Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Presiden RI Ir. Joko Widodo beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan, bahwa seorang presiden dan pejabat negara boleh memihak kepada peserta pemilihan umum (Pemilu) tertentu dan berkampanye dalam pemilu.
“Itu kan ada pertanyaan dari wartawan mengenai menteri boleh kampanye atau tidak. Saya sampaikan ketentuan dari aturan perundang-undangan. Ini saya tunjukin, UU no 7 tahun 2017 jelas menyampaikan di pasal 299, bahwa Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Jelas. Jadi yang saya sampaikan ketentuan mengenai UU Pemilu. Jangan ditarik kemana-mana,” ungkap Jokowi.
Pernyataan Presiden tersebut sontak menjadi perbincangan publik, tidak terkecuali para pakar kepemiluan silih berganti mengemukakan pandangannya. Dan tidak dipungkiri, banyak kalangan yang bertanya-tanya "Apa iya Presiden dan Wapres boleh berkampanye ? Bukankah Presiden dan Wapres harus netral ?"
Pertanyaan di atas terjawab dengan jelas dalam UU Pemilu di mana pada dasarnya, Presiden dan Wakil Presiden memiliki hak untuk berkampanye dengan catatan mereka lebih dahulu harus cuti kemudian dalam berkampanye tidak menggunakan fasilitas negara, kecuali pengamanan melekat.
Sederhananya seperti ini, UUD 1945 kan membolehkan presiden 2 periode, periode pertama dia maju lalu periode kedua mau tidak mau dia harus bekampanye kalau dilarang kampanye, bagaimana caranya ? Sementara calon lain berkampanye.
Jadi, kita mesti melihat hukum positif yang berlaku sekarang terkait dengan UU pemilu yaitu UU No. 7 tahun 2017 yang memang membolehkan berkampanye dan itu didasarkan pada UUD 1945, tetapi kembali lagi, bahwa harus cuti lebih dahulu.
Nah, apabila presiden cuti, maka yang berkampanye bukan presidennya melainkan Ir. Joko Widodo secara pribadi Akan tetapi lagi-lagi ada pandangan lain, bahwa dalam UU pemilu menyebutkan, Presiden berhak untuk berkampanye.
Pertanyaannya, "Apakah Presiden jika dalam keadaan cuti, dia merupakan Presiden ?" Sementara dalam UU Pemilu disebutkan Presiden ? Itulah hukum, yang merupakan penafsiran seperti kata Thomas Hobbes dan David Hume ; "Law Is The Art Of Interpretation"
Hukum adalah seni berinterpretasi atau berargumentasi. Ungkapan 2 tokoh hukum tersebut, pada intinya bahwa hukum adalah seni beretorika. Jadi, tidak heran kalau senantiasa terdapat perdebatan di dalamnya dan itu sah-sah saja, sepanjang argument itu dilandasi dengan logika hukum yang kuat.
Meski peraturannya jelas, namun tetap membutuhkan kehati-hatian baik itu ucapan atau (termasuk) gestur, tidak boleh aneh-aneh senantiasa memerlukan pertimbangan yang matang apalagi menjelang hari pencoblosan, di mana para pendukung Capres dan Cawapres yang fanatik sangat sensitif.
Bahkan kata kawan saya yang juga fanatik, bahwa "Yang paling sulit dinasehati saat ini adalah mereka yang sedang jatuh cinta dan pendukung Capres" Mungkin kawan itu belum memahami, bahwa "Siapapun Presidennya kelak, kalau kita tidak kerja keras sampai Fir'aun bangun pun kita tidak akan dapat duit"(*)