Mayoritas Bisu

  • Bagikan

* Oleh: Rusdy Maiseng
(Pemerhati Kota Palopo)


Mayoritas bisu atau silent mayority, dapat diartikan sebagai sekelompok besar orang orang yang mempunyai kapasitas intelektual utamanya pada kelompok akademisi dan kaum cendikiawan yang memilih diam atau bungkam untuk tidak mengekspresikan opini mereka secara terbuka. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dalam sebuah pidato televisi pada 3 November 1969. Seiring berjalannya waktu maka istilah inipun berkembang dan banyak digunakan sebagai bentuk kritikal pada kaum intelektual, akademisi dan cendikiawan yang hanya diam membisu ketika melihat situasi ancaman kerusakan demokrasi pada negara yang dilakukan oleh pemimpin yang buta tuli terhadap perintah etis konstitusi.

Bahkan di awal kemerdekaan RI Bung Hatta telah memperingatkan akan tanggung jawab kaum intelektual, akademisi dan para cendikiawan dimasa depan, agar pikiran bangsa tetap berada pada posisi sehat agar bangsa ini dapat meraih dan mempertahankan kemartabatannya. Beliau telah berusaha memberikan pemahaman kepada generasi selanjutnya bahwa ketika value, integritas dan kejujuran mulai tergerus maka akademisi, kaum intelektual dan cendikiawan harus berani mengambil tindakan dan selalu tetap berada pada posisi yang dalam keadaan dan situasi apapun mereka tetap perduli pada bangsa dan negara dengan resiko apapun, sebab negara adalah urusan bersama.

Istilah intelektual dan cendikiawan dalam dunia akademik adalah bahwa setiap orang dituntut untuk mampu berpikir dan punya tanggung jawab etis secara nasional. Dalam istilah lain dikatakan bahwa intelektual adalah kemampuan untuk mengolah pikiran dengan rasa etis yang maksimal pada dimensi kemanusian yang adil dan beradab. Oleh karena itu siapapun yang terpanggil dan dibutuhkan oleh sejarah dalam rangka mengambil alih krisis untuk menyelesaikan seluruh problem bangsa, maka mereka dapat disebut kaum intelektual, dimana pikiran dan integritas mereka tidak dapat di amputasi sekalipun lewat amplop.

Pada situasi rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara sesungguhnya banyak dipengaruhi atau disebabkan oleh kurangnya kapasitas atau kemampuan dari para pemimpin utamanya untuk tunduk pada perintah moral etiks konstitusi. Bahkan sebelum reformasi indeks demokrasi kita yang tadinya di anggap buruk, akhirnya semakin membaik pasca reformasi, namun dalam waktu sekejap menjadi rusak parah, sebab perintah etis pada konstitusi telah dibajak (amandemen UUD 1945 yang menjadi UUD 2002) hanya karena ambisi kekuasaan.

Akibatnya terjadi pemiskinan struktural, politik yang berbiaya mahal, Korupsi makin merajalela, pendidikan yang berbiaya mahal, kurangnya jaminan kesehatan, kwalitas demokrasi yang makin menurun bahkan membungkam, dimana kebebasan sipil semakin terancam. Semua itu dapat dikatakan bahwa etika dan moral demokrasi Indonesia saat ini masuk pada turbulence politik dimana kejujuran, kebenaran dan keadilan menjadi runtuh.

Turbulensi politik yang dimaksud adalah demoralitas politik yang mengakibatkan integritas, nasionalisme serta faham tentang kebangsaan menjadi sangat terancam. Fakta bahwa saat ini krisis konstitusi telah terjadi dimana konstitusi telah dihianati melalui pemanfaatan sumber daya hukum untuk kepentingan pribadi. Ini bukan tentang siapa dan apa, tetapi lebih kepada bagaimana arah negeri ini ke depan. Dimana ketika Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of contitution atau benteng terakhir dari konstitusi nampak jelas didepan mata telah ter-obok hanya demi kepentingan segelintir manusia yang tanpa merasa malu melakukan perbuatan sangat tercela demi ambisi politik.

Kaum intelektual, akademisi dan para cendikiawan yang selama ini kita anggap sebagai orang-orang yang mempunyai nurani dan selalu berusaha untuk menyatukan dimensi moral atas kapasitas berpikir secara idiologis dan etis tentang survival of the nation agar tetap tegak lurus pada konstitusi dan tetap setia pada janji kemerdekaan dengan berani bertindak untuk mencegah kerusakan yang telah terjadi. Bukan malah sebaliknya ikut serta dalam pengrusakan itu yang membuat wajah demokrasi Indonesia saat ini menjelma menjadi demokrasi yang formalistik. Pemilu tetap berjalan sekalipun cacat etika. Roh politik demokrasi hanya dijadikan topeng dalam rangka bernegara namun prakteknya berubah menjadi monarcy. Yang ketika hal itu terus menerus dibiarkan pada situasi kekuasaan yang sedang berlangsung maka lambat laun dia akan mengakumulasi dan membentuk kekuasaan yang semakin lama semakin kuat dan akan menjadi despot ataupun tiran.

Biasanya faktor utama yang menjadi alasan seorang pemimpin menjadi otoritarian ataupun gigantic (raksasa) adalah ketika legislatif, akademisi, kaum intelektual dan cendikiawannya tidak mampu membuat pengawasan yang maksimal, cek and balances yang kuat dan sistem limitasi atau pembatasan kekuasaan yang kuat. Dengan tidak adanya kontrol limitasi, maka seorang yang berkuasa rentan tergoda untuk leluasa menggunakan campur tangan kekuasaannya tanpa memperdulikan lagi etika dan moralitas kepemimpinan. Sebab hal utama yang menjadi keinginan kekuasaan yang seperti itu adalah kerusakan pada otak sebuah bangsa, agar bangsa itu berhenti berpikir, hingga rela masuk pada pusaran pasimisme terhadap keadaan yang ada, yang pada akhirnya kekuasaan akan lebih leluasa untuk menjalankan kemaksiatan politiknya.

Pada sistem bertata negara utamanya pada negara yang menggunakan sistem presidensial terdapat istilah Lame ducks atau bebek lumpuh. Yaitu dimana ketika seorang presiden, gubernur, bupati ataupun walikota yang akan berakhir masa tugasnya, maka dia wajib diikat pada sebuah aturan yang konstitusional. Tujuannya untuk membatasi ruang gerak seorang pemimpin agar tidak menggunakan kekuasaannya untuk hal yang berlebihan. Dimana Hamilton (Orang yang menemukan sistem presidensial) pada bukunya yang berjudul Federalis Paper mengatakan bahwa, "pada kekuasaan terdapat godaan yang sangat tinggi untuk membuat seseorang menjadi otoritariter", oleh karenanya, issu presiden itu seharusnya fokus pada pembatasannya atau adanya limitasi, yaitu; seorang presiden kekuasaannya harus dibatasi terlebih ketika menjelang pemilu.

Dukungan kepercayaan yang berlebihan pada kekuasaan, dimana ketika kadar keyakinan masyarakat terhadap kekuasaan politik menjadi sangat tinggi, maka akan rentan membuat kekuasaan itu menjadi otoritariter. Terlebih lagi jika oposisi sebagai bagian dari sikap kritis dari kelompok penyeimbang teramputasi, maka akan menyebabkan misleading kekuasaan, yang mana kekuasaan dan oposisi mestinya harus tumbuh bersama. Bahkan pada negara manapun yang menganut faham demokrasi, kesadaran terhadap oposisi sangat dijunjung tinggi sebab ketika oposisi tidak lagi didengarkan maka resikonya bisa menjadi sangat fatal terhadap sebuah pemerintahan. Semua itu merupakan anomali dalam sistem demokrasi, yaitu ketika kekuasaan yang disokong terlalu kuat oleh satu kekuatan politik maka godaan otoritariternya ikut menjadi kuat dan dia rentan akan menjadi despotism.

Kerusakan pada tatanan berdemokrasi atau terjadinya kesemrawutan politik pada sebuah negara umumnya berakar dari kekuasaan itu sendiri, yang barang tentu isinya adalah mereka yang instan namun berambisi untuk berkuasa serta kaya raya. Situasi seperti itu biasanya dimanfaatkan dan dimainkan oleh para kaum oppunturir politik untuk kepentingan pragmatis yang pada akhirnya akan menambah kesemrawutan dalam politik, sehingga kepemimpinan yang lahir seringkali tidak mempunyai kapasitas sebab dasarnya adalah pragmatisme. Wujud kepemimpinan atau pemerintahan seperti itu lebih disebabkan oleh tidak adanya pendidikan politik yang memadai. Sejatinya kesadaran tentang politik kekuasaan dalam rangka bernegara wajib difahami dan dilaksanakan oleh partai politik dan pemerintah.

Oleh karena itu bagi sesama anak bangsa sebaiknya dapat saling mengingatkan bahwa didalam bernegara selalu terdapat hambatan etis dan moral. Dimana hambatan etis dan moral biasanya terjadi dan tercederai pada proses perjalanannya. Ujian etis dan moral adalah ujian yang tertinggi dalam sebuah peradaban atau proses perjalanan bangsa dan negara sebelum tiba pada kemuliaan dan kemartabatannya. Kegagalan ujian etis dan moral ini biasanya disebabkan oleh godaan pada seseorang untuk menjadi opportunis, prahmatis bahkan otoritarian, sebab itu adalah jalan instan untuk mendapatkan sesuatu namun mengorbankan apa yang disebut dengan legacy peradaban atau warisan peradaban yang seharusnya diterima oleh generasi yang akan datang.

Sesungguhnya politik itu tidak hanya bertumpu pada perebutan kekuasaan namun politik adalah sebuah jalan dan bagian terpenting dari pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk itu didalam bernegara seorang penguasa akan selalu diingatkan untuk melakukan kontrol diri, begitupun pada kaum intelektual, akademisi dan cendikianya agar tidak menjadikan diam sebagai comfort zone atau zona nyaman, sebab zona nyaman cenderung membuat seseorang menjadi tidak perduli. Andai saja terjadi lose control pada kekuasaan maka negara akan sangat dirugikan. Kekuasaan itu tidaklah abadi. Bahkan dalam permainan atau pertarungan politik yang tidak adil sekalipun, semua orang yang terlibat didalamnya pasti akan pergi meninggalkan gelanggang. Penguasa akan ada silih berganti, demikian halnya para politisi, birokrat dan aparatur negara lainnya. Namun mereka yang menganggap dirinya telah selesai dengan semua aspek kepentingan personal pada negara namun sangat perduli, atau seorang negarawan akan selalu berada dan hidup ditengah-tengah Rakyat dan Bangsanya.

Ada sebuah pepatah yang mungkin selalu dapat mengingatkan kita semua, bahwa "Iblis datang menggoda tidak dengan wajah terbakar ataupun wajah yang menakutkan tapi iblis datang menggoda dengan semua kesenangan dan rasa takut yang berlebihan". (*)

  • Bagikan

Exit mobile version