PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, PALOPO-- Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo merayakan peringatan isra mikraj di Masjid Agung Palopo, Rabu, 7 Februari 2024 malam lalu.
Rektor Institut Agama islam Negeri (IAIN) Palopo, Dr Abbas Langaji MAg yang mendapat amanah menyampaikan hikmah isra mikraj menitip pesan agar menjadikan masjid nyaman bagi siapapun.
Peringatan isra mikraj ini dihadiri Penjabat (Pj) Wali Kota Palopo Asrul Sani SH MSi, Ketua MUI Kota Palopo, Polres, sejumlah pejabat Pemkot Palopo, pengurus Masjid Agung Palopo dan sejumlah dosen dan tenaga kependidikan IAIN Palopo.
Dr Abbas mengatakan, salah satu hikmah Isra Mikraj Nabi Muhammad Aallallahu alaihi wasallam (Saw) adalah bagaiman menjadikan Masjid nyaman bagi siapapun, karena salah satu fungsi Masjid bagi orang mengunjunginya adalah mencari ketenangan spritual.
“Kita dituntut bagaimana agar rumah-rumah Tuhan senantiasa ramai dan makmur, serta mampu membuat setiap pengunjung menjadi benar-benar betah dan nyaman serta selalu mau berkunjung, bukan sebaliknya” ucap Rektor.
Rektor Abbas menuturkan, adalah suatu ironi, bila ternyata pengelola kafe lebih berhasil membuat para pengunjungnya lebih nyaman dan betah saat berkunjung, ketimbang pengelola rumah-rumah Tuhan.
Diceritakan Rektor, suatu ketika ada seorang eksekutif muda yang baru 'belajar' rajin ke masjid. Kerana kebiasaannya yang selalu membawa smartphone pada hampir semua aktivitasnya, maka pada saat khatib Jumat khutbah pun smartphone-nya terbawa tanpa sempat merubah nada deringnya ke mode silent.
Di sela-sela khusyunya khatib berkhutbah, smartphone-nya berdering, sontak memalingkan perhatian sebahagian jamaah yang duduk di dekatnya.
“Dalam situasi demikian, sang khatib pun serta merta menegur sang eksekutif muda dengan mengumandangkan ancaman-ancaman dosa dan siksa neraka bagi yang melakukan aktivitas lain sepanjang khutbah dan menjadi biang berpalingnya perhatian jamaah dari khutbah Jumat” ucap Rektor.
Terlontarlah potongan hadis dari khatib tersebut “falaa jum'ata lahu”, artinya: “maka yang bersangkutan tidak akan memperoleh pahala apapun", alias jumatannya hari itu sia-sia.
Merasa disalahkan dari berbagai perspektif dan tidak ada seorang jamaah yang berkenan membelanya, maka sang eksekutif muda bersumpah tidak akan ke masjid lagi. Untuk apa kehadirannya di rumah Tuhan justru menjadi korban hujatan dari orang-orang yang (menurutnya) tidak berempati kepadanya sebagai orang yang 'baru belajar bermain' di masjid.
“Beberapa hari berikutnya, sang eksekutif muda justru kambuh lagi penyakitnya; menghabiskan separuh malamnya di cafe dan bar. Di suatu ketika di satu cafe, tanpa sengaja, tangannya menyenggol gelas berisi minuman yang ada di atas meja di hadapannya. Gelas pecah dan airnya tumpah menyebar ke mana-mana” imbuh Rektor.
Dalam suasana demikian, orang-orang di sekitarnya justru beranjak dari tempat duduknya, berbagi peran, ada yang menyapanya sekadar memastikan apakah sang eksekutif tidak terkena pecahan gelas, ada yang menyodorkan tisu, ada yang memanggil petugas kebersihan agar datang membawa bahan pembersihan pecahan gelas dan ada juga yang datang sekadar memastikan tas dan smartphone sang eksekutif tidak terkena percikan cairan dari gelas yang pecah tersebut.
Tidak lama kemudian, manajer on duty di cafe tersebut datang justru menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi, sembari memastikan bahwa situasi tetap baik, aman, terkendali, mengklaim kesalahan ada di pihak mereka, bukan pada sang ekselutif muda. Pelayan pun dengan senyuman khasnya datang membawakan minuman pengganti yang statusnya gratis.
“Dengan kondisi tersebut, sang ekekutif muda merasa benar-benar nyaman dan membuatnya betah, kontras dengan pengalaman pahitnya di masjid, sembari bertekad akan lebih sering datang berkunjung ke tempat tersebut” lanjut Rektor.
Dalam cerita ini kata Rektor, dua fragmen kisah imaginatif tersebut, setidaknya patut menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya yang mengelola dan mengurus rumah-rumah Tuhan.
“Kalau toh mereka melakukan sesuatu trouble, merusak ketenangan pengunjung lain, yang boleh jadi di luar kuasa dan pemahaman keagamaannya belum menjangkau hal tersebut, bukankah agama menawarkan metode yang beragam untuk menyadarkan setiap orang dengan beragam karakter dan latar belakang” tutur Rektor.
Misalnya dalam kalimat "Khaatib al Naas 'ala Qadr 'uquulihim," serulah manusia ke jalan Tuhan sesuai dengan kadar keilmuan (dan status sosial)-nya, pada saat yang sama, Al-Quran jauh sebelumnya sudah menekankan metode mau'idzha al hasanah. (ikhwan ibrahim)