Lukman: Kerugian Dihitung Secara Total Loss
PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, PALOPO -- Pengamat hukum senior Tana Luwu, Lukman S Wahid SH, memberikan penjelasan detail terkait kisruh pengadaan dua mobil sampah dan tiga bak sampah tahun 2021 di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palopo.
Dari perjalanan kasus tersebut, Lukman menarik kesimpulan bahwa bukan mobilnya yang bodong melainkan surat-suratnya yang bodong.
Jika dilihat dari sisi legalitas bukti kepemilikan, karena kendaraan sampah tersebut tidak dilengkapi dengan surat-surat maka sepanjang semuanya (surat-surat) tidak ada, maka kendaraan tersebut harus dipandang sebagai barang illegal.
Karena barang dapat dipandang barang illegal (tidak dilengkapi surat surat yang sah) maka seharusnya belum dapat dicatat sebagai aset negara atau asset daerah.
"Karena belum dapat dicatat sebagai aset negara/daerah maka harus dianggap belum pernah ada atau tidak ada sehingga kerugian negara dapat dihitung secara total loss," kata Lukman, kepada Palopo Pos, Ahad, 14 Januari.
Namun demikian, sambung Lukman, cara hitung kerugian negara apakah "nett loss" atau 'total loss" adalah kewenangan sepenuhnya dari auditor.
Pada dasarnya semua kasus korupsi harus ada unsur kerugian negaranya. Khusus di Indonesia sendiri, ada beberapa perbuatan dikualifikasi sebagai kasus tipikor meski tanpa kerugian negara lansung seperti gratfikasi yang berhubungan dengan jabatan.
Perbuatan seperti itu bisa saja tidak ada kerugian negara yang bersifat lansung, tetapi dipandang sebagai bagian perbuatan tindak pidana korupsi yg dilarang.
"Misalnya orang nyogok untuk dapat jabatan," beber Lukman, mencontohkan. Lalu bagaimana dengan kasus mobil sampah ysng bodong surat surat suratnya ini.
Mobil sampahnya ada atau barangnya ada, tapi surat suratnya yang tidak ada. Bahkan sudah dimanfaatkan juga di lapangan oleh Pemkot Palopo.
Pertanyaannya adakah kerugian neganya dan dimana aspek kerugian negaranya itu?
Sekali lagi, yang bodong itu bukan mobil atau barangnya tapi surat suratnya yang bodong. Dari sisi keberadaan barangnya tidak dapat disangkal barangnya yakni mobil sampah itu memang sudah ada di tangan pemerintah. Dari sisi kemanfaatannya, sudah hampir dua tahun mobil itu sudah dimanfaatkan juga oleh pemerintah. Lalu bagaimana dari sisi hukum dan keuangan negara.
Dari sisi hukum persoalannya diantaranya adalah mengenai bagaimana perolehannya dan bukti kepemilikannya.
Karena perolehan kedua mobil sampah tersebut dahulu melalui mekanisme pelelangan atau mekanisme pengadaan barang dan jasa maka harus dilihat apa isi dokumen pelelangannya.
Sejak tahun 2021 pengadaan barang untuk pemerintah menggunakan sistim e-Katalog.
Dalam sistim e-Katalog, khususnya benda bergerak seperti kendaraan, hampir pasti syaratnya adalah barang tersebut sudah pengadaan barangnya harus beserta dengan surat surat kepemilikannya seperti BPKB dan STNK.
"Artinya, kontraktornya atau penyedia barang dan jasa harus menyerahkan kendaraan sampah sudah harus lengkap dengan surat-suratnya. Dalam kasus ini, barang atau kendaraan diserahkan tapi surat-suratnya tidak ada. Pertanyaannya, apakah itu masuk tindak pidana korupsi atau tidak. Apakah itu merugikan negara atau tidak.
Karena anggaran yang disiapkan untuk pengadaan kendaraan sampah itu sudah tercakup didalamnya terdapat item biaya untuk pengurusan dan penerbitan surat-surat kendaraan (on the road), maka sepanjang kendaran sampah itu tidak dilengkapi surat-surat maka itu jelas akan menimbulkan kerugian negara. Setidaknya sebesar item biaya yang dianggarkan dulu untuk penerbitan surat-suratnya itu ketika pelanggan dilakukan. Kesimpulannya, kasus ini ada pidana korupsinya," tegas Lukman.(ded)