PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID JAKARTA -- PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) semakin gencar mengucurkan pendanaan untuk beragam proyek transisi energi di Tanah Air. Komitmen pendanaan ini mengalir ke berbagai portofolio hijau dengan profil risiko rendah hingga tinggi.
Beberapa proyek itu ialah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit hidro (PLTA), hingga panas bumi (PLTP).
Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Pradana Murti mengungkapkan, sampai akhir 2023 SMI telah membiayai 60 proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan komitmen kumulatif senilai Rp 13,7 triliun dan nilai proyek kumulatif senilai Rp 37,05 triliun.
“Kedua figur tersebut tumbuh masing-masing sebesar 13,1% dan 10,4% dibandingkan 2022, dengan komitmen kumulatif senilai Rp 12,1 triliun dan nilai proyek senilai Rp 33,5 triliun pada akhir tahun 2022,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (16/2).
Merujuk pada target EBT yang tercantum dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) SMI 2024-2028, portofolio EBT diproyeksikan tumbuh dengan CAGR 21%. Hal ini sejalan dengan mandat SMI menjalankan peran katalis, khususnya dalam mendukung EBT yang termasuk dalam sektor emerging frontier yang diproyeksikan akan memiliki jumlah permintaan yang semakin besar ke depannya.
Untuk mendukung pembiayaan sektor EBT, SMI juga akan melakukan thematic funding yang berkaitan dengan pendanaan proyek hijau, baik melalui kerjasama pendanaan dengan Development Finance Institution (DFI), eksplorasi alternatif pendanaan dari Pemerintah (OIP), maupun penerbitan instrumen keuangan yang mendukung pertumbuhan aset hijau, seperti green bond, sustainability linked loan, dan lain sebagainya.
Peran SMI semakin penting dalam transisi energi di Indonesia karena diakui sebagai salah satu lembaga keuangan yang dapat diandalkan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, SMI ditugaskan oleh Kementerian Keuangan untuk memberikan pendanaan ke proyek infrastruktur hijau yakni pembangkit EBT.
Atas dasar penugasan tersebut kucuran dana untuk proyek hijau bukan satu hal yang baru bagi SMI. Bisa dikatakan posisi SMI dalam pembiayaan EBT lebih maju dibandingkan perbankan konvensional.
“Apalagi dengan menjadi country platform manager untuk energy transition mechanisme (ETM) diharapkan SMI bisa menyalurkan pendanaan campuran (blended finance). Tentu SMI punya kemampuan dan kapasitas untuk melakukan ini sehingga pembiayaan EBT lebih affordable,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Menurut Fabby, pembiayaan untuk pembangkit EBT di Indonesia tidak mudah karena pendanaannya harus terjangkau dan low cost financing. Pendanaan model ini bisa didapat jika dikombinasikan dengan pendanaan campuran sehingga bunganya lebih rendah. Dengan begitu profil risiko dapat berkurang.
Baca Juga: Kapasitas Terpasang EBT Nasional Capai 13,15 GW Sampai 2023, Berikut Perinciannya
Asal tahu saja, instrumen pendanaan SMI bisa lebih kompetitif karena melibatkan sejumlah sumber, yakni sektor publik dan privat, seperti lembaga multilateral (DFI), bank komersial, climate funds, filantropis, dan lain sebagainya. Kelebihan inilah yang tidak dimiliki oleh perbankan.
“Saya kira di tahun ini SMI masih bisa diandalkan untuk pendanaan transisi energi karena beberapa instrumen pendanaan masuk lewat mereka salah satunya ETM untuk pemensiunan dini PLTU Cirebon I,” kata Fabby.
Pensiun dini PLTU Cirebon I diestimasikan membutuhkan dana US$ 300 juta dalam bentuk refinancing. Nantinya alokasi pendanaan untuk proyek ini berasal dari dua sumber. Pertama dari ADB senilai US$ 250 juta berbentuk pinjaman non-konsesi dan sisanya dari Climate Investment Funds (CIF) established the Accelerating Coal Transition (ACT) senilai US$ 50 juta berbentuk pinjaman konsesi.
Untuk mendukung pelaksanaan pemensiunan dini PLTU Cirebon 1, sebagaimana diketahui pemerintah telah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.
Di dalam aturan tersebut, sumber pendanaan pemensiunan dini dapat berasal dari APBN dan sumber lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono menyatakan PMK No 103 Tahun 2023 dapat menjadi wadah bagi berbagai sumber pendanaan. Nantinya dana tersebut dapat dikelola hingga akhirnya dicairkan hingga ke level proyek.
“Kementerian Keuangan baru saja menciptakan ETM Country Platform manajer PT SMI sudah siap menjembatani JETP mengeksekusi proyek,” ujarnya.
Selain membiayai pemensiunan dini PLTU Cirebon, beberapa proyek EBT dengan profil risiko tinggi juga didanai SMI yakni Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Di tahun lalu, PT Medco Power Indonesia melalui anak perusahaannya, PT Medco Cahaya Geothermal menandatangani Perjanjian Pembiayaan dengan SMI untuk pengembangan PLTP Ijen, dengan total kapasitas 110 MW.
Ijen akan dikembangkan secara bertahap, di mana pembangunan tahap pertama diharapkan menghasilkan 34 MW pada awal tahun 2025.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Harris Yahya menilai, pendanaan untuk proyek panas bumi dapat mengandalkan dari SMI.
“Pasalnya saat ini bank domestik belum banyak yang mau membiayai proyek panas bumi,” ujarnya.
Selain PLTP Ijen, Ormat International Inc. juga berencana mengakses dana Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) via SMI untuk pengembangan lebih lanjut Area Wapsalit di Pulau Buru.
GREM merupakan fasilitas pembiayaan eksplorasi panas bumi yang dapat diakses oleh sektor swasta dan publik di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi risiko tahap awal pengembangan proyek melalui metode de-risking atau pembagian risiko.
Kebutuhan Dana Transisi Energi Makin Besar
Ke depan, investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran EBT dan net zero emission di 2060 semakin besar.
Menurut prediksi JETP, dibutuhkan dana US$ 97 miliar untuk mencapai bauran EBT 40% di 2030. Sebagian besar dana itu untuk pembangkit dan transmisi listrik.
Fabby menyatakan, melihat dari situ saja kebutuhan pendanaan transisi energi dalam setahun membutuhkan US$ 10 miliar hingga US$ 15 miliar.
“Kami kira tidak ada satu lembaga keuangan dapat memenuhi kebutuhan itu, jadi harus didukung seluruh instrumen pendanaan. Potensi uang ini sangat besar tetapi apakah ada proyek yang bankable?” ujarnya.
Oleh karenanya, IESR menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam membuka potensi pendanaan yang besar itu melalui dukungan kebijakan.
Dalam mendukung target Net Zero Emission, Pradana menyatakan SMI memiliki beberapa strategi yang telah disiapkan. Pertama, membina hubungan dengan calon debitur baru dan menyusun pipeline pembiayaan berkelanjutan.
Melakukan pengembangan produk inovatif yang dapat mendukung pembiayaan berkelanjutan serta mencari peluang pemanfaatan produk de-risking atau insentif lainnya sebagai credit enhancement untuk meningkatkan bankability suatu proyek agar layak untuk dibiayai.
Memanfaatkan sustainability lens untuk meningkatkan akses ke sumber pendanaan yang lebih murah seperti direct partnership dengan donor/lembaga keuangan, ESG rating, thematic funding untuk menawarkan produk dengan rate yang kompetitif.
Terakhir, merumusan strategi untuk menjadi net zero emission company melalui penerapan low carbon emission dalam proses bisnis. Lalu menyiapkan inisiatif carbon trading, serta berpartisipasi aktif dalam diskusi revisi taksonomi hijau, khususnya dalam memasukkan kegiatan pensiun dini PLTU menjadi kategori hijau.(int/idr)