Oleh : Dr. Dandi Darmadi, S.IP.,M.AP
Dosen FISIP Universitas Bhayangkara Surabaya
Kurang dari sebulan lagi perhelatan Pemilihan Umum Presiden dan Legislatif akan terlaksana. Sebagaimana lazimnya kita dalam menyambut pesta perkawinan, semakin dekat hari-H maka stadium perhatian dan kesibukan semakin tinggi. Begitupula dengan Para Calon presiden dan Legislatif dari tingkat Daerah sampai Pusat beserta dengan Tim sukses atau tim pemenangannya yang sedang dalam penggunaan mesin politik maksimum.
Tim sukses secara sahih aktif dan aktual bergerak mendulang suara untuk kandidat mereka, begitupula masyarakat kita yang turut hadir dan aktif memadatkan ruang-ruang perdebatan dan diskusi baik di tongkrongan, warung kopi, sosial media bahkan grup whatsapp keluarga. Iklim tersebut tentu dikali dengan banyaknya calon legislatif yang ikut berkontestasi, sehingga muncul berbagai adu argumen, gagasan, diksi, gimik, mitos, cocokologi (confirmation bias) dan hal unik lainnya.
Namun ternyata ada juga kelompok yang memang berlepas diri dari menghangatkan iklim politik pada ruang-ruang publik tersebut, yang dimana hal ini terjadi secara bertingkat mulai dari yang pertama, tidak peduli dengan perdebatan siapa yang paling kapabel, kedua tidak peduli dengan gagasan atau visi misi calon yang ada, sampai yang paling tinggi adalah tidak peduli untuk memilih. Tentu tindakan tersebut bisa saja dibangun diata alasan-alasan yang rasional ataupun irasional.
Keadaan hari ini merupakan tantangan besar yang tidak hanya bagi penyelenggara mampu tetapi oleh seluruh elit politik untuk berkecukupan memproduksi iklim politik yang sejuk, karena jika selama 68 tahun kita melangsungkan kontestasi politik seperti ini dan masih sama saja yaitu tingginya Fanatisme dan Apatisme politik maka hemat penulis, kedepan pun akan sama. Fanatisme Politik menganggap kontestasi hari ini adalah pertarungan hidup dan mati yang seolah-olah jika ini tidak berbuah kemenangan maka tidak ada lagi jalan hiudp selanjutnya, sehingga tidak sedikit cara-cara berpikir seperti ini berujung pada kekerasan atau yang paling rendah adalah caci maki yang tidak berbudi.
Begitupula dengan apatisme politik, yang mirisnya juga hadir di generasi muda. Cara berpikir yang menganggap memilih atau tidak memilih tidak akan memberi pengaruh dan perubahan nasib bagi mereka atau as the wind blows.
Padahal sesungguhnya kontestasi politik hari ini bertujuan menciptakan dan menghidupkan demokrasi yang lebih dewasa, karena politik ini adalah objek yang netral tidak ada keberpihakan pada apapun. Ketika politik coba untuk di adopsi dalam kelompok masyarakat maka diperlukan modalitas atau jembatan yang tepat, karena bagaimana kondisi yang tercipta di masyarakat akan sangat bergantung pada bentuk dan warna jembatannya. Senada dengan itu Seperti yang dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau bahwa, 'demokrasi itu buah yang bagus untuk pencernaan. Tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya’.
Untuk menjadi lambung yang sehat di tahun 2024 ini memang memerlukan upaya yang tidak kecil dan harus diupayakan oleh seluruh elemen negara, baik itu pemimpin, kontestan, tim sukses, elit politik, akademisi, ulama dan tokoh masyarakat. Berupaya dalam mewujudkan tahun politik yang damai, subtantif dan etis bukan berarti membatasi orang untuk membicarakan politik dan menggali gagasan kandidat, akan tetapi tidak mengisi ruang-ruang publik dengan narasi-narasi yang menyesatkan, dengki dan hoax.
Ruang publik terhadap gagasan dan ide politik tetap harus disediakan, demi untuk menghilangkan frustasi politik kelompok-kelompok apatis terhadap kontestasi kali ini. Penulis yakin dengan penciptaan ruang publik yang luas terhadap diskusi dan informasi terkait gagasan dan ide politik secara subtantif dan etis maka kontestasi politik 2024 ini akan kita lalui dengan meningkatnya partisipasi politik dari apatisme dan bertransformasinya fanatisme politik kepada rasionalitas politik. (*/**)