Bahan Pangan Murah Untuk Rakyat, Akankah Terwujud?

  • Bagikan

* Oleh: Rahmawati, S.Pd (Aktivis Komunitas Muslimah Ulil Albab Kota Palopo)

Miris, kembali para ibu harus memutar otak lebih keras demi bisa membuat dapurnya tetap mengepul. Bagaimana tidak, dalam beberapa pekan terakhir sejumlah bahan kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga yang cukup spesifik. Sementara pendapatan para suami cenderung tetap bahkan ada yang menurun.

Mengutip Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) harga tiga jenis cabai sama-sama mengalami kenaikan. Rinciannya, cabai merah keriting dengan harga rata-rata Rp 69.150 per kilogram (kg). Lalu, Cabai Rawit Hijau dengan rata-rata Rp 68.000 per kg, dan Cabai Rawit Merah dengan rata-rata Rp 90.000 per kg.

Kemudian, yang mengalami tren kenaikan juga adalah gula pasir. Harga gula pasir dijual dengan rata-rata Rp 18.000 per kg. Sementara, gula pasir lokal Rp 16.500 per kg. Diketahui, pemerintah sebelumnya sudah menaikkan harga acuan pembelian (HAP) gula pasir dari Rp 14.000 menjadi Rp 16.000 per kg. Hal yang sama juga untuk beras kualitas medium masih dijual Rp 13.000 per kilogram (kg) padahal harga eceran tertinggi (HET) beras medium dipatok Rp 10.900 per kg (https://www.liputan6.com/bisnis)

Tak hanya para ibu, kenaikan harga pangan juga dikeluhkan oleh para pedagang kecil. Meningkatnya harga pangan membuat omset penjualan mereka semakin berkurang. Dan bisa dipastikan pendapatan mereka pun makin berkurang.

Sungguh sebuah ironi, mengingat Indonesia adalah negeri yang telah Allah Swt. berkahi dengan berlimpahnya SDA, termasuk pangan. Tanahnya yang subur dan lautnya yang luas terhampar berbagai jenis pangan. Namun, sungguh ironi yang memilukan, kini negeri kaya SDA rakyatnya kelaparan akibat harga pangan yang terus naik.

Lantas, apa yang menyebabkan harga pangan terus naik? Bagaimana mewujudkan stabilitas harga pangan dan keterjangkauan pangan bagi rakyat keseluruhan?

*Penyebab Harga Pangan Naik*

Banyak faktor yang menyebabkan harga pangan naik, mulai dari persoalan teknis hingga politis. Setidaknya ada lima penyebab.

Pertama, iklim ekstrem. Kemarau panjang menjadikan produktivitas tidak optimal dan akhirnya stok menurun. Namun demikian, seharusnya persoalan iklim tidak menjadi kendala besar sebab meskipun di suatu daerah ada yang mengalami penurunan, produksi masih bisa dipasok dari daerah lain.

Kedua, persoalan luas lahan pertanian yang kian menurun. Persoalan ini lebih pada persoalan politis sebab luas lahan yang kian menurun lebih besar disebabkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur yang ambisius tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan ruang hidup rakyat.

Alhasil, banyak sawah dan perkebunan rakyat yang tergusur hanya untuk membangun infrastruktur yang nilai kebermanfaatannya tidak sebanding dengan kerusakan yang diperoleh.

Ketiga, persoalan keterbatasan sarana produksi pertanian, mulai dari benih hingga permasalahan subsidi pupuk. Petani kian sulit mendapatkan benih karena harganya mahal sebab penguasaan swasta terhadap saprotan makin besar. Data dari Walhi menunjukkan, 90% benih saat ini hanya dikuasai oleh lima perusahaan besar, padahal 60% keberhasilan tanaman ditentukan oleh benih.

Keempat, kebijakan impor. Dalam jangka pendek, impor mungkin bisa menjadi solusi atas kelangkaan pangan. Namun kebijakan impor harus penuh perhitungan sebab dalam jangka panjang dapat membahayakan kedaulatan pangan negara.

Seharusnya, negeri yang kaya akan SDA bisa mandiri dalam mengelola pangannya, tidak tergantung dengan impor. Derasnya impor akan mematikan gairah petani untuk produksi, menjadikan negara bergantung padanya impor, dan pada gilirannya dapat mengikis ketahanan pangan dan kedaulatan pangan Indonesia.

Jika sudah bergantung pada impor, stabilisasi harga pangan pun kian tidak menentu. Keterjangkauan harga pangan pun kian mahal sebab yang mengendalikan harga bukan lagi penawaran dan permintaan, melainkan kartel perusahaan besar.

Kapitalistik Neoliberal

Melihat faktor terbesar naiknya harga pangan adalah persoalan politis, patut kiranya kita mengevaluasi konsep ekonomi yang bercorak kapitalistik neoliberal yang menjadi platform tata kelola negeri ini. Sistem inilah yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan tingginya harga pangan.

Pertama, sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam mengurusi umat. Sistem ekonomi ini memosisikan negara sebagai sebatas regulator, sedangkan seluruh pengurusan umat dialihkan pada swasta. Jika sudah oleh swasta, seluruh orientasi pengaturannya tentu berdasarkan profit semata. Korporasi hanya bicara mengenai keuntungan melimpah, tidak peduli ada sebagian rakyat yang kekenyangan, sedangkan yang lainnya mati kelaparan.

Regulasi yang dibuat pemerintah pun pada akhirnya malah menguntungkan pengusaha, alih-alih mengatur agar rakyat mendapatkan haknya dengan mencegah monopoli dan hegemoni. Pemerintahan demokrasi justru berkongkalikong dengan korporasi.

Kedua, konsekuensi dialihkannya pengurusan umat pada swasta akan melahirkan para mafia pangan. Merekalah yang menguasai hulu hingga hilir persoalan pangan, mulai dari penguasaan lahan hingga penjualan retail. Alhasil, lapangan pekerjaan kian terimpit, upah kian kecil, sedangkan harga kebutuhan kian mahal.

Oleh karena itu, bagai mimpi pada siang bolong berharap agar harga pangan menjadi murah dalam sistem hari ini. Tata kelolanya yang bercorak kapitalistik neoliberal dan penguasanya yang abai terhadap nasib rakyatnya menjadi paket komplit dalam menciptakan penderitaan rakyat.

*Stabilisasi Harga dan Pangan Murah Niscaya dalam Islam*

Melihat akar masalahnya terletak pada tata kelola dan penguasa abai, sudah selayaknya keduanya digantikan dengan Islam yang terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pertama, Islam akan mengembalikan fungsi sahih negara, yaitu sebagai raa’in (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat). Fungsi sahih ini hanya ada pada sistem pemerintahan islam, sedangkan sistem pemerintahan demokrasi akan memustahilkan kedua fungsi ini berjalan, apalagi secara optimal.

Rasulullah saw. menegaskan, “Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Dari hadis di atas jelas bahwa penguasa adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan umat, terutama kebutuhan pangan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Islam akan memastikan agar seluruh laki-laki—sebagai penanggung jawab nafkah keluarga—mendapatkan pekerjaan layak sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik.

Dalam hadis tersebut pun dijelaskan bahwa pemerintah wajib melindungi warganya, termasuk ancaman hegemoni ekonomi. Sistem Islam tidak akan membiarkan korporasi mana pun menguasai rantai penyediaan pangan rakyat yang itu dapat menzalimi rakyat.

Kedua, tata kelola pemerintahan Islam menjadikan negara mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas harga. Misalnya, dengan menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan optimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Impor memang tidak dilarang, asal sesuai dengan ketentuan syariat.

Ketiga, hukum sanksi akan tegas bagi siapa saja yang melakukan kecurangan, seperti penimbunan, praktik riba, kartel. Inilah yang dapat mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Dalam system Islam, ada yang disebut sebagai Kadi Hisbah yang bertugas mengawasi tata niaga di pasar agar sesuai syariat.

Khatimah

Penantian pada terwujudnya pangan murah akan sangat sia-sia selama masih ada dalam sistem yang bercorak kapitalistik neoliberal. Sistem ini yang justru menjadikan rakyat negeri yang berlimpah SDA ini menjadi tidak sejahtera. Sudah selayaknya menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang tegak dalam sistem pemerintahan Islam agar keberkahan dan kesejahteraan dapat segera tercapai. Wallahua'lam. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version