu 2024, tidak semestinya melahirkan pertentangan ataupun mereduksi sistem demokrasi yang sudah terawat dengan baik selama ini, sebaliknya harus mampu menampilkan wajah-wajah demokrasi yang lebih indah dan elegan serta lebih berhasil guna dari sebelumnya dengan menjadikan dinamika politik kekinian sebagai faktor yang ikut mendorong lahirnya Pemilihan Umum yang bermartabat sebagai bagian dari upaya merawat demokrasi keIndonesiaan dalam bingkai Pemilihan Umum. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version