POTENSI DAN MASALAH SEKTOR PERTANIAN

  • Bagikan

Idawati

Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andi Djemma Palopo, Sulawesi Selatan

Tenaga kerja merupakan faktor sumberdaya manusia yang akan mendorong peningkatan perekonomian nasional. Tenaga kerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari segi jumlah namun diupayakan meningkat dari segi keterampilan. Di harapkan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian primer akan meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan menurunkan jumlah petani yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini menandakan akan terjadi peningkatan kesejahteraan petani di perdesaan, suatu tingkat kesejahteraan yang relatif sama dengan sektor industri dan jasa lainnya. Penghasilan rata-rata tenaga kerja di sektor pertanian yang lebih rendah daripada sektor industri dan jasa yang menjanjikan jenjang karir yang lebih pasti menjadi salah satu faktor utama penyebab sektor pertanian kurang diminati. Sebagian petani menjadikan alasan ini untuk tidak menghendaki generasi penerusnya untuk menjadi petani.

Kondisi ini diperparah dengan besarnya konversi lahan pertanian yang dapat menyebabkan usaha pertanian tidak mencapai skala ekonomis. Selain itu banyak generasi muda dari rumah tangga petani yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan agribisnis, termasuk dari sisi kemampuan manajerial. Selain itu kondisi internal/fisiologi tanaman dan kondisi eksternal/faktor lingkungan memengaruhi menurunnya fungsi lahan yang berpengaruh pada penurunan produktifitas yang erat kaitannya dengan kemampuan teknis petani. Selain itu faktor harga yang menjadi acuan keuntungan petani dan menjadi motivasi minat perubahan pola pikir petani semakin rendah seiring dengan melemahnya nilai rupiah di mata dunia.

Beberapa permasalahan sumberdaya sektor pertanian di atas selain karena faktor sumberdaya manusia juga dipengaruhi sumberdaya alamnya. Pengembangan sumberdaya alam banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh sumberdaya manusia. Oleh karena itu yang paling utama harus menjadi perhatian pemerintah dan stakeholder terkait adalah manusianya.

  1. Regenerasi petani

Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah pola pikir generasi muda kita terhadap pertanian, bahwa masih banyak potensi pertanian yang masih belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi muda pada sektor pertanian adalah membangun pertanian lebih maju dan modern berbasis inovasi dan teknologi yang mampu menghasilkan produk yang bernilai ekonomi tinggi yang dibutuhkan pasar. Membangun pertanian dalam konteks industri yang syarat dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Untuk itu beberapa hal penting harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu (1) membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian di perdesaan, (2) meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian yang lebih baik, dan (3) mendorong kebijakan dan regulasi pendidikan di bidang pertanian yang diikuti dengan perbaikan kurikulum dan revitalisasi sarana prasarana belajar mengajar termasuk SDM pengajar yang tepat terutama dalam kaitannya dengan kepastian mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan para generasi muda.

Menumbuhkan minat generasi muda dengan melakukan produksi di tingkat on-farm dan off-farm. Akses yang lebih besar pada pemuda, terutama kepada yang telah menyelesaikan pendidikan di tingkat SLTA atau perguruan tinggi untuk dapat membuka usaha di bidang pertanian. Selain itu, untuk meningkatkan keterampilan petani, telah dikembangkan Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) sebagai lembaga milik petani yang secara langsung berperan aktif dalam pembangunan pertanian melalui pengembangan sumberdaya manusia pertanian dalam bentuk pelatihan, penyuluhan, dan pendidikan.

  1. Kualitas sumberdaya manusia pertanian

Berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang tinggal di daerah perdesaan, sehingga menjadi masalah yang serius dan dapat ditingkatkan melalui pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan orang dewasa melalui pelatihan-pelatihan, kursus, sekolah lapang, demonstrasi pelatihan (demplot) sebagai media belajar langsung dan kunjungan pada petani atau usaha-usaha bidang pertanian yang dapat menjadi motivasi bagi petani. Pendidikan nonformal merupakan upaya penyuluhan akan berjalan efektif apabila pendampingan penyuluhan pertanian dalam hal kompetensi, intensitas, materi dan metode disiapkan terlebih dahulu.

Pendekatan kelembagaan petani dan penyuluhan telah menjadi strategi penting dalam pembangunan pertanian. Pengembangan kelembagaan pertanian baik formal maupun nonformal belum memberikan peran berarti di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan dan pelatihan, Balai Pelatihan Penyuluhan Pertanian Kecamatan (BP3K) belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Perubahan UU SP3K tentang penyuluhan No. 16 Tahun 2006 menjadi UU N.23 Tahun 2004 menjadikan sistem penyuluhan semakin tak berdaya. Peran penyuluhan sebagai agen/obor perubahan perilaku petani dari aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan semakin tak memiliki kemampuan. Perannya dianaktirikan oleh pemerintah, bahkan sertifikasi bagi penyuluh ahli hanya berupa konsep tanpa pembuktian. Bukankah seharusnya penyuluh pertanian keberadaannya semakin diaktifkan seperti layaknya keaktifan guru mengajar di sekolah meskipun berbeda subjek dan objeknya. Penyuluh seharusnya memiliki demplot uji coba bersama para peneliti ahli yang berada pada Badan Litbang Pertanian. Penyuluh pertanian sebaiknya meniru pola pendampingan fasilitator swasta dari segi kompetensi, kinerja, fasilitas dan insentif.

Selain kelembagaan petani, koordinasi dan kinerja lembaga keuangan perbankan perdesaan masih rendah. Koperasi perdesaan yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan optimum. Hal ini melalui korporasi petani dalam Permentan No. 18 Tahun 2018 diharapkan dapat menjadi angin segar bagi kebangkitan dan perubahan kelembagaan petani. Kelembagaan petani dan lembaga-lembaga tradisional di perdesaan dapat dimanfaatkan secara optimal melalui

pendampingan dari multisektoral. Pendampingan penyuluh, pendampingan Swasta/LSM/Perguruan Tinggi melalui pelatihan-pelatihan manajerial usaha, pendampingan perindustrian, perdagangan dapat menjadi jalan kemandirian kelembagaan petani untuk berwirausaha. Kondisi organisasi petani saat ini lebih bersifat sosial budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, belum sepenuhnya diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan peluang akses terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha pertanian.

  1. Perubahan iklim global

Perubahan iklim global merupakan perubahan pola dan intensitas curah hujan, makin sering terjadinya fenomena iklim ekstrim El-Nino dan La-Nina yang dapat mengakibatkan kekeringan dan banjir, kenaikan suhu udara dan permukaan laut, dan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam. Naiknya suhu permukaan bumi dan pergeseran pola curah hujan menyebabkan terjadinya pergeseran pola musim yang berdampak pada perubahan pola dan kalender tanam. Cuaca yang tidak menentu sering mengakibatkan petani sulit memperkirakan waktu untuk mengolah lahan dan memanen. Akibat perubahan iklim,tidak kurang dari 50 % wilayah pertanian di Indonesia menghadapi musim hujan yang cenderung mundur dan musim kemarau yang cenderung maju, sehingga musim tanam menjadi pendek.

Bagi sektor pertanian, dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan, serta pada akhirnya adalah penurunan produksi pertanian. Di tingkat lapangan, kemampuan para petugas lapangan dan petani dalam memahami data dan informasi prakiraan iklim masih sangat terbatas, sehingga kurang mampu menentukan awal musim tanam serta melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi.

Upaya tersebut dengan meningkatkan kemampuan petani dan petugas lapangan baik pihak penyuluh pertanian maupun pihak petugas iklim dalam melakukan prakiraan iklim, salah satunya melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI) serta membangun sistem informasi iklim dan penyesuaian pola dan kalender tanam yang sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah. Selain itu, penciptaan varietas unggul yang memiliki potensi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah, toleran terhadap suhu tinggi maupun rendah, kekeringan, hama penyakit, banjir/genangan dan salinitas menjadi sangat penting.

Selain tanaman pangan, tanaman perkebuanan salah satunya adalah tanaman kakao merupakan komoditas yang cukup sensitif terhadap cuaca sebagai tanaman lahan non irigasi yang sumber airnya berasal dari hujan. Tanaman kakao membutuhkan curah hujan yang sedikit dan merata sepanjang tahun. Perubahan iklim dimana kondisi hujan sepanjang tahun ataupun musim kemarau yang berkepanjangan dan minimnya perawatan menjadikan produksi tanaman kakao semakin rendah, sehingga dibutuhkan upaya adaptasi petani mengatasi permasalahan ini.

Permasalahan ini salah satunya terjadi pada Kabupaten Luwu dan Luwu Utara sebagai salah satu sentra tanaman kakao nasional. Salah satu upaya adaptasi petani kakao pada wilayah ini adalah kemampuan teknis petani dalam merawat tanamannya sesuai kondisi iklim/cuaca khususnya pola curah hujan dalam kalender budidaya kakao. Indikator adaptasi petani mengikuti keadaaan tanaman (buah) kakao dengan melakukan upaya menyiapkan keadaan cuaca sesuai kebutuhan tanaman (sesuai kalender musim) pada Tabel 1.

Tabel 1 Indikator adaptasi kemampuan teknis petani berdasarkan kalender musim budidaya kakao (12 bulan) di Kabupetan Luwu dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan, 2018.

Waktu (Bulan) Keadaan Cuaca Keadaan Buah Indikator Adaptasi Petani
Kakao

Januari Sangat Basah (SB) - Pembungaan - Pemupukan
- Pengendalian OPT (1x)
- Pemangkasan Pemeliharaan
- Pengapuran tanah
- Drainase air

4 Tabel 1 (Lanjutan)
Waktu (Bulan) Keadaan Cuaca Keadaan Buah Indikator Adaptasi Petani
Kakao

Pebruari Sangat Basah (SB) - Buah ukuran 5 cm - Pengendalian OPT (3x)
- Pemangkasan Pemeliharaan
- Drainase air
Maret Basah (B) - Buah ukuran 8 cm - Pengendalian OPT (6x)
- Drainase air
April Basah (B) - Buah ukuran 14 cm - Pengendalian OPT (6x)
- Buah mengkal - Pemangkasan Pemeliharaan
- Panen raya I (akhir - Drainase air
April) - Sanitasi kulit buah kakao setiap
panen
Mei Basah (B) - Buah mengkal - Pengendalian OPT (1x)
- Panen raya I+II - Pemangkasan Pemeliharaan
- Drainase air
- Sanitasi kulit buah kakao setiap
panen
Juni Ringan-Sedang - Buah mengkal - Pengendalian OPT (1x)
- Panen raya I+II - Pemangkasan produksi
- Tanaman penaung
- Ketersediaan air (sumur, embun
dll)
- Pengapuran tanah
- Pengukuran PH Tanah
- Sanitasi kulit buah kakao setiap
panen
Juli Ringan (R) - Buah ukuran 5 cm - Pengendalian OPT (2x)
- Pemangkasan produksi
- Pembungaan (akhir Juni)
- Pemupukan
- Tanaman penaung
- Ketersediaan air (sumur, embun
dll)
Agustus Sangat Ringan (SR) - Buah ukuran 8 cm - Pembungaan
- Pemangkasan pemeliharaan
- Tanaman penaung
- Ketersediaan air (sumur, embun
dll)
September Sangat Ringan (SR) - Buah ukuran 14 cm - Pengendalian OPT (5x)
- Pemangkasan Pemeliharaan
- Tanaman penaung
- Ketersediaan air (sumur, embun
dll)
Oktober Sangat Ringan (SR) - Buah Mengkal - Pengendalian OPT (1x)
- Panen raya I+II - Pemangkasan Pemeliharaan
- Tanaman penaung
- Ketersediaan air (sumur, embun
dll)
- Sanitasi kulit buah kakao

5 Tabel 1 (Lanjutan)
Waktu (Bulan) Keadaan Cuaca Keadaan Buah Indikator Adaptasi Petani
Kakao

November Ringan (R) - Buah Mengkal - Pengendalian OPT (1x)
- Panen raya I+II - Pemangkasan Pemeliharaan
- Tanaman penaung
- Ketersediaan air (sumur, embun
dll)
- Sanitasi kulit buah kakao setiap
panen
Desember Sangat Berat (SB) - Panen raya I+II - Pemupukan
- Pemangkasan produksi
- Pengendalian OPT (1x)
- Sanitasi kulit buah kakao setiap
panen
- Drainase air

Sumber: Kalender Musim Budidaya Kakao (SCPP 2016)

  • Bagikan