PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID MAKASSAR -- TRAH Gowa, Tallo, Sanrobone (GTS) menggelar dialog politik bertajuk pendidikan, adat dan budaya di salah satu Hotel di Makassar, Ahad, (3/12/2023).
Dalam dialog itu hadir sebagai pembicara yakni Ketua Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Sulsel Ali Mallombasi Daeng Nyengka (YM Kr. Sanrobone), Tumabicara Butta Ri Gowa Andi Syamsuddin Dg Mattawang Karaeng Segeri, Caleg DPR RI Dapil 3 Sulsel Nomor 3 Partai Gerindra, Aisyah Tiar Arsyad, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas Supratman dan Ketua Umum TRAH GTS Suwadi Idris Amir Dg Mattawang. Acara ini dipandu oleh Sakral Wijaya.
Ketua Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Sulsel Ali Mallombasi Daeng Nyengka dalam forum itu menyampaikan sejumlah keluhan terkait dengan pegiat budaya yang kurang utamanya dalam segi pendanaan.
“Alokasi pendanaan kepada para pegiat budaya yang mungkin ada tapi tidak menetes. Harapan kami utamanya pendanaan. Peningkatan pariwisata khususnya Sanrobone tidak pernah diekspos keluar. Termasuk makam-makam,” kata Sanrobone.
Hal senada juga disampaikan Tumabicara Butta Ri Gowa Andi Syamsuddin Dg Mattawang Karaeng Segeri.
Dia menyebut adat dan budaya tidak lagi jadi perhatian pemerintah. Dia berharap agar ada wakil rakyat yang bisa membawa isu budaya dan adat seperti yang digaungkan Caleg DPR RI Dapil 3 Sulsel Nomor 3 Partai Gerindra Aisyah Tiar Arsyad.
Dia mencontohkan ritual maulid saja selama ini sulit digelar di Istana. Harus di masjid.
Olehnya itu, Andi Syamsuddin bahkan memberikan gelar kepada Aisyah Tiar Arsyad Daeng Takontu. Dia berharap agar bisa jadi seperti I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya.
“Mudah-mudahan kalau beliau duduk dapat memperhatikan budaya khususnya di Kabupaten Gowa, Tallo dan Sanrobone,” tuturnya.
Mendengar keluhan itu, Caleg DPR RI Dapil 3 Sulsel Nomor 3 Partai Gerindra Aisyah Tiar Arsyad menyampaikan bahwa memang adat dan budaya penting untuk dilestarikan.
Generasi muda saat ini harus mempelajari sejarah. Dia mencontohkan makam raja-raja sebagai salah satu bukti sejarah yang harus tetap dijaga.
“Kalau dikelola dengan baik, itu juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Tidak mengganggu cagar budaya. Bisa ada tempat makan, tempat menjual kerajinan tangan. Itu menjadi suatu hal yang menjadi buah pikiran saya,” tuturnya.
“Tidak bisa dipungkiri modernisasi ini memberikan hal positif, tapi kita juga harus pikirkan para pelaku budaya. Saya sempat berpikir kenapa kita nggak buat drama rakyat, karikatur, cerita yang bisa dilihat anak-anak,” tambahnya.
Hal ini kata dia memang membutuhkan anggaran dan perhatian ketika ada keinginan.
“Kenapa harus buat film, saya kira penting, karena cara mengkomunikasikan budaya itu bisa melalui film. Itu bisa jadi perhatian pemerintah pusat,” jelasnya.
“Paling penting adalah komunikasi. Tentunya bukan bicara perbedaan. Tapi bicara bagaimana budaya ini bisa menjadi pengikat,” ucapnya.
Aisyah menegaskan, jika dirinya dipercaya dan diamanahkan untuk terpilih di Senayan, pokok-pokok adat dan budaya itu akan diperjuangkan.
“Bagaimana kita bisa mendorong anggaran ini pada pelaku budaya. Sedih rasanya ketika kita lebih suka belajar sejarah negara lain dibandingkan dengan sejarah negeri kita sendiri,” tandasnya.
Sejak kecil, Aisyah suka belajar sejarah. Karena menurutnya, sejarah merupakan benang merah antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Dikatakan literasi perlu dikemas dalam bentuk modern. Itu menjadi kombinasi yang sangat baik.
Ditegaskan, sosial budaya ini erat dengan politik. Suatu hal yang tidak bisa dipindahkan. Perlu memang ada orang yang bisa kita arahkan sebagai perpanjangan tangan.(int/idr)